Jodoh itu unik.
Yang selalu diimpikan, tak berujung pernikahan. Yang awalnya tak pernah dipikirkan, justru bersanding di pelaminan.
Lintang Jelita Sutedjo dan Alan Prawira menikah atas dasar perjodohan kedua orang tuanya. Selisih usia 10 tahun tak menghalangi niat dua keluarga untuk menyatukan anak-anak mereka.
Lintang berasal dari keluarga ningrat yang kaya dan terpandang. Sedangkan Alan berprofesi sebagai dokter spesialis anak, berasal dari keluarga biasa bukan ningrat atau konglomerat.
Pernikahan mereka dilakukan sekitar empat bulan sebelum Lintang lulus SMA. Pernikahan itu dilakukan secara tertutup dan hanya keluarga yang tau.
Alan adalah cinta pertama Lintang secara diam-diam. Namun tidak dengan Alan yang mencintai wanita lain.
"Kak Alan, mohon bimbing aku."
"Aku bukan kakakmu, apalagi guru bimbelmu yang harus membimbingmu!" ketus Alan.
"Kak Alan, aku cinta kakak."
"Cintaku bukan kamu!"
"Siapa ??"
Mampukah Lintang membuat Alan mencintainya? Simak kisahnya.💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Kabar Kehamilan Gendhis
"Yo Mbak Gendhis toh mas yang hamil. Masa aku! Kan aku belum punya bojo. Hehe..." sahut adik ipar Gendhis seraya terkekeh sendiri.
"Hush !! Masih gadis dilarang tertawa terbahak-bahak!" seru Gendhis pada sang adik ipar yang mulutnya masih tertawa lebar.
"Kalau ketawa cantik, boleh ya mbak?" godanya.
"Tak laporne Masmu kalau sampai genit-genit sama cowok!"
"Uh, takut..."
Alan dan Lintang akhirnya mengetahui jika saat ini Gendhis tengah hamil muda.
Jangan tanya perasaan Alan saat ini. Hatinya merasakan sakit begitu mendengar wanita yang namanya masih bertahta di dalam sana sedang hamil. Sungguh perih.
Dua kabar yang berhubungan dengan Gendhis dan membuat jungkir balik dunia Alan.
Yang pertama, kabar pernikahan Gendhis dengan Galih beberapa tahun lalu.
Yang kedua, kabar kehamilan Gendhis saat ini.
Ingin sekali Alan berteriak marah pada takdir. Namun bibirnya tak bisa terbuka untuk meluapkan segala yang bercokol di hatinya saat ini. Bibirnya tetap bungkam membisu.
"Wah, selamat ya Mbak Dhis." Lintang mengulurkan telapak tangannya seraya tersenyum di depan Gendhis guna mengucapkan selamat atas kehamilan kerabatnya tersebut.
"Makasih ya, Lin." Gendhis membalasnya dengan memeluk Lintang sejenak.
"Sudah berapa bulan, Mbak?"
"Alhamdulilah sudah tiga bulan,"
Dikarenakan hari ini Gendhis memakai gamis longgar sehingga perutnya tidak terlihat jika sedang hamil muda.
"Boleh adek elus perutnya?" pinta Lintang secara tiba-tiba.
"Boleh, Lin."
Namun sebelum telapak tangan Lintang menyentuh perut Gendhis, mendadak urung karena seruan sang adik iparnya.
"Kak, ayo. Kasihan mama nungguin di mobil!" ajak si adik ipar seraya menarik paksa lengan Gendhis.
"Maaf Alan-Lintang, aku pergi dulu." Gendhis tampak terburu-buru seraya berpamitan pergi.
"Oh, baiklah. Selamat ya, Dhis." Bibir Alan berucap selamat walaupun hatinya tak ikhlas Gendhis hamil.
"Oke, Lan." Balas Gendhis.
"Hati-hati di jalan Mbak Dhis," sahut Lintang seraya tersenyum lebar lalu melambaikan tangannya pada Gendhis yang sudah ditarik pergi oleh adik iparnya.
"Sampai jumpa, Dek. Salam buat pakde dan bude," ucap Gendhis setengah berteriak.
"Insya Allah," sahut Lintang.
Gendhis dan adik iparnya telah berlalu dari sana. Getaran itu masih terasa di hati Alan. Walaupun kini bayangan Gendhis sudah hilang dari sana.
Hari ini adalah pertemuan tak terduga antara mereka. Terakhir kali Alan bertemu Gendhis yakni setahun yang lalu di mana kala itu status Gendhis sudah menjadi istri dari Galih.
Gendhis sedang mengadakan seminar bedah buku tentang ekonomi dan bisnis di bidang dunia kesehatan. Alan diminta oleh Gendhis untuk membantunya perihal menyebarkan informasi seminar tersebut di kalangan rekan-rekan kerjanya di rumah sakit, tempat Alan bekerja.
Tentu dengan tangan terbuka Alan membantu ikut menyukseskan seminar tersebut hingga selesai dengan baik dan lancar.
Kini takdir mempertemukan kembali antara dirinya dengan Gendhis. Hati dan cintanya masih tertaut pada sahabatnya itu. Susah sekali untuk dihapus. Kenangan-kenangan indah mereka selama bersahabat masih tersimpan manis dan rapi.
☘️☘️
"Kak," panggil Lintang yang melihat Alan seakan melamun dengan pandangan yang tetap sama seperti tadi ketika bertemu Gendhis.
"Kak," panggil Lintang sekali lagi seraya menggoyangkan lengan Alan.
"Eh, i_ya." Sahut Alan dengan sedikit terbata-bata dan lamunannya pun buyar seketika.
"Kakak melamun?"
"Enggak," kilah Alan seraya berusaha menarik nafasnya sejenak dan mengalihkan pandangannya dari Lintang agar sang istri tidak curiga padanya.
"Adek mau susulin mama ke toilet ya, Kak."
"Gak perlu. Bentar lagi mama juga balik kok,"
"Adek kebe_let pi_pis. Hehe..." cicit Lintang seraya menampilkan deretan gigi putihnya pada Alan.
"Ya udah. Tau enggak toiletnya yang dekat sini?"
"Gampang kak. Nanti adek tinggal tanya. Aku pergi dulu ya, Kak. Udah enggak tahan,"
"Hem,"
Lintang segera berjalan pergi meninggalkan Alan. Tak berselang lama, Mama Dian muncul dari arah yang berbeda.
"Loh, kok mama dari sana? Bukankah toilet terdekat ke arah sebelah sini?" cecar Alan seraya menunjuk arah toilet terdekat dengan aula kampus yang dijadikan tempat wisudanya.
"Tadi toiletnya penuh dan antri banget, Lan. Jadi mama cari toilet di tempat lain,"
"Ketemu?"
"Ya ketemu dan sudah lega bisa buang air kecil,"
"Syukurlah kalau begitu,"
"Lintang ke mana?" tanya Mama Dian seraya kepalanya celingukan ke sana kemari karena tak melihat menantunya.
"Lintang pergi ke toilet. Tadi katanya mau susulin mama, tapi kemudian dia bilang pengin pi_pis."
☘️☘️
Secara kebetulan toilet yang didatangi Lintang dengan Mama Dian berbeda. Lintang memilih toilet yang dekat dengan aula kampus Alan.
Kebetulan saat Lintang datang, toilet tak begitu ramai. Hanya ada dua pengunjung sedang mencuci tangan di wastafel sembari membubuhkan lipstik.
Lintang pun berjalan masuk ke dalam salah satu bilik toilet wanita yang sedang kosong. Detik selanjutnya...
"Hiks...hiks...hiks..."
Terdengar sebuah tangisan pilu yang berusaha ditahannya sejak tadi. Ya, Lintang menangis.
Sedangkan di tempat Alan bersama ibunya berdiri, kepala Mama Dian melihat lingkungan sekitarnya. Berharap sang menantu masih lama di toilet.
Lalu, ia berjalan lebih mendekati putranya seraya berucap lirih seperti berbisik.
"Lan,"
"Ya, Ma. Ada apa?"
"Mama tadi enggak sengaja melihat Gendhis. Apa kalian bertemu?"
"Iya,"
"APA ??" Mama Dian pun sontak terkejut mendengar putranya tersebut bertemu Gendhis. Secara refleks nada suaranya ikut naik beberapa oktaf.
Bersambung...
🍁🍁🍁
gemes sm si lintang jdnya