Semua berawal dari rasa percayaku yang begitu besar terhadap temanku sendiri. Ia dengan teganya menjadikanku tumbal untuk naik jabatan, mendorongku keseorang pria yang merupakan bosnya. Yang jelas, saat bertemu pria itu, hidupku berubah drastis. Dia mengklaim diriku, hanya miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusi Fitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 5
Aku berulang kali menahan nafas tatkala mataku bertemu dengan Sebastian, alias Elbarra. Entah bagaimana dia sudah berada disini. Saat ini kami tengah duduk bertiga di kantin, Addie duduk bersampingan dengan Sebastian, lalu aku duduk di hadapan mereka.
"Aku tidak percaya kau mau bergabung bersama kami," ucap Addie sambil tersenyum malu.
Kulihat Sebastian tidak merespon, ia terus menatapku tajam. Aku benar-benar takut dibuatnya. Ingin sekali aku mencolok kedua matanya itu agar berhenti menatapku.
Disaat kami mulai sibuk menyantap makanan, seorang pria tiba-tiba muncul dan mengambil tempat di sampingku. Spontan, aku menoleh. Ternyata Colt yang menghampiri.
"Hai, sudah lama tidak bertemu." Ia tersenyum dan menyapaku, seperti biasa.
Aku tersenyum canggung, "Aku baru melihatmu lagi. Satu bulan ini kau kemana?"
"Apa kau merindukanku?" Colt menyebalkan. Lihatlah bagaimana caranya menggodaku.
"Mengapa kau tidak pernah peka, Si? Colt selalu menunjukkan perhatiannya kepadamu, tapi kau terus berpura-pura tidak tahu." Addie menambahi.
Bukannya aku tidak peka, hanya saja memang aku tidak memiliki ketertarikan terhadap Colt, aku menganggapnya hanya sebatas teman. Dia baik, tapi aku tetap tidak bisa untuk menyukainya.
Eh, aku melupakan satu hal. Kulirik Sebastian yang menatapku. Mulutnya terkatup rapat, tapi kedua tangannya terkepal kuat. Habislah aku, dia akan mengamuk setelah ini.
"Aku ingin ke kamar mandi dulu," Aku bangkit, kemudian segera menjauhi kantin tersebut.
Dari kejauhan, aku masih bisa mendengar Addie dan Colt yang membicarakanku. Addie benar-benar menyebalkan, ia kekeuh sekali ingin membuatku dan Colt bersama.
Di dalam kamar mandi, aku mencuci wajahku berulang kali. Aku agak mengantuk, mungkin karena kekurangan tidur atau tidak tertidur sama sekali. Aku memandang wajahku di cermin, apa yang begitu menarik dariku hingga Elbarra mengejarku sampai kemari.
Aku pun menghela nafas panjang, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Baru saja melangkah keluar, mendadak ada yang menarik lengannya begitu saja.
"Elbarra, sakitt!!" Aku merintih kesakitan, karena cengkeramannya begitu kuat.
Setelah berada di tempat yang sepi, Elbarra atau Sebastian melepaskan cengkeramannya.
Brakk!!
Aku semakin merintih, saat pria itu mendorongku ke dinding. Ia mempersempit jarak di antara kami, bahkan aroma mint dari nafasnya tercium oleh hidungku.
"Siapa pria tadi?"
"Pria siapa?" Aku tidak tahu, siapa yang Elbarra maksud.
"PRIA YANG DUDUK DI SAMPINGMU!" bentaknya.
Aku terkesiap, Elbarra benar-benar marah. Aku bisa melihat nafasnya yang memburu.
"Itu.. itu Colt. Temanku," lirihku seraya menunduk.
"Teman? Hahaha.." Elbarra tertawa sumbang. Di detik berikutnya, wajahnya berubah dingin. "Tidak ada pertemanan diantara pria dan wanita. Jelas-jelas dia menyukaimu, dan aku melihatnya."
"Aku tidak berbohong, aku dan Colt hanya teman."
Elbarra tak perduli pada ucapanku, ia justru menciumku secara brutal. Aku mencoba mendorongnya, tapi tenagaku tidak cukup kuat jika di banding dengannya.
"El, jangan.. Emph," Air mataku tak bisa terbendung, aku menangis, tapi Elbarra masih tidak mau melepaskanku.
"Jangan dekat dengan lelaki manapun. Kau milikku, kau mengerti?"
Aku masih menangis tanpa menyahutinya, apakah Elbarra melepaskanku? Tidak! Namun ciumannya jauh lebih lembut, sesekali ia menghapus jejak air mataku.
"Aku cemburu, Sisi. Aku sangat marah saat kau dekat dengan pria lain. Kumohon mengerti aku," bisiknya sambil menyatukan dahi kami.
"Ta- tapi aku dengan Colt hanya teman,"
"Aku tahu. Tapi dia menyukaimu, aku tidak suka." Elbarra memasang wajah masam, namun cukup lucu dimataku.
"Tapi Addie menyukaimu!"
Elbarra mendesis tidak suka, "Aku tidak perduli. Aku hanya tertarik padamu."
"Tapi dia cantik," Aku berusaha sebisa mungkin membuat Elbarra menyukai Addie, mungkin dengan begitu dia akan melepaskanku.
"Sisiii!" Elbarra memelototiku, "Jika aku bilang tidak, maka tidak."
Aku mendengus sebal, lalu memalingkan wajah darinya.
"Kenapa kau pergi dari rumah?" Kali ini Elbarra berubah serius.
"Aku tidak nyaman. Lagipula, itu bukan rumahku."
"Rumah kita," tegasnya. "Aku sudah mempersiapkan acara pernikahan kita dalam waktu dekat."
Mendengar itu, mataku membulat sempurna. "Kau gila? Siapa yang ingin menikah?"
"Tentu saja kita."
Aku menggeleng tidak percaya, "Tidak, tidak. Aku tidak mau."
"Kau harus mau! Lagipula, aku sudah mengundang Mama Sabrina untuk kesini."
What??? Dia membawaku ibuku kesini.
Aku tertawa renyah, "Kau pasti bercanda. Mamaku tidak mungkin mengenalmu."
"Siapa bilang? Aku sudah menghubunginya tadi pagi dan mengatakan akan menikahimu. Mama bilang, kita diskusikan lagi nanti setelah Mama tiba disini."
Oh, berarti Mama belum sepenuhnya menyetujui. Aku masih punya harapan untuk menolaknya.
"Jangan bermain-main dengan pernikahan, El. Lagipula, sejak kapan aku mengatakan ingin menikah, apalagi denganmu." Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.
"Kau harus mau!! Jika kau tidak mau menikah denganku, jangan harap bisa bertemu dengan Mama-mu lagi."
Heh, apa-apaan ini? Dia mengancamku?
Belum sempat aku membalasnya, Elbarra sudah lebih dulu meninggalkanku. Seketika kepalaku terasa berdenyut nyeri, aku bertumpu pada dinding untuk menjaga keseimbangan.
"Pria ini benar-benar gilaa!"
Aku bergegas kembali sebelum Addie mencurigaiku. Dan benar saja, setibanya di kantin, Addie menatapku sebal.
"Apa yang kau lakukan di kamar mandi? Kenapa lama sekali?"
Colt menyentuh pundakku dengan ekspresi khawatir, "Kau baik-baik saja, Si?"
"Ehem," Sebastian berdehem kencang, seketika aku menurunkan tangan Colt yang menggantung di pundakku.
"Aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir."
"Tapi wajahmu pucat. Kau tidak ingin diperiksa saja?" sambung Colt.
"Dia sudah bilang baik-baik saja, kenapa kau terus memaksanya?" Sebastian menatap sengit kearah Colt.
Aku jadi panik melihatnya, untung Addie dengan cepat mencairkan suasana.
"Sudahlah. Kenapa kita malah berdebat seperti ini? Bagaimana jika kita menonton saja setelah mata kuliah selesai?"
"Aku setuju. Bagaimana denganmu, Si?" Colt menatapku penuh harap, namun tatapan tajam yang Sebastian berikan, membuat nyaliku menciut.
"Maaf, Addie. Aku rasa, aku tidak bisa. Aku cukup lelah, jadi ingin beristirahat saja."
"Ah, Sisi. Aku ingin sekali menonton. Tapi sepertinya kau memang lelah, terlihat dari wajahmu."
Aku tersenyum tipis, "Lain kali aku akan menemanimu, oke?"
Addie mendesah kecewa, tapi tak urung mengangguk juga. "Baiklah. Kau istirahatlah yang cukup yaa.."
"Jadi, yang menonton hanya kita bertiga?" sambung Addie sambil menatap Sebastian.
"Aku sibuk. Ada hal yang harus kukerjakan."
Lagi, Addie terlihat kecewa. Ia cemberut sambil mengaduk-aduk minumannya.
"Bagaimana jika kita berdua yang menonton?" tawar Colt.
Addie tak langsung menjawab, ia perpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.
"Aku sedang bosan dirumah."
"Baiklah. Temui aku diparkiran, oke?" Addie mengangguk.
"Si, aku kembali ke kelas dulu. Jika kau butuh sesuatu, hubungi aku!" sambung Colt.
Aku hanya mengangguk pelan, pria itu lalu meninggalkan kami bertiga. Mataku tertuju pada Addie yang terlihat lesu, ini pasti gara-gara sikap acuh dan ketus Sebastian. Pria ini benar-benar keterlaluan.