NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.2k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tarian di Atas Bara

Gerobak bijih besi berhenti dengan sentakan kasar. Debu hitam mengepul, membuat semua penumpang terbatuk-batuk.

"Turun, Daging Segar!" teriak pengawal konvoi.

Liang Wu melompat turun dari tumpukan bijih. Kakinya mendarat di tanah yang bukan lagi tanah, melainkan lapisan kerak batu vulkanik yang panas. Panasnya menembus sol sepatu jerami tipisnya dalam hitungan detik.

Di hadapan mereka, menganga sebuah lubang raksasa di perut bumi: Kawah Besi Hitam.

Ini bukan sekadar tambang. Ini adalah kota industri yang dibangun di dalam dinding kawah gunung berapi aktif. Ribuan tungku pembakaran berjejer di tebing-tebing kawah, memuntahkan asap hitam ke langit yang sudah kelabu. Di dasar kawah, danau magma merah menyala memberikan penerangan abadi, menggantikan matahari yang tidak pernah terlihat jelas di sini.

Suaranya memekakkan telinga. Denting palu raksasa, desis uap, dan teriakan mandor menciptakan simfoni penderitaan.

Liang Wu dan lima puluh calon "Umpan Tungku" lainnya digiring menuju sebuah pelataran batu luas di bibir kawah.

Di sana, berdiri seorang pria bertelanjang dada dengan otot-otot yang tampak seperti dipahat dari batu granit. Kulitnya merah tembaga, botak, dan ada tato api yang bergerak-gerak di dadanya.

Dia adalah Mandor Besi, pemimpin perekrutan Sekte Besi Hitam.

"Dengar!" suaranya menggelegar tanpa bantuan Qi, murni kekuatan paru-paru. "Kalian datang ke sini karena kalian miskin, putus asa, atau buronan yang tidak punya tempat lari. Aku tidak peduli."

Dia menunjuk ke bawah, ke arah jembatan batu sempit yang membentang di atas aliran sungai lava kecil menuju pintu gerbang sekte.

Jembatan itu bukan jembatan biasa. Itu adalah lempengan batu obsidian yang dipanaskan dari bawah oleh uap magma. Warnanya merah suram.

"Ujian masuknya sederhana," kata Mandor Besi sambil menyeringai kejam. "Lari seberangi Jembatan Lidah Naga itu. Yang sampai di seberang dengan kaki utuh, diterima. Yang jatuh... yah, anggap saja persembahan untuk Dewa Api."

Para calon buruh memucat.

"Itu gila!" teriak seorang pria kurus. "Batu itu merah membara! Kaki kita akan hangus sebelum sampai tengah!"

"Kalau begitu pulanglah!" bentak Mandor Besi. "Sekte Besi Hitam tidak butuh kulit lembut! Kami menempa tubuh, bukan memanjakan bayi!"

Dia menendang pria kurus itu hingga jatuh ke pinggir tebing. Pria itu berguling, nyaris jatuh ke jurang kawah, dan lari terbirit-birit kembali ke jalan.

"Siapa yang pertama?!"

Hening. Tidak ada yang berani bergerak. Panas dari jembatan itu bisa dirasakan dari jarak sepuluh tombak.

Liang Wu, yang berdiri di barisan belakang dengan capingnya yang kusam, menghela napas pelan.

Dia menatap jembatan itu. Bagi manusia biasa, itu siksaan. Tapi bagi kultivator Pengumpulan Qi, itu bisa diatasi dengan menyalurkan Qi ke telapak kaki. Masalahnya, dia menyamar sebagai manusia biasa bernama Tie.

Jika dia menggunakan Qi secara terang-terangan, dia akan ketahuan.

Aku harus menggunakan fisik murni, batin Liang Wu.

Tubuhnya memang belum sekuat baja, tapi latihan Tapak Vajra selama bertahun-tahun di kuil telah membuat kulit telapak tangan dan kakinya lebih tebal dari orang biasa. Ditambah lagi, rasa sakit di wajahnya telah membuatnya kebal terhadap penderitaan.

Liang Wu melangkah maju, membelah kerumunan yang ketakutan.

"Minggir," katanya datar.

Semua mata tertuju padanya. Sosok bercaping dengan parang karatan di pinggang.

"Oh? Ada yang bernyali," Mandor Besi menyipitkan mata. "Siapa namamu, Nak?"

"Tie."

Liang Wu tidak banyak bicara. Dia berjalan menuju pangkal jembatan. Dia melepas sepatu jeraminya. Sepatu itu akan terbakar dan meleleh, justru akan memperparah luka. Lebih baik telanjang kaki.

Dia menginjak batu merah itu.

Ssssss.

Suara daging bertemu besi panas terdengar. Bau daging panggang menguar.

Liang Wu tidak berteriak. Dia bahkan tidak mengernyit. Wajahnya di balik caping tetap datar, matanya kosong menatap ujung jembatan.

Satu langkah. Dua langkah.

Rasanya seperti menginjak ribuan jarum api. Kulit telapak kakinya melepuh, pecah, lalu terbakar hingga lapisan daging.

Tapi Liang Wu terus berjalan. Iramanya stabil. Tidak lari, tidak melambat.

Ini tidak seberapa, batinnya.

Para buruh lain ternganga. Mandor Besi mengangkat alisnya, tertarik.

"Dia gila..." bisik seseorang.

Saat Liang Wu mencapai tengah jembatan, uap belerang menyembur dari celah batu, menghantam wajahnya. Topeng kulitnya terasa panas, tapi dia menahannya.

Tiga puluh langkah. Empat puluh langkah.

Kaki Liang Wu meninggalkan jejak darah yang mendesis dan menguap di atas batu panas.

Akhirnya, dia menginjakkan kaki di tanah dingin di seberang jembatan.

Dia tidak jatuh. Dia tidak pingsan. Dia hanya berdiri di sana, melihat telapak kakinya yang hangus dan berasap, lalu menoleh ke arah Mandor Besi di seberang jurang.

"Lulus?" tanya Liang Wu, suaranya serak.

Mandor Besi tertawa terbahak-bahak. Tawa yang menggelegar.

"Bagus! Sangat bagus! Si Besi, kau diterima! Kau punya tulang punggung!" Mandor Besi menoleh ke sisa kerumunan. "Lihat itu?! Itu namanya laki-laki! Siapa lagi?!"

Terpicu oleh keberhasilan Liang Wu, beberapa orang nekat mencoba.

Pria kedua berlari. Dia berteriak kesakitan di langkah kelima, terpeleset, dan jatuh. Kulit wajahnya menempel di batu panas. Dia menjerit histeris sebelum berguling jatuh ke dalam sungai magma di bawah.

Blup.

Hanya ada letupan api kecil.

Kengerian melanda. Dari lima puluh orang, hanya dua puluh orang yang akhirnya berani dan berhasil menyeberang—sebagian besar dengan kaki cacat permanen.

Mereka dikumpulkan di barak budak—sebuah gua besar yang dipahat kasar di dinding kawah.

Liang Wu duduk di pojok gelap. Dia memeriksa kakinya. Kulitnya hangus total, daging merah terlihat.

Dia mengeluarkan salep yang dia beli di Desa Sungai Batu. Dia mengoleskannya tipis-tipis. Rasa dingin dari salep itu meredakan api di sarafnya.

"Kau... kau hebat sekali, Saudara Tie."

Seorang pemuda kurus dengan wajah penuh bintik hitam mendekatinya. Kakinya diperban kain kotor, dia berjalan terpincang-pincang. Dia adalah salah satu yang berhasil lolos, meski nyaris jatuh.

"Namaku Xiao Bao," katanya, menyodorkan kantong air kulit. "Terima kasih. Kalau kau tidak maju duluan, aku pasti sudah lari pulang."

Liang Wu menatap Xiao Bao. Pemuda ini mengingatkannya pada Han. Lemah, naif, tapi punya tekad aneh.

"Jangan berterima kasih," kata Liang Wu dingin, tidak mengambil air itu. "Kau selamat karena kakimu sendiri."

"Tapi... caramu berjalan tadi. Kau seperti tidak merasakan sakit. Apa kau pendekar?"

"Aku cuma orang yang sudah mati rasa," jawab Liang Wu, memejamkan mata di balik capingnya. "Tidur. Besok kita masuk ke dalam Lubang Cacing Api. Aku dengar di sana lebih panas."

Xiao Bao tidak tersinggung dengan sikap dingin itu. Dia justru duduk di dekat Liang Wu, merasa aman di dekat sosok yang kuat.

Malam itu, Liang Wu tidak tidur. Dia menggunakan teknik pernapasan untuk menarik sedikit demi sedikit elemen api yang pekat di udara.

Biasanya, kultivator Pengumpulan Qi tidak bisa menyerap elemen api murni tanpa teknik khusus, karena akan membakar meridian. Tapi Liang Wu menggunakan metode gila.

Dia membiarkan Qi api itu masuk melalui luka bakar di kakinya.

Rasa sakitnya luar biasa. Seperti menuang garam ke luka terbuka. Tapi Liang Wu menggunakan rasa sakit itu untuk merangsang pertumbuhan sel baru.

Dia sedang mencoba sebuah ide liar yang dia dapatkan dari mengamati mayat pengemis kultivator di Rumah Duka. Konsepnya sederhana: Hancurkan, lalu bangun kembali dengan energi yang lebih keras.

Jika dia bisa bertahan dari proses ini, kulit kakinya tidak akan tumbuh kembali sebagai kulit manusia biasa.

Ia akan tumbuh sebagai kulit yang kebal api.

Di dalam kegelapan barak, diiringi suara rintihan buruh lain yang kesakitan, Liang Wu menggigit sepotong kayu agar tidak berteriak saat dia mulai 'memasak' kakinya sendiri dengan Qi.

Perjalanan menjadi senjata telah dimulai.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!