NovelToon NovelToon
Cincin Peninggalan Kakek

Cincin Peninggalan Kakek

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Kebangkitan pecundang / Menjadi Pengusaha / Anak Lelaki/Pria Miskin / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:25.7k
Nilai: 5
Nama Author: RivaniRian21

Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 Bang Jago atau Sok Jago?

Pagi hari di proyek pembangunan terasa berbeda. Kabar tentang prestasi Arjuna sudah menyebar di antara para pekerja dari mulut Pak Tarno. Kini, setiap kali Arjuna lewat sambil memanggul semen, ia tidak lagi menerima tatapan aneh, melainkan anggukan penuh hormat dan senyum penyemangat. Arjuna merasa diterima, ia merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga baru. Ia bekerja dengan ritme yang lebih ringan, hatinya dipenuhi rasa syukur.

Namun, suasana damai itu tidak bertahan lama.

Sekitar pukul sepuluh pagi, saat matahari mulai meninggi, segerombolan besar pria berpenampilan sangar tiba-tiba memasuki area proyek. Mereka datang dengan beberapa motor yang diparkir sembarangan di depan gerbang, menghalangi jalan. Jumlah mereka banyak, sekitar tiga puluhan orang, membuat para pekerja yang sedang sibuk langsung menghentikan aktivitas mereka.

Wajah-wajah para pekerja langsung berubah tegang. Mereka saling berbisik, beberapa bahkan langsung menyingkir, mencoba tidak menarik perhatian. Ini adalah pemandangan yang mereka takuti, namun sudah mereka duga akan terjadi. Preman wilayah.

Seorang pria berbadan tegap dengan bekas luka di pipi, yang tampaknya adalah pemimpin mereka, berjalan dengan angkuh menghampiri Pak Tarno yang sedang memeriksa pondasi.

"Pagi, Pak Mandor," sapa pemimpin preman itu dengan senyum sinis. "Proyeknya lancar sekali ya, kelihatannya. Pembangunannya ngebut."

Pak Tarno menghela napas, wajahnya langsung terlihat repot dan tertekan. "Selamat pagi, Bang Jago," jawabnya, mencoba terdengar tenang. "Ya, beginilah, Mas. Dikejar target."

"Bagus, bagus," kata preman bernama Jago itu. "Biar targetnya makin lancar, biar proyeknya aman sentosa tidak ada gangguan... jangan lupalah 'uang koordinasinya' sama kita-kita yang jaga keamanan wilayah sini."

Para pekerja yang mendengar itu hanya bisa diam, menundukkan kepala. Mereka tahu apa artinya kata-kata itu. Uang keamanan. Uang preman.

"Begini, Bang Jago," Pak Tarno mencoba bernegosiasi. "Proyek ini kan juga baru jalan. Dananya masih sangat terbatas. Untuk yang begitu-begituan, kami belum ada anggarannya. Mohon pengertiannya..."

Tawa kasar terdengar dari Jago dan anak buahnya. "Pengertian?" katanya. "Pengertian kami itu mahal, Pak Mandor. Kalau tidak ada uang koordinasi, bagaimana kami bisa menjamin kalau semen-semen ini tidak hilang nanti malam? Atau kalau alat-alat berat ini besok pagi masih ada di sini?"

Ancaman itu begitu jelas. Beberapa anak buah Jago bahkan mulai bertingkah. Ada yang dengan sengaja menendang tumpukan bata hingga berjatuhan, ada yang menggoda para pekerja dengan tatapan mengintimidasi. Suasana menjadi sangat mencekam.

Arjuna, yang sejak tadi mengamati dari kejauhan, meletakkan karung semen yang ada di bahunya. Hatinya terasa panas. Ia melihat wajah ketakutan rekan-rekan kerjanya. Ia melihat Pak Tarno yang pucat dan bingung harus berbuat apa. Orang-orang ini telah menerimanya dengan baik. Tempat ini telah memberinya harapan dan upah pertamanya. Ia tidak bisa hanya diam dan menonton.

Dengan langkah mantap, ia berjalan mendekat, melewati para pekerja yang mencoba menahannya dengan isyarat mata. Ia berhenti tepat di samping Pak Tarno, berhadapan langsung dengan Jago dan puluhan anak buahnya.

"Wih, ada pahlawan baru?" ejek Jago, menatap Arjuna dari atas ke bawah. "Anak siapa ini, Pak Mandor? Kuli baru? Nggak usah ikut campur urusan orang tua, Dik. Nanti susu ibumu di rumah bisa basi."

Tawa kembali membahana. Namun Arjuna tetap tenang.

"Bapak-bapak ini semua sedang bekerja mencari nafkah untuk keluarga mereka," kata Arjuna, suaranya terdengar jelas dan tenang di tengah ketegangan itu. "Sama seperti Abang-abang sekalian, yang saya yakin juga punya keluarga yang harus dinafkahi."

Jago berhenti tertawa, sedikit terkejut dengan nada bicara Arjuna yang tidak menunjukkan rasa takut.

Arjuna melanjutkan, "Proyek ini memberikan pekerjaan bagi banyak orang. Kalau proyek ini diganggu, bisa jadi akan berhenti. Kalau berhenti, semua orang di sini akan kehilangan pekerjaan. Semua orang rugi. Apa tidak ada cara yang lebih baik untuk mencari rezeki daripada harus merugikan orang lain yang juga sedang berjuang?"

Argumen logis dan tenang dari seorang pemuda kurus di hadapan tiga puluh preman itu adalah sebuah pemandangan yang ganjil. Jago menatapnya lekat, amarah mulai terlihat di wajahnya karena merasa digurui.

"Cara yang lebih baik?" Jago menyeringai, memperlihatkan giginya yang kuning. "Cara yang lebih baik itu adalah kamu minggir dari hadapan saya sebelum muka kamu saya buat rata dengan tanah ini!"

Jago mendorong dada Arjuna dengan kasar. "Dengar ya, bocah! Di sini kami yang membuat aturan!"

Arjuna hanya sedikit terhuyung ke belakang. Ia menatap Jago, lalu menyapu pandangannya ke arah tiga puluh anak buahnya yang sudah siap menerkam. Dialog telah berakhir. Argumentasi tidak lagi berguna.

Ia hanya menghela napas pelan. Sepertinya, hari ini ia terpaksa harus sedikit "berolahraga" lagi.

Dorongan kasar dari Bang Jago membuat Arjuna sedikit terhuyung, namun kakinya tetap menancap kuat di tanah. Ia hanya menatap balik, ekspresinya bukan marah atau takut, melainkan... sedikit kecewa. Seolah ia berharap akan menghadapi lawan bicara yang lebih cerdas.

Ketenangannya yang ganjil itu justru menyulut amarah Bang Jago dan anak buahnya.

"HAHAHA! Lihat anak ingusan ini! Disentuh dikit aja udah kayak patung!" ejek salah satu preman.

"Pahlawan kesiangan dari kampung mana lo, hah?!" sahut yang lain. "Badan kayak tusuk sate aja gayanya selangit! Mending pulang, Dik, bantu ibumu di dapur!"

Gelombang hinaan dan tawa kasar terus menerpanya. Mereka mengepungnya, melontarkan segala macam ejekan untuk meruntuhkan mentalnya. Para pekerja proyek yang lain tampak semakin cemas. Pak Tarno, dengan wajah pucat, menarik lengan Arjuna dengan paksa.

"Jun, sudah, Jun! Jangan diladeni, ayo minggir!" bisik Pak Tarno dengan suara gemetar. "Ini bukan urusanmu, Nak! Biar Bapak yang urus! Nyawamu bisa melayang nanti!"

Arjuna menoleh pada Pak Tarno. Ia melihat ketulusan dan ketakutan yang nyata di mata mandornya itu. Dengan lembut namun tegas, Arjuna melepaskan genggaman tangan Pak Tarno dari lengannya.

"Tidak apa-apa, Pak," katanya, suaranya tetap tenang dan mantap, memberikan kepercayaan diri yang aneh. "Serahkan pada saya."

Ia lalu kembali memfokuskan seluruh perhatiannya pada Bang Jago, seolah puluhan preman lain di sekelilingnya hanyalah bayangan tak berarti.

"Berteriak-teriak dan mengeroyok orang yang lebih lemah tidak akan membuat kalian terlihat kuat," ujar Arjuna. Kata-katanya keluar dengan enteng, tanpa beban, namun setiap suku katanya terdengar jelas dan tajam. "Itu hanya menunjukkan kalau kalian semua sebenarnya penakut."

Wajah Bang Jago langsung memerah padam. Hinaan telak seperti itu, diucapkan oleh seorang anak kecil di depan semua anak buahnya, adalah sesuatu yang tak bisa ia terima.

"APA KAU BILANG, BOCAH?!" geramnya.

"Aku bilang, kau penakut," ulang Arjuna, tanpa menaikkan nada suaranya sedikit pun. Ia lalu melanjutkan dengan santai, "Begini saja, tidak usah ramai-ramai. Buang-buang tenaga. Antara kau... dan aku."

Jari telunjuk Arjuna teracung lurus, menunjuk tepat ke wajah Bang Jago.

"Satu lawan satu," lanjutnya. "Kalau aku kalah, aku akan serahkan semua upah kerjaku hari ini dan tidak akan pernah muncul di sini lagi. Tapi..." Arjuna membiarkan jeda itu menggantung, menyapu pandangannya ke seluruh anak buah Jago. "...kalau kau yang kalah, kau dan semua temanmu ini angkat kaki dari sini. Jangan pernah kembali, dan jangan pernah mengganggu para pekerja ini lagi. Bagaimana? Kau berani?"

Hening.

Seluruh area proyek senyap seketika. Para pekerja menatap Arjuna tak percaya. Pak Tarno memegangi kepalanya, mengira Arjuna sudah benar-benar gila.

Lalu, keheningan itu pecah.

"BUAHAHAHAHAHAHA!"

Bang Jago tertawa terbahak-bahak, tawanya begitu keras hingga ia harus memegangi perutnya. Anak buahnya yang tadinya tegang kini ikut tertawa, menganggapnya sebagai lelucon paling lucu yang pernah mereka dengar.

"Kamu?!" Jago menunjuk Arjuna sambil menyeka air mata di sudut matanya. "Mau duel satu lawan satu... lawan aku?!" Ia menepuk-nepuk dadanya yang bidang. "Anak kecil, kamu tahu tidak aku ini siapa? Aku bisa mematahkan lehermu itu dengan satu tangan sebelum kamu sempat berkedip!"

Arjuna hanya diam, menunggu tawa itu mereda.

Melihat Arjuna yang tidak gentar sama sekali, ego Bang Jago semakin terbakar. Menghajar anak ini satu lawan satu di depan semua orang adalah cara terbaik untuk memberinya pelajaran sekaligus menaikkan pamornya. Sebuah kemenangan mudah yang akan jadi tontonan menarik.

"BAIK!" seru Bang Jago, tawanya kini berubah menjadi seringai kejam. "Aku terima tantanganmu, bocah bodoh! Sebuah kehormatan bisa mematahkan tulang pahlawan kesiangan sepertimu!"

Ia memberi isyarat pada anak buahnya. "Mundur semua! Beri kami tempat! Biar anak ini dapat pelajaran yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya!"

Anak buahnya dan para pekerja proyek serempak mundur, secara otomatis membentuk sebuah arena dadakan di tengah lahan proyek yang berdebu. Panggung telah disiapkan. Di satu sisi, berdiri Bang Jago, preman sangar penguasa wilayah. Di sisi lain, berdiri Arjuna, pemuda kurus dari desa. Duel yang tampak sangat tidak seimbang itu akan segera dimulai.

1
agus purnomo
kopi plus vote suhu
biar nulisny makin lancar...💪
Was pray
kalau merasa terbebani dengan cincin warisan kakeknya ya dilepas saja Juna, daripada kamu mengeluh terus, kayaknya gak ikhlas menerima takdirmu juna
Aman Wijaya
jooooz jooooz gandos lanjut terus
Aman Wijaya
lanjut terus Thor
Aman Wijaya
top markotop ceritanya Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz pooolll lanjut terus
4U2C
𝘆𝗮 𝗶𝗻𝗴𝗮𝘁 𝗮𝘀𝗮𝗹 𝘂𝘀𝘂𝗹𝗺𝘂 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗯𝗶𝗮𝗿 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝗿𝗲𝗮𝗱𝗲𝗿 𝘀𝘂𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗸𝗶𝘀𝗮𝗵𝗺𝘂..
4U2C
𝗷𝗮𝘂𝗵𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴-𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗼𝗻𝗴𝗹𝗼𝗺𝗲𝗿𝗮𝘁 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝘀𝗼𝘀𝗼𝗸 𝗸𝗼𝗻𝗴𝗹𝗼𝗺𝗲𝗿𝗮𝘁 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂𝗵 𝗻𝘆𝗮,,𝗶𝘁𝘂 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝘀𝘂𝗹𝗶𝘁𝗸𝗮𝗻 𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗺𝘂 𝗻𝗮𝗻𝘁𝗶𝗻𝘆𝗮,,𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁 𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝗺𝘂𝗻𝘀𝘂𝗵𝗺𝘂 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗱𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮-𝗱𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮..𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽𝗹𝗮𝗵 𝗿𝗲𝗻𝗱𝗮𝗵 𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝘂𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗮𝗺𝗽𝘂..𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗴𝗶𝘂𝗿 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝗿𝗮𝘆𝗮..
4U2C
𝗽𝗮𝗰𝗮𝗿 𝗺𝗶𝗮 𝗥𝗜𝗔𝗡 𝗱𝗶𝗮𝗺𝗯𝗶𝗹 𝗦𝗜𝗡𝗧𝗔 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗗𝗜𝗢𝗡,,𝗮𝗽𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗗𝗜𝗢𝗡 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗠𝗜𝗔 𝘆𝗮,,𝗱𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝘄𝗮𝗹 𝗶𝗯𝘂 𝗟𝗜𝗔𝗡𝗔 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗠𝗜𝗔,,𝗺𝗲𝗹𝗮𝗺𝘂𝗻,𝗮𝗽𝗮 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗺𝗲𝗹𝗼𝗻𝗴𝗼..𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗿𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗱𝘂𝗻𝗶𝗮..𝗺𝗮𝘂 𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮 𝗮𝗷𝗮 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀,,𝗱𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁𝗶 𝗴𝗮𝗱𝗶𝘀 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮,,𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗠𝗜𝗔 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗔𝗨𝗟𝗜𝗔,,𝗽𝘂𝘁𝗿𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮..
agus purnomo
kopi lagi suhu
Aman Wijaya
lanjut terus Thor semangat semangat ditunggu lagi updatenya 💪💪💪 sehat selalu untukmu Thor sehingga bisa berkarya terus
Aman Wijaya
Arjuna rasa disidak seperti seorang terpidana lanjut terus Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz pooolll Thor 💪💪💪
Aman Wijaya
babat semuanya Juna jangan beri ampun bikin mereka semua tidak bisa bangun
Aman Wijaya
top top markotop lanjut terus Thor semangat semangat semangat
Aman Wijaya
lanjut terus Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz jooooz pooolll Thor lanjut terus
Rita Natalia
Dion siapa ya ?
Achmad
ayo Thor lanjut semangat jangan kendor
Achmad
semangat Thor lanjut semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!