Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Tiga bulan kemudian
Sudah hampir tiga bulan sejak Amara meninggalkan segalanya di Jakarta. Rumah besar kedua milik keluarga Marvionne di pinggiran kota Bandung kini menjadi tempat ia berlindung dari masa lalu. Dinding putih beraroma bunga sedap malam, dan suara gemericik air di taman belakang, semuanya terasa tenang, tapi bukan berarti hatinya ikut tenang.
Amara duduk di teras, mengelus perutnya yang mulai membesar. Langit sore menggantung lembut di atasnya, warna jingga merona di antara dedaunan mangga yang menua. Zico berdiri tak jauh dari sana, menatapnya dengan diam.
“Dokter bilang kondisi Nona dan bayi stabil. Tapi … Nona masih sering begadang.”
Amara menatap jauh ke arah gerbang.
“Tidurku tidak sulit, Zico. Yang sulit itu … melupakan.”
Zico menunduk, dia tahu, setiap kali Amara menatap langit dengan cara seperti itu, hatinya pasti sedang berperang antara cinta dan kebencian.
“Bagaimana keadaan perusahaannya?” tanya Amara pelan.
“Masih kacau, semua jalur penerbangan Wirantara ditangguhkan. Sahamnya turun, dan beberapa dewan direksi mulai mundur.”
Amara mengangguk pelan. “Aku tidak menginginkan kehancurannya, Zico. Aku hanya ingin dia sadar.”
“Sadar akan apa, Nona?”
“Bahwa cinta … bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang berani percaya.”
Hening sejenak, hanya suara burung petang yang memecah udara di antara mereka. Tuan Edward Marvionne, pria tua dengan rambut perak dan langkah pelan, muncul dari arah pintu utama.
“Amara,” panggilnya lembut. “Kau tidak boleh terlalu banyak pikiran. Bayi itu butuh ibunya yang kuat.”
Amara tersenyum, memegang tangan kakeknya.
“Aku berusaha, Kek. Aku hanya ... belum tahu apakah nanti dia akan punya ayah yang baik atau tidak.”
Edward menatap cucunya lama. “Jika dia ditakdirkan, maka ayahnya akan datang bukan untuk meminta maaf, tapi untuk memperbaiki diri.”
Kalimat itu menggantung di udara hangat, tapi menyesakkan. Amara menunduk, mengusap lembut perutnya yang mulai menonjol.
“Kalau begitu, aku akan menunggu … tapi tidak untuknya kembali. Aku menunggu hari di mana aku tak lagi menangis saat mengingatnya.”
Zico memalingkan wajahnya, menyembunyikan sesuatu yang tak bisa ia katakan, perasaan yang perlahan tumbuh, tapi ia tahu tak akan pernah sebanding dengan luka yang Amara bawa. Langit kian gelap, dan angin sore mulai dingin. Namun, di tengah kesunyian itu, Amara tampak lebih kuat daripada sebelumnya. Dia bukan lagi istri yang menunggu penjelasan.
Sudah tiga bulan sejak kepergian Amara. Dan selama itu pula, Shaka Wirantara hidup seperti orang yang kehilangan arah. Perusahaan yang dulu ia banggakan kini berada di ambang kehancuran.
Setiap hari, ia menatap jendela ruang kerjanya, menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.
“Sudah dapat kabarnya?”
Suara Shaka berat dan serak ketika bertanya pada Haris yang berdiri di hadapannya. Haris menunduk, wajahnya tampak lelah.
“Tidak ada, Kapten. Semua akses data tentang Bu Amara sudah tertutup rapat. Bahkan sistem pelacakan pribadi kita pun diblokir. Orang-orang keluarga Marvionne sepertinya memang tak ingin Bu Amara ditemukan oleh kita.”
Shaka menatap layar laptopnya yang kosong, menahan emosi yang menyesakkan di dada.
“Tuan Edward…” gumamnya pelan, “dia sengaja menghilangkan semua jejak Amara dari hidupku.”
Haris menatap bosnya dengan hati-hati. “Apa kita lanjutkan pencarian lewat jalur pribadi?”
“Tidak,” jawab Shaka dengan nada datar, tapi penuh tekanan.
“Kalau aku melibatkan orang lain, mereka bisa menganggap ini provokasi. Aku tidak ingin memperburuk hubungan dua keluarga.”
Dia berdiri, mendekati jendela besar yang memperlihatkan langit Jakarta yang mendung. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.
“Tapi aku juga tidak akan berhenti. Aku tahu dia di luar sana. Aku tahu Amara masih hidup, dan … membawa anakku.”
Haris diam, dia tahu, di balik ketenangan Shaka, ada badai yang tak bisa dipadamkan.
Suatu malam, saat Shaka pulang ke rumah besar keluarga Wirantara, ia berdiri lama di depan kamar yang dulu mereka tempati bersama. Di atas ranjang masih terlipat selimut yang Amara gunakan.
Di meja rias masih ada sisir dan bros kecil yang ia tinggalkan. Shaka duduk di tepi ranjang itu, menunduk dan menatap kosong.
“Amara…” suaranya bergetar.
“Kalau aku diberi kesempatan sekali saja, aku ingin menebus semuanya … bahkan jika aku harus kehilangan segalanya untuk bisa melihatmu lagi.”
Haris berdiri di depan pintu, tak berani mendekat. Ia tahu, malam-malam seperti ini adalah malam paling berat bagi Shaka.
Malam di mana Kapten Shaka Wirantara, pria yang dulu dikenal kuat dan tegas, berubah menjadi hanya seorang pria yang menyesal telah kehilangan cintanya.
Di balik pintu, Karina memperhatikannya dari ujung koridor mata wanita itu memantulkan niat yang tak biasa. Shaka menyalakan lampu kamarnya, melepas jasnya, lalu duduk di tepi ranjang dengan napas lelah. Botol minuman di meja sudah separuh habis. Ia tak menyadari Karina yang pelan-pelan membuka pintu.
“Mas Shaka,” suara lembut itu menggoda, penuh nada menggoda. “Kamu masih belum bisa melupakannya, ya?”
Shaka mendongak, menatap Karina tanpa ekspresi.
“Pergi, Karina. Aku sedang tidak ingin bicara.”
Namun Karina malah mendekat, langkahnya ringan tapi berani.
“Kenapa kamu terus menyiksa diri sendiri? Aku di sini, Mas Shaka. Aku yang selalu di sini waktu semua orang pergi darimu.”
Tangannya menyentuh bahu Shaka, lalu merayap turun ke dadanya. “Biarkan aku menghapus luka itu…”
Shaka menepis kasar, berdiri dengan wajah muram.
“Jangan lakukan ini.”
“Tapi aku mencintaimu!” Karina meninggikan suara. “Kenapa kamu selalu menolak? Apa aku kurang sempurna dibandingkan perempuan itu?”
“Karina!” bentak Shaka. “Jangan menyebutnya, karena kau tak pantas!”
Air mata Karina jatuh, tapi di balik itu ada api kecil yang mulai menyala. Ia berjalan cepat, mendorong dada Shaka dengan marah.
“Kalau kamu benar-benar ingin melupakan Mbak Amara, buktikan! Aku di sini, Mas Shaka! Aku yang kamu bawa ke rumah ini! Aku yang kamu minta tinggal di sini!”
Pertengkaran mereka pecah. Suara bentakan dan gesekan keras terdengar hingga keluar kamar. Merlin, yang sejak tadi belum tidur, keluar dari ruang tengah dengan wajah tegang.
“Karina!” serunya dari ambang pintu kamar Shaka. “Apa yang kau lakukan?!”
Karina membalik tubuhnya, napasnya terengah. “Aku hanya ingin Mas Shaka berhenti menyiksa dirinya sendiri! Kenapa kalian semua selalu membelanya!?”
Shaka berusaha menenangkan keadaan, tapi suaranya justru semakin dalam dan berat.
“Cukup, Karina. Jangan buat masalah lagi.”
Namun Karina justru berteriak, suaranya menggema hingga membuat seluruh rumah terdiam.
“Kau yang memohon padaku, Mas Shaka! Kau yang membawa aku ke sini, bukan aku yang meminta!”
Merlin membeku di tempat. Sorot matanya tajam menatap putranya.
“Apa maksudnya itu, Shaka?”
Shaka terdiam beberapa detik, menelan ludah dengan wajah penuh tekanan.
“Aku … memang membawanya ke sini. Tapi bukan karena alasan yang kau pikirkan, Karina.”
Dia menatap ibunya dalam-dalam. “Aku kira … Karina adalah orang yang menyelamatkanku waktu penyerangan di tol malam itu.”
Wajah Merlin menegang. “Penyerangan? Maksudmu … saat mobilmu diserang orang tak dikenal beberapa tahun lalu?”
Shaka mengangguk pelan. “Ya, aku salah mengira.”
“Dan yang sebenarnya menolongmu adalah…?” suara Merlin bergetar.
“Amara.” Satu kata itu keluar perlahan, tapi cukup membuat ruangan itu membeku.
Merlin menutup mulutnya, air mata menetes tanpa sadar. Sementara dari arah tangga, langkah Tuan Wirantara terdengar mantap. Ia muncul, berdiri di depan pintu kamar dengan wajah penuh kekecewaan.
“Ayah tahu itu sejak awal,” suaranya berat tapi tenang. “Tuan Edward sendiri yang memberi tahu kami tentang kejadian itu. Makanya kami menyetujui perjodohanmu dengan Amara.”
Shaka memejamkan mata, menunduk penuh sesal.
“Kenapa Ayah tidak pernah memberitahuku?”
“Karena kamu tidak pernah mau mendengar,” jawab Tuan Wirantara tegas. “Kamu terlalu sibuk menuruti egomu. Amara sudah menanggung semuanya ... bahkan luka di lehernya itu adalah bukti. Apa kamu tidak pernah memperhatikan?”
Kalimat itu menampar Shaka dengan keras. Luka di leher Amara, diaa teringat sesuatu, luka yang sama juga pernah dilihatnya di leher Karina, dan itu yang membuatnya salah paham selama ini.
Seketika, Karina terkekeh pelan di tengah ketegangan itu.
“Ternyata itu alasannya…” ujarnya dengan nada sinis, lalu menatap Shaka tajam.
“Luka di leherku bukan karena aku menolongmu, Mas Shaka. Itu karena aku diserang waktu tinggal di jalan. Hidup di jalan itu keras. Aku cuma memanfaatkan kesempatan waktu tahu kamu mencari seseorang yang menyelamatkanmu. Kebetulan aku ada di lokasi yang sama malam itu.”
Kata-katanya jatuh seperti pisau yang menusuk dada Shaka.
Rahangnya mengeras, tubuhnya menegang, dan semua hal yang ia perjuangkan tiba-tiba terasa sia-sia. Merlin hanya bisa memejamkan mata, menahan amarah dan kekecewaan yang menumpuk.
Sementara Tuan Wirantara memalingkan wajah, suaranya pelan tapi menusuk,
“Sekarang kamu tahu, Shaka … berapa banyak kesalahan yang sudah kamu buat sendiri.”
Shaka menatap lantai kosong di bawah kakinya, menyadari bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia benar-benar kehilangan segalanya.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya