Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Moira menurunkan masker sepenuhnya, lalu menatap Razka dengan wajah datar tanpa rasa takut. Justru dia memiringkan kepala sedikit, seolah heran dengan tatapan pria itu.
“Kalau bapak ngerasa kenal, mungkin karena muka saya pasaran.” Moira menarik napas, lalu melanjutkan dengan suara tenang. “Tapi kalau bapak masih curiga, silakan cek daftar pekerja shift malam di pos satpam. Nama saya jelas tercatat di sana—Naya.”
Salah satu anak buah Jackson menatap Razka, seakan menunggu perintah. Jackson sendiri tampak tidak sabar.
“Udahlah, kalau cuma kuli, buang waktu aja. Kita punya urusan lebih penting.”
Razka tidak langsung menjawab. Dia masih menatap Moira, lama, seolah mencoba menembus topeng yang dipakainya. Tatapan itu membuat bulu kuduk Moira berdiri—tatapan predator yang pernah dia kenal baik.
Namun Moira justru membalas dengan tatapan dingin khas pekerja lelah. “Saya pamit, pak. Masih ada kargo lain yang harus saya susun.”
Dia mendorong troli keluar dengan santai, tidak terburu-buru. Setiap langkah terasa seperti meniti ranjau, tapi ekspresinya tetap datar.
Begitu dia berhasil keluar dari area gudang, Moira menyentuh earphone-nya pelan.
“Tha, gue berhasil keluar. Lo di mana?”
“Di belakang, siap cover kalau lo dikejar. Ternyata lo masih jago acting, Bi.” Suara Gentha terdengar lega bercampur kagum.
Moira menyunggingkan senyum tipis. “Heh, lo kira gue gampang ketauan? Gue masih punya seribu wajah, Tha.”
Di balik pintu, Razka masih berdiri menatap arah keluarnya Moira. Senyumnya muncul samar, tapi tatapannya penuh rasa curiga.
“Nama Naya, hm? Mata itu… nggak mungkin gue salah.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu di apartemen Moira, suasana hening hanya diisi suara rekaman yang diputar lewat laptop Gentha. Suara Razka dan Jackson terdengar jelas dari alat penyadap yang Moira pasang.
Jackson: “Lo yakin transaksi senjata ini aman? Polisi udah mulai curiga.”
Razka: “Gue punya orang dalam. Semua jalur udah beres. Nitro yang pegang kendali sekarang, bukan Hanabi.”
Jackson: “Terserah lo aja yang penting semuanya aman, kan Hanabi udah mati. Lo jangan terus-terusan takut sama bayangan cewek itu.”
Razka: (tertawa kecil )“Lo nggak tau aja… Hanabi mungkin mati, tapi warisan dan orang-orangnya masih ada. Gue harus pastiin semua tunduk sama gue.”
Moira mengepalkan tangannya, matanya berkilat dingin saat mendengar namanya disebut. “Bangsat. Dia bahkan berani ngomongin gue seakan-akan gue cuma bayangan masa lalu.”
Gentha menutup laptop pelan, menatap Moira serius. “Bi, rekaman ini udah cukup buat bikin Razka jatuh. Kita bisa serahin ke polisi atau media. Nama dia langsung hancur.”
Moira menggeleng pelan, tatapannya penuh perhitungan. “Belum, Tha. Kalau kita langsung sebarin, dia bisa nyari kambing hitam. Bisa-bisa Jackson yang dijeblosin, sementara Razka bersih-bersih tangan.”
Gentha mengernyit. “Jadi lo mau apa?”
Moira menyandarkan tubuh ke sofa, menyilangkan kaki. “Gue mau bukti lebih dalam. Gue harus bikin mereka sendiri yang saling tikam. Biar Razka jatuh bukan karena gue… tapi karena dia sendiri buka semua aibnya.”
Senyum miring muncul di wajah Moira. “Ini baru awal, Tha. Gue akan sabar. Setiap langkah mereka gue rekam. Dan pada waktunya, dunia bakal liat siapa Razka sebenarnya.”
Gentha memperhatikan Moira lama, lalu menghela napas. “Gue lupa… lo kalau udah nyusun strategi gini, seremnya kebangetan. Kayak main catur pakai nyawa orang.”
Moira menoleh, menepuk pundaknya. “Bukan kayak, Tha. Emang gitu adanya.”
...****************...
Malam itu, Moira menatap Gentha dengan tatapan penuh perhitungan. “Tha, kalau gue mau deketin Razka lebih jauh, gue harus masuk lagi ke Nitro. Dan lo tahu sendiri, gue nggak bisa masuk sendirian. Gue butuh bantuan lo.”
Gentha menghela napas berat. “Masuk Nitro bukan main-main, Bi. Lo tau kan isinya udah separuh orang Razka semua. Kalau salah gerak—”
“Gue mati. Iya, gue tau.” Moira menyeringai tipis. “Tapi gue udah mati sekali. Sekali lagi pun nggak masalah, asal gue bisa tarik Razka ikut ke liang kubur.”
Belum sempat Gentha menjawab, suara gaduh terdengar dari arah pintu.
“THAAAAA!!!”
Brak!
Pintu apartemen hampir copot ditendang empat orang sekaligus.
Moira refleks berdiri, siap menyerang, tapi Gentha malah tepok jidat. “Astaga, ini dia bocah-bocah sengklek gue.”
Masuklah empat orang dengan gaya masing-masing:
• Reno, rambut pirang setengah gondrong, bawa gitar listrik kemana\-mana padahal nggak bisa main.
• Bima, tubuh kekar tapi otaknya kayak suka nyasar lebih sering jadi samsak hidup.
• Kiko, paling kurus, matanya sipit, suka ngomong ngawur tapi kadang idenya jenius.
• Danu, si “modis gagal”, bajunya penuh aksesoris bling\-bling ala gangster murahan.
Reno langsung duduk di sofa tanpa izin. “Gila, Tha, gue kira lo diculik ternyata nongkrong sama cewek cakep. Kenalin dong, ini gebetan lo?”
Moira melotot. “Gebetan pala bapak lo.”
Bima nyengir, ngelepas kacamata hitam yang dipake malam-malam. “Wuih, galak. Cocok sama Gentha. Pasangan sengklek.”
“Eh nih makan tuh jagung.” Gentha mengambil jagung rebus lalu menyumpalkan ke dalam mulut Bima. “Nih Bi, kenalin. Ini empat setan jalanan yang suka bikin gue stress. Tapi kalo soal nyelundup, nyamar, bikin kekacauan, mereka jagonya.”
Kiko tiba-tiba nyeletuk sambil nyemil keripik. “Lo butuh masuk Nitro, kan? Gampang. Tinggal pura-pura jadi penyanyi cafe, saingan Razka. Dijamin dia bakal panas sendiri.”
Danu angkat tangan, bling-bling kalungnya bergemerincing. “Atau bikin kasus gede, terus pura-pura jadi orang suruhan Jackson. Lo bisa langsung deket sama Razka dari situ.”
Moira memperhatikan mereka satu-satu, lalu tersenyum tipis. “Oke… temen lo gak ada yang waras Tha, tapi gue suka. Kita bakal butuh semua otak gila lo buat bikin rencana besar ini jalan.”
Keempatnya langsung sorak sorai.
“WOOOI, MISI BESAR!!!”
Gentha cuma geleng-geleng, tapi ada senyum kecil di wajahnya. “Ya Tuhan, Moira… lo baru aja nambah empat masalah hidup lo.”
Moira nyulut rokok sambil nyeringai. “Bukan masalah, Tha. Empat aset sengklek.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Baru aja mereka mau mulai nyusun strategi, tiba-tiba terdengar suara ketukan sepatu hak tinggi di koridor.
Tak…tak…tak…
Pintu apartemen terbuka pelan, dan masuklah sosok kelima—posturnya tinggi, rambut sebahu dicat merah, wajahnya full make-up tipis dengan alis on fleek. Ia pakai jaket kulit ketat dipadukan dengan celana robek-robek, plus high heels 10 cm.
“Maap, darling… gue ketinggalan bis, jadi agak telat.” katanya dengan gaya tangan melambai-lambai.
Moira refleks hampir keselek rokok. “Hah… ini apaan lagi?”
Gentha langsung nutup muka dengan kedua tangan. “Ya Tuhan… gue lupa. Bi, kenalin… ini Rio, kawan kita juga. Dia agak… slay.”
Rio cemberut, tangannya mendarat manja di bahu Gentha. “Agak? Apa lo bilang ‘agak’? Gue ini slay sejati, honey. Jangan diremehkan. Kalau soal menyusup, menyamar, atau bikin cowok mabuk kepayang… itu keahlian gue.”
Keempat temannya langsung ketawa ngakak.
“Hati-hati Ra,… sekali Rio nyamar jadi biduan dangdut, satu kampung bisa nyembah dia.”ucap Reno.
“HAHAHA iya, waktu itu dia nyamar jadi emak-emak penjual sayur, polisi aja nggak nyadar.” Balas Bima duduk di sebelah Kiko.
“Jangan salah, kemampuan acting-nya di atas rata-rata, loh. Bisa bikin musuh salah fokus.”tambah Kiko.
“Dan jangan lupa, dia punya kontak salon gelap yang bisa bikin identitas palsu.”kata Danu sambil mencomot jagung.
Moira sempet bengong, tapi lalu mengangkat alis dan tersenyum sinis. “Hmm… berarti lo bisa jadi kartu truf kita. Orang-orang kayak lo yang biasanya diremehin justru paling gampang masuk ke sarang musuh tanpa dicurigai.”
Rio langsung pasang pose ala model catwalk, lalu berkedip ke arah Moira. “Yaaass, queen! Akhirnya ada yang ngerti value gue. Don’t worry, sayang… Nitro bakal luluh kalau gue yang main.”
Moira menepuk dahinya, lalu menoleh ke Gentha. “Tha… gila bener tim lo. Tapi gue suka. Ini persis tim yang gue butuhin—sengklek, aneh, tapi punya skill masing-masing.”
Gentha ngelus dada, pasrah. “Lo minta bantuan, Bi. Nih, gue kasih paket lengkap tim Srimulat.”
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/