Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Sudah enam bulan berlalu sejak malam panjang yang penuh kejujuran itu. Malam ketika luka dibuka, bukan untuk disakiti lagi, tapi untuk benar-benar diobati. Sejak saat itu, Nathan tak lagi banyak berbicara soal janji. Ia tahu, kata-kata tak lagi cukup untuk Kayla.
Dan memang, Kayla tak lagi butuh janji. Ia hanya ingin melihat apakah kata-kata yang dulu pernah diucapkan, kini berubah menjadi tindakan yang nyata.
Nathan mengerti. Karena itu, selama enam bulan terakhir, ia memilih untuk diam, dan membuktikan.
Dulu, tanggung jawab sebagai pemimpin perusahaan sering membuatnya menunda waktu bersama Kayla. Selalu ada rapat tambahan, klien yang mendadak, atau lembur yang tak bisa ditunda. Tapi sekarang, Nathan tetap dengan tanggung jawab yang sama. Bedanya, ia mulai belajar menyisihkan waktu. Menyisihkan, bukan menunggu waktu luang datang.
Ia pulang sebelum langit benar-benar gelap. Bahkan jika itu berarti ia harus kembali menatap layar dan menumpuk laporan lagi setelah Kayla pulang tidur.
Ada yang dikorbankan, tentu. Tapi tidak pernah sekali pun Nathan mengeluh. Karena ia tahu, dulu Kayla sudah terlalu sering menjadi yang dikorbankan dan kali ini, ia ingin mengubah itu.
Dengan ritme yang baru itu, perlahan tapi pasti, ada sesuatu yang tumbuh lagi di antara mereka, rasa percaya. Bukan yang meledak-ledak seperti di awal hubungan. Tapi rasa percaya yang kalem, tenang, dan dalam. Seperti sungai yang mengalir setelah lama kering.
Di suatu Minggu pagi yang dihiasi hujan rintik-rintik, aroma sabun dan embun lembut masih menggantung di udara. Kayla baru saja selesai mandi dan sedang menggulung rambutnya dengan handuk, ketika suara ketukan terdengar dari arah pintu.
Ia sedikit mengernyit. Jam belum menunjukkan pukul delapan, dan hari ini tidak ada janji apa pun.
Dengan langkah pelan dan penasaran, ia menuju pintu dan membukanya.
"Nathan?" ucapnya dengan alis terangkat.
Bukan kedatangannya yang membuat Kayla terkejut. Tapi waktunya terlalu pagi untuk seorang tamu, bahkan untuk Nathan yang akhir-akhir ini memang sering datang di akhir pekan.
Nathan berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan penuh tentengan bungkus makanan siap santap, sekantong roti, dan beberapa bahan segar. Senyumnya lebar, seperti tak terpengaruh hujan di luar.
"Kenapa kaget? Kayak aku nggak pernah ke sini aja," ujarnya sambil masuk begitu saja, sudah tahu arah dapur tanpa perlu ditunjukkan.
Kayla menghela napas pendek, setengah geli. "Bukan nggak pernah, tapi pagi-pagi begini…"
"Bangunin kamu pake sarapan enak, salah ya?" Nathan meletakkan barang bawaan di meja makan kecil. Lalu, dari balik kantong kertas terakhir, ia mengeluarkan satu tangkai mawar merah dan langsung menancapkannya ke vas kaca di sudut ruangan, tempat yang kini selalu terisi bunga darinya setiap kali datang.
"Masih seger bunganya," katanya sambil menatap mawar yang baru ia bawa. "Makasih ya, Sayang… udah mau ngerawat semua bunga yang aku bawa."
Kayla hanya tersenyum kecil. Bukan senyum besar yang mengembang, tapi senyum tenang. Yang menyiratkan bahwa pelan-pelan, hatinya sudah mulai percaya lagi.
Kayla mengeluarkan dua piring dan menaruhnya di meja. Gerakannya sudah terbiasa. Mereka memang belum tinggal bersama, tapi ritme itu seperti sudah mengatur dirinya sendiri. Sudah enam bulan ini, hari-hari tertentu selalu dimulai dengan Nathan. Entah sebagai kejutan, atau bagian dari rutinitas diam-diam yang mereka bentuk ulang bersama.
Nathan sibuk memanaskan sup dan mengatur roti di atas piring, sesekali mencuri pandang ke arah Kayla yang kini menyisir rambut di dekat jendela.
Aroma sup ayam menguar dari dapur apartemen Kayla. Nathan sibuk menuang sup ke mangkuk, lalu meletakkan dua potong roti panggang di piring. Gerak-geriknya cekatan, tapi matanya tetap sesekali melirik ke arah Kayla yang sedang duduk di dekat jendela, menyisir rambutnya perlahan.
"Ngapain ngeliatin?" tanya Kayla tanpa menoleh, senyumnya terselip di ujung suara.
"Ngeliatin doang masa nggak boleh?" jawab Nathan santai. "Tapi ya, rambut kamu udah kepanjangan, tahu. Dulu waktu masih sebahu... seksi banget."
Kayla langsung menoleh, setengah protes, setengah malu. "Ih, apaan sih, Nat. Mulai deh godainnya."
Nathan terkekeh, mendekat, lalu melingkarkan lengannya di perut Kayla dari belakang. Ia menyandarkan dagunya di pundak wanita itu. Kehangatan tubuh mereka menyatu dalam kesunyian yang tak canggung.
"Aku doang yang ngerasa, atau kamu juga ngerasa... kita makin deket akhir-akhir ini?" tanyanya pelan.
Kayla mengangguk kecil. "Aku ngerasa juga. Rasanya kayak... kita berdua udah lebih ngerti cara saling jaga. Bukan cuma saling cinta, tapi saling rawat.”
Nathan mengeratkan pelukannya.
"Dulu kita banyak benturannya, ya?" gumamnya. "Tapi sekarang… kamu nggak tahu betapa lega dan bersyukurnya aku bisa lihat kamu setenang ini."
Kayla menoleh sedikit, menatap Nathan dari sudut mata. "Itu karena kamu berubah. Kamu buktiin, bukan janji-janjiin. Kamu bikin aku percaya lagi."
Nathan tersenyum. "Aku belajar. Bukan buat jadi sempurna, tapi buat jadi lebih sadar. Kalau kamu tuh bukan orang yang bisa dipegang dengan kata-kata aja. Kamu butuh ditemenin, dilihat, dimengerti."
Mereka saling diam sejenak. Tapi bukan diam yang kikuk, melainkan damai.
"Aku suka banget versi kamu yang sekarang," ucap Kayla kemudian. "Nggak ribet, nggak drama, tapi terasa... nyata."
"Versi aku yang kayak gini nggak akan ada kalau kamu nggak tahanin aku dulu," balas Nathan. "Kalau kamu nggak sabar nungguin aku belajar."
Kayla tertawa kecil. "Iya sih, sabar banget malah. Tapi jangan harap aku bisa sabar dua kali ya.”
Nathan ikut tertawa. "Aman, Bu. Satu kali cukup bikin aku tobat seumur hidup."
Kayla membalik badan, menatap wajah Nathan yang begitu dekat. "Udah. Sarapannya dingin nanti.”
Nathan mencubit pelan hidung Kayla sebelum akhirnya melangkah ke meja makan. "Siap, Bu Kepala Rumah Tangga."
Mereka duduk berhadapan. Sambil menyendok sup, Nathan sesekali menyuapkan potongan roti ke mulut Kayla, dengan gaya berlebihan yang membuat Kayla memutar mata, tapi diam-diam tersenyum.
Setelah sarapan selesai dan meja dibereskan, mereka duduk di sofa, berselimut satu kain tebal, menonton film acak yang bahkan tidak terlalu mereka perhatikan.
"Kay," Nathan memanggil pelan.
"Hm?"
"Kalau kita bisa terus kayak gini... kamu percaya nggak kita bisa bertahan lama?"
Kayla tak langsung menjawab. Ia hanya memandang layar televisi yang menampilkan adegan keluarga makan malam bersama. Lalu perlahan, ia bersandar lebih dalam ke bahu Nathan.
"Aku nggak mau bilang iya atau nggak," katanya pelan. "Tapi aku tahu, kalau kita sama-sama mau jaga, ya mungkin… bisa."
"Terima kasih untuk tiga tahun waktunya buat aku. Happy anniversary yang ke tiga, Sayang. Mudah-mudahan ada yang ke empat, ke lima, dan seterusnya dengan status kita yang lebih dari ini."
"Kamu ingat tanggal jadian kita?" tanya Kayla terkejut, pasalnya baru kali ini Nathan mengucap hari jadi mereka.
Nathan hanya mengangguk kecil seraya tersenyum samar. Ia megeratkan pelukan seakan tak mau melepaskan. Tangannya perlahan mengusap rambut Kayla, sementara matanya berkabut oleh sesuatu yang sulit ia jelaskan.
Ia menunduk, menatap wajah tenang perempuan yang ia cinta.
'Gimana caranya aku ngomong ke kamu, Kay?'