NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:695
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 22 - Persiapan Syuting

Vee

Studio milik Thomas Hunt hanya berjarak dua kilometer dari kampus Ashenwood, tapi rasanya seperti dunia yang berbeda, lebih sunyi, lebih serius, lebih nyata. Saat aku dan Tyler melangkah ke ruang diskusi utama, beberapa orang sudah duduk menunggu. Suasana penuh rasa ingin tahu dan gugup yang sama besarnya.

Aku berinisiatif menyalami mereka satu per satu. Production manager, penata lampu, penulis script Cadangan, semuanya wajah baru yang dipilih dari lintas jurusan. Tyler hanya memperhatikan dari sisi ruangan, ekspresinya seperti biasa: tenang, tapi tajam.

Naomi Lin memperkenalkan diri lebih dulu. Rambut hitamnya diikat rapi, gaya bicaranya cepat dan percaya diri. “Vee Sinclair,” aku menyodorkan tangan. Naomi menatapku, lalu tertawa kecil. “Kita pernah ikut lomba film yang sama, kan? Dua tahun lalu?”

Aku mengerutkan dahi sebentar, baru kemudian mengingatnya. “Astaga, iya! Filmku yang menang waktu itu.”

Ia tersenyum, tapi senyumnya agak tegang. “Kebetulan yang menarik, ya.”

Aku ikut tertawa pelan. “Kita sudah tidak berkompetisi lagi sekarang, semoga sekarang kita bisa kerja sama lebih baik ya.”

Tak lama, satu per satu kru masuk. Jumlahnya hampir lima puluh mahasiswa. Ruangan terasa semakin sempit, penuh energi muda yang berdebar. Aku baru tahu kalau Chloe menjadi Director of Photography. Aku melihatnya mengedit video yang ia bilang untuk freelance, ternyata video itu untuk audisi proyek ini. Ia melambai padaku dari kejauhan. Sophie duduk di meja samping, menyiapkan catatan script. Penulis naskah asli, Abby Smith, batal terlibat karena sakit, jadi Sophie akan menggantikannya. Aku lega. Ada wajah-wajah familiar di tengah lautan orang asing ini. Minus Ethan—entah di mana bocah itu kali ini.

Suara langkah berat memecah keramaian. Semua kepala menoleh bersamaan. Thomas Hunt memasuki ruangan dengan langkah pelan tapi mantap, ditemani Elara yang menatapku dan mengedip cepat seolah berkata “kamu bisa.”

Aku sudah sering melihatnya akhir-akhir ini, tapi baru kali ini aku benar-benar melihatnya. Ia jauh lebih kurus, wajahnya pucat, tapi sorot matanya tetap sama, tajam dan memancarkan wibawa.

Aku berbisik pada Tyler tanpa menoleh, “Sejak kapan dia sekurus itu?”

Tyler menjawab pelan, “Pria tua itu terlalu keras kepala untuk istirahat. Tapi dia baik-baik saja. Tenanglah, kamu fokus saja.”

Thomas duduk di kursi depan, diapit Tyler. Ruangan mendadak senyap seperti teater sebelum pertunjukan dimulai. Tyler membuka pertemuan dengan suara datar namun tenang, mengucapkan terima kasih pada semua yang hadir. Lalu, ia menyerahkan mikrofon ke Thomas.

“Saya tidak akan sering berkunjung,” kata Thomas dengan suara yang pelan tapi tegas, “tapi saya akan terus memantau proyek ini melalui Professor Hill. Jadi saya harap kalian bekerja dengan sungguh-sungguh. Hargai apa yang disampaikan Hill dan Sinclair. Aku percaya pada mereka, dan aku percaya kalian semua akan memberikan yang terbaik.”

Beberapa orang bertepuk tangan, hati-hati, seolah takut membuatnya lelah. Lalu, giliran kami memperkenalkan diri.

Aku berdiri, menarik napas panjang. “Halo semuanya, saya Victoria Sinclair. Saya mahasiswa pindahan, tapi sudah cukup lama berkecimpung di penyutradaraan film pendek. Salah satunya, The Lost Soul, memenangkan lomba nasional 2 tahun lalu.” Aku tersenyum tipis, menatap sekeliling. “Dan, ya, saya tahu beberapa dari kalian juga ikut lomba itu. Jadi semoga kali ini kita bisa bekerja sama dengan baik.”

Beberapa tawa kecil terdengar, suasana sedikit mencair.

Satu per satu perkenalan berlanjut: Production crew, lighting, editing, sampai costume and property. Mila Garcia, editor kami, terlihat seperti seseorang yang tidak tidur cukup tapi punya semangat kerja yang menular. Penelope, penata kostum, sibuk mencatat sesuatu bahkan sebelum rapat dimulai.

Lalu giliran para aktor

Liam Carter sebagai Vincent Bastien, tokoh utama pria.

Stella Harper sebagai Claire Bastien, istri Vincent.

Derek Vaughn dan beberapa nama lain untuk peran pendukung.

Mereka membacakan beberapa baris dari naskah Ashes of Winter. Suara mereka memenuhi ruangan. Suara Liam bergetar pada adegan konfrontasi, Stella menatap kosong dengan ekspresi kehilangan yang sempurna. Untuk sesaat, aku lupa bahwa ini hanya latihan.

Setelah pembacaan selesai, aku berdiri dan menatap semua orang. “Target saya,” ucapku, memastikan suara terdengar tegas, “semuanya selesai syuting sebelum semester baru dimulai. Jadi waktu kita terbatas. Dua minggu persiapan, lalu kita mulai syuting tanggal 15 Januari. Kita punya tiga minggu untuk menyelesaikan seluruh adegan utama.”

Suara catatan pena dan ketukan keyboard terdengar di sekelilingku. Semua mulai mencatat, menghitung waktu, memperkirakan jadwal. Tyler disebelahku tidak menatap, tapi aku merasakan kehangatannya dicampur perasaan bangga yang berusaha ia sembunyikan.

Tiga jam kemudian, pertemuan resmi selesai. Semua orang keluar satu per satu, masih saling berbicara dengan antusias. Tyler menutup buku catatannya, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke arahku. “Good job, Ms. Sinclair,” katanya pelan.

Aku menatapnya, menahan senyum. “Belum, Mr. Hill. Syutingnya bahkan belum dimulai.”

\~\~\~

Beberapa hari setelah pertemuan pertama, kami kembali ke studio Hunt untuk script reading. Aku duduk di depan ruangan, berdampingan dengan Tyler. Di meja panjang di tengah ruangan, seluruh aktor duduk mengelilingi naskah mereka, halaman-halaman putih yang penuh coretan pensil dan sticky notes berwarna.

Aku memulai sesi dengan membantu mereka set the tone, mulai dari menjelaskan ritme dialog, emosi, dan jeda antar kalimat.

“Jangan takut diam,” kataku. “Kadang justru di keheningan itu perasaan muncul.”

Liam membacakan adegan pertama saat Vincent, mantan pianis yang baru keluar dari penjara, kembali ke rumahnya setelah bertahun-tahun. Tapi rumah itu tidak lagi terasa seperti rumah. Dan entah bagaimana, aku ikut menahan napas saat ia membaca dialognya. Ada perasaan getir dan kehilangan yang jujur dalam suaranya, perasaan yang bahkan belum ada saat audisi. Aku tahu ia berlatih keras untuk ini, tapi aku tak menyangka ia akan tumbuh secepat ini.

Lalu Stella, pemeran istri Vincent, memulai bagiannya. Suaranya lembut tapi bergetar, lalu ia berhenti sebentar. “Boleh aku tambahkan sedikit improvisasi?” tanyanya. Aku mengangguk.

Ia menarik napas, lalu memainkan beberapa nada di piano yang disiapkan di pojok ruangan, melodi yang dingin, tapi hangat di ujungnya.

“Lagu tema ini…” katanya pelan. “Aku menulisnya tadi malam saat membaca naskah. Aku beri judul Winterlight, entah kenapa rasanya cocok sekali dengan emosi Claire disini.”

Nada-nada itu memenuhi ruangan, membuat semua orang terdiam. Tyler menatapku sejenak dari ujung meja, dan untuk sesaat aku tahu kami memikirkan hal yang sama, ini bukan sekadar proyek mahasiswa lagi. Ini sudah menjadi sesuatu yang nyata.

Bagian tersulit berikutnya adalah membuat Liam terlihat seperti pianis sungguhan. Dan ternyata Stella sabar sekali mengajarinya. Aku beberapa kali melihat mereka berlatih bersama setelah jam reading selesai. Jari-jari Liam yang awalnya kaku kini mulai membentuk harmoni, setidaknya cukup meyakinkan untuk diambil kamera.

Aktor-aktor pendukung juga mengalami kemajuan. Derek, yang dulu menyebalkan di semester lalu, kini jauh lebih dewasa. Ia memberi masukan kecil pada blocking dan chemistry antar karakter, dan anehnya, aku menghargainya. Tiba-tiba aku sadar, aku tidak bisa membayangkan proyek ini tanpa mereka.

Keesokan harinya, aku berpindah ke ruang produksi untuk mengawasi pembuatan set dan kostum. Studio kini hidup dengan aktivitas suara gergaji, kain yang dijahit, dan orang-orang yang sibuk menandai papan jadwal. Liam dan Derek ikut membantu tim art menata ruang latihan piano, ruangan yang akan menjadi pusat banyak adegan emosional dalam film.

“Vee, aku mau kau lihat dua tone warna ini.” Penelope, penata kostum kami, memanggilku ke sisi ruangan. Di hadapannya dua gaun tergantung di gantungan logam, satu berwarna biru gelap, satu lagi abu muda. Untuk karakter Claire Bastien, istri Vincent, aku ingin terpancar kesedihan, namun tetap tenang.

“Yang abu muda,” jawabku akhirnya. “Kita mau visual filmnya terasa dingin, murung, tapi tetap manusiawi.”

Penelope mengangguk, menandai catatan di buku sketsanya.

Naomi dan tim produksi di sisi lain sibuk menata property seperti bingkai foto, piano rusak, botol obat, dan tumpukan surat lusuh yang menjadi simbol utama dalam cerita. Tawa mereka terdengar ringan, tapi sedikit mereda saat aku menghampiri. Mungkin karena aku masih ‘sutradara baru’. Tapi Harrison, si penata lampu, cepat mencairkan suasana dengan candaan konyol soal “pencahayaan bisa menutupi semua dosa manusia”. Mereka tertawa lagi, dan aku ikut tertawa.

Aku tahu butuh waktu untuk membuat semua orang nyaman denganku. Tapi aku tidak menyerah. Karena satu hal yang kupelajari dari Thomas Hunt adalah — sutradara yang baik bukan hanya mengarahkan, tapi juga membuat orang lain percaya padanya.

Malamnya, aku berdiri di tengah set yang hampir selesai. Lampu studio setengah mati, tapi cukup untuk menyoroti ruang piano yang kini terlihat nyata. Aku menyentuh salah satu kunci pianonya. Dingin. Di ruangan kosong itu, aku menutup mata sebentar.

Untuk Thomas, dan untuk diriku sendiri.

Aku berjanji dalam hati, Film ini akan sempurna.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!