NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:365
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 Harapan Baru dan Berita Hoax

Kegelapan gang sempit itu menyambut mereka bukan dengan kelegaan, melainkan dengan aroma tajam sampah basah, kotoran, dan bau amis yang menyesakkan. Sasha tersandung. Hak sepatunya, yang kini terasa begitu konyol, tersangkut di antara tumpukan puing, tetapi genggaman tangan Zega pada pergelangannya kuat dan tak kenal kompromi.

“Jangan berhenti!” perintah Zega, suaranya seperti geraman rendah. Ia tidak berlari, ia meluncur, tubuhnya sudah terlatih untuk bergerak efisien di lingkungan yang brutal ini. Sasha, dipaksa mengikuti ritme itu, merasakan adrenalin memompa melewati kelelahan. Ini bukan lagi pertemuan dewan direksi; ini adalah perjuangan primitif untuk bertahan hidup.

Di belakang mereka, dari pintu masuk gang, terdengar teriakan Paman Hadi yang semakin jauh dan teredam. Lalu, suara deru mobil sport Elang yang berputar, mencoba mencari jalan memutar. Mereka hanya punya waktu beberapa detik.

Zega menarik Sasha ke samping sebuah dumpster besar yang berkarat, menekan punggungnya ke dinding beton yang dingin. Napas Sasha tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan cepat. Ia bisa merasakan panas tubuh Zega yang terpancar, melindungi dirinya dari dunia luar.

“Mereka akan mengirim tim pencari ke sini dalam tiga menit,” bisik Zega, matanya memindai bayangan dan celah di sekitar mereka. “Mereka tidak bodoh. Mereka tahu kita akan mengambil jalan yang tidak terduga.”

“Lalu?” Sasha hampir tidak bisa membentuk kata-kata. Ia melihat sekilas ke wajah Zega yang dihiasi bayangan, siluetnya tajam dan bertekad. Untuk pertama kalinya, ia melihat Zega bukan sebagai rekan kerja yang sinis, melainkan sebagai satu-satunya pelindung.

Zega menunjuk ke atas, ke tangga besi tua yang menempel di dinding belakang salah satu gedung ruko. “Kita naik. Lewat atap. Di sana ada mata rantai terakhir yang ku siapkan.”

Mereka mulai mendaki. Tangga besi itu berderit memprotes beban mereka, setiap bunyi seolah berteriak ke seluruh Jakarta. Sasha harus melepaskan genggaman Zega untuk berpegangan, dan ia menyadari betapa lemahnya ia di dunia ini. Tapi Zega ada di belakangnya, memastikan setiap langkahnya aman, bahkan sesekali memberikan dorongan kuat di punggungnya.

Ketika mereka mencapai atap yang datar dan berkerikil, embusan angin dini hari menerpa wajah mereka. Mereka berada di puncak pemandangan kota yang sedang tidur, tetapi ketenangan itu menipu. Di kejauhan, sirine mobil mulai terdengar, bukan milik polisi, melainkan suara khas tim keamanan swasta yang bergerak cepat.

Di tengah atap, terparkir sebuah motor trail tua berwarna hitam doff. Motor itu tampak sederhana, tetapi Zega mengurusnya dengan sentuhan yang hampir penuh kasih sayang. Di sadel belakang, terikat erat ransel Sasha yang baru dan sebuah helm full-face.

“Aku sudah menyiapkannya sejak aku tahu kita mungkin harus pergi secara paksa,” jelas Zega, melemparkan helm itu kepada Sasha. “Anggap saja ini asuransi paling dasar. Ini terdaftar atas nama pengemudi ojek online, dan sudah dimodifikasi agar tidak terlacak GPS.”

Sasha melepas jaket kulit yang diberikan Zega, menggenggamnya erat. Ia merasa perlu melakukan perubahan total. Dengan punggung menghadap Zega, ia melepaskan blus sutra mahalnya, membiarkannya melayang ke lantai atap, lalu mengenakan kaus katun hitam yang Zega siapkan. Gerakan itu cepat, tetapi ia tahu Zega menyaksikannya. Udara dingin menyentuh kulitnya sejenak, sebuah pengingat yang tajam akan transisi yang ia alami: dari CEO yang dilayani, menjadi buronan yang telanjang.

Ketika ia berbalik, Zega sedang mengenakan jaket tebal dan sarung tangan. Matanya, meski profesional, menangkap seluruh sosok Sasha, dari rambutnya yang acak-acakan hingga kaus ketat yang kini membungkus tubuhnya.

“Kau terlihat… berbeda,” kata Zega, suaranya sedikit serak. Ia tidak mengatakan ‘lebih baik’ atau ‘lebih buruk’, hanya ‘berbeda’—seperti identitasnya yang baru.

“Aku tidak lagi Victoria,” bisik Sasha, menyesuaikan helm di kepalanya. “Victoria adalah CEO yang percaya pada sistem. Aku Sasha, buronan yang percaya padamu.”

Zega maju selangkah, dan Sasha mundur selangkah. Namun, ia tidak benar-benar mundur. Ia hanya menutup jarak yang tersisa di antara mereka. Zega mengangkat tangan, bukan untuk menyentuh, melainkan untuk menyeka noda oli samar di pipi Sasha yang mungkin didapatnya saat memanjat.

“Aku sudah melihat apa yang kau korbankan, Sasha,” Zega berkata dengan nada serius. “Kau kehilangan tunanganmu, reputasimu, dan sekarang perusahaanmu. Untuk apa? Untuk sepotong data yang mungkin membahayakan kita berdua sampai mati?”

Sasha membalas tatapannya. “Karena jika aku tidak melakukan ini, Bara mati sia-sia. Dan DigiRaya, warisan yang ia bangun, akan menjadi instrumen Hadi dan Express Teknologi untuk melucuti privasi jutaan orang. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku ingin keadilan.”

“Keadilan di dunia digital adalah ilusi, Sasha. Yang ada hanya kekuatan data. Dan saat ini, kita memegang kunci nuklir itu.” Zega menahan napas sejenak, lalu tangannya turun dari pipi Sasha, menuju pinggangnya. Bukan untuk sentuhan romantis, melainkan untuk memasangkan sebuah tas pinggang tipis yang tersembunyi di balik jaketnya. “Ini adalah server mini. Semua data yang kita ambil, termasuk bukti keterlibatan Elang dan rekaman suara Hadi, ada di dalamnya. Ini tidak boleh lepas darimu. Sama sekali.”

“Mengerti,” Sasha mengangguk. Berat server kecil itu terasa seperti beban takdir.

“Baiklah,” Zega menaiki motor. “Naik. Kau harus memelukku. Kita akan bergerak cepat melalui gang-gang tikus di Jakarta. Itu satu-satunya cara kita bisa menghindari kamera dan patroli yang akan mereka sebarkan.”

Sasha naik ke sadel belakang. Kaki panjangnya kesulitan menemukan pijakan. Ia harus merapatkan tubuhnya ke Zega. Kontak fisik yang tak terhindarkan itu, setelah semua tekanan dan ketegangan, terasa seperti ledakan. Ia bisa merasakan setiap otot di punggung Zega yang tegang dan kuat di bawah jaketnya. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Zega, dan kepalanya bersandar di bahunya.

Keintiman ini jauh lebih nyata dan intens daripada ciuman yang pernah ia bayangkan. Ini adalah keintiman yang dipicu oleh ancaman kematian; ikatan yang ditempa dalam panasnya pelarian.

“Kau yakin bisa membawa kita keluar dari kota ini?” bisik Sasha, suaranya sedikit bergetar.

“Aku tidak pernah gagal meretas sebuah sistem, Sasha. Dan Jakarta adalah sistem yang sangat kompleks. Kita akan keluar dari gerbang tol sebelum fajar menyingsing,” jawab Zega. Lalu, ia menambahkan, suaranya sedikit lebih lembut, “Tahan aku erat-erat. Ini akan menjadi perjalanan yang kasar.”

Zega menstarter motor. Mesinnya bergerung pelan, sebuah nada rendah yang mengkhianati kekuatan tersembunyinya. Mereka meluncur di atas atap, melompati celah sempit antara ruko-ruko, berkat papan darurat yang sudah Zega pasang sebelumnya—bukti betapa terencananya ia menghadapi krisis ini.

Mereka turun kembali ke tingkat jalan melalui ramp tersembunyi di balik sebuah spanduk iklan usang. Motor itu melesat ke dalam labirin gang-gang kecil di Petojo, Zega bermanuver dengan presisi mematikan. Sasha menutup matanya, menyerahkan sepenuhnya kendali kepada pria yang ia yakini akan membawanya ke neraka atau surga.

Perjalanan itu berlangsung selama satu jam yang menegangkan. Mereka menghindari lampu jalan, melompati got terbuka, dan bahkan melewati pasar sayur yang baru mulai ramai, Zega menggunakan kemampuan manuver motornya untuk menyelinap di antara keranjang-keranjang. Setiap kali Zega berbelok tajam, tubuh Sasha terayun dan bergesekan dengan tubuh Zega, mengirimkan gelombang panas yang aneh.

Akhirnya, mereka mencapai pinggiran kota, di sebuah gudang tua yang tampak ditinggalkan dekat jalur kereta api. Zega mematikan mesin. Keheningan tiba-tiba terasa memekakkan telinga.

“Selamat datang di safe house sementara,” kata Zega, melepas helmnya. Ia mengusap rambutnya yang basah oleh keringat. Wajahnya bersinar oleh minyak dan debu, tetapi matanya tetap jernih.

Sasha turun dari motor, kakinya terasa kaku. Ia membuka helmnya, rambutnya lepek. “Apa rencana kita?”

“Rencana kita adalah menghilang sepenuhnya. Kita harus keluar dari Jawa. Mereka akan mencari kita di pelabuhan dan bandara, tapi mereka tidak akan mencari kita di pedalaman.” Zega mengeluarkan dua tiket kereta api eksekutif yang dibeli dengan mata uang kripto dan ID palsu.

“Kereta api?” Sasha meragukan. “Itu lambat. Dan stasiun pasti dijaga.”

“Ya, tapi siapa yang mencari buronan CEO dengan penampilan seperti ini di kereta malam menuju Jawa Timur?” Zega menyeringai tipis. “Kita akan berbaur. Lalu kita akan terbang ke Bali dari sana. Begitu kita di Bali, kita akan mencari jaringanku.”

Zega menatap Sasha, senyumnya menghilang, digantikan oleh intensitas. “Begitu kita naik kereta, kita tidak bisa kembali. Kita akan menjalani kehidupan baru. Kita tidak bisa menggunakan nama kita. Kau Victoria atau Sasha, aku Zega. Tapi untuk dunia, kita adalah pasangan muda yang sedang melarikan diri dari masalah, membawa tas punggung dan harapan kosong.”

Sasha mengangguk, ia menyentuh tas pinggang yang memuat nyawa digital mereka. “Jadi, apa nama kita sekarang?”

Zega meraih tangannya, memutar telapak tangannya. Ia menulis dua huruf di sana: J dan M. “Kau Maya. Aku Julian. Kita sepasang kekasih yang sedang mencari petualangan. Dan kita sangat saling membutuhkan.”

Genggaman tangannya menguat. Sasha menatapnya, merasakan gelombang emosi yang rumit—ketakutan, pengkhianatan yang baru ia terima, dan daya tarik yang semakin kuat pada pria berbahaya ini. Ia menyandarkan dahinya di bahu Zega lagi.

“Aku sudah siap, Julian,” bisik Sasha, menerima nama dan takdir barunya.

Tepat pada saat itu, dari kejauhan, terdengar bunyi klakson kereta yang panjang dan melengking, menarik perhatian mereka. Kereta malam terakhir, menuju timur.

Zega menarik Sasha untuk berjalan cepat menuju rel. Mereka harus menyelinap masuk sebelum kereta benar-benar berhenti di stasiun berikutnya. Mereka berjalan di antara gerbong-gerbong barang yang berjejer, bayangan mereka memanjang dan memendek di bawah cahaya lampu gudang yang berkedip-kedip.

Ketika mereka berhasil menaiki gerbong penumpang, Zega memimpin Sasha ke kompartemen sepi. Mereka duduk, saling berdekatan, kelelahan memukul mereka secara bersamaan. Jendela gelap menunjukkan refleksi mereka: dua sosok yang kacau, tetapi terikat erat.

“Kita sudah melewati bagian tersulit,” kata Sasha, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Zega tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan laptop yang sangat tipis dari ranselnya. Ia menghubungkannya ke jaringan satelit mini. Matanya yang fokus menatap layar, mencari tahu apa yang terjadi di Jakarta setelah kepergian mereka.

Layar menyala, menampilkan berita utama dari salah satu portal berita nasional: Foto wajah Sasha terpampang besar, di bawahnya tertulis huruf tebal:

CEO DIGIRAYA DIDUGA GELAPKAN DANA DAN RUSAK BUKTI PERUSAHAAN, DIBURU OLEH OJK.

Zega menggeser layar. Berita lain: Foto Paman Hadi, berdiri di lobi DigiRaya, dikelilingi oleh petugas keamanan, tampak heroik. Kutipan: “Kami akan membersihkan perusahaan dari elemen-elemen yang merusak warisan Bara.”

Sasha merasakan perutnya tercekat. Mereka sudah memulai narasi. Mereka sudah membalikkan meja.

“Dan ini,” kata Zega, suaranya tegang, menunjukkan pesan terenkripsi yang baru masuk ke sistemnya. Pesan itu hanya berisi satu baris dari sumber yang tidak dikenal, yang Zega duga berasal dari jaringan Elang atau Express Teknologi:

*Safehouse is compromised. We know the destination. The island is waiting.*

“Mereka tahu kita akan ke Bali?” Sasha membelalakkan matanya. “Bagaimana mungkin?”

Zega mematikan laptop, kegelapan kembali menyelimuti mereka. Kereta mulai bergerak, memacu mereka menjauh dari Jakarta, tetapi juga membawa mereka semakin dekat ke jebakan yang sudah disiapkan.

“Mereka tidak mencari kita di Jawa,” desis Zega, mencengkeram lengan Sasha. “Mereka hanya menunggu kita mencapai ‘pulau’ itu. Kita tidak lari dari Hadi, Sasha. Kita lari dari jebakan yang jauh lebih besar dan sudah diatur sejak awal.”

Suara roda kereta berderak di rel, menyeret mereka ke timur, menuju perangkap yang elegan dan mematikan....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!