NovelToon NovelToon
Om Duda Genit

Om Duda Genit

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Aurora Lune

Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.

Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gombalan Jam Tujuh Pagi

Di luar, pagi mulai merekah. Embun menempel manja di ujung dedaunan, berkilau terkena sinar matahari yang malu-malu menembus celah tirai. Suara kicauan burung terdengar begitu merdu, seakan jadi musik pembuka hari yang baru.

Naya terbangun dengan mata yang masih berat. Ia duduk perlahan di atas kasurnya yang masih berantakan, lalu bengong beberapa detik sambil menatap langit-langit. Tangannya meraih gelas di meja samping, meneguk air putih hingga tandas, merasakan kesegarannya mengalir di tenggorokan.

“Huft… untung hari ini libur. Bisa istirahat sekalian beres-beres rumah,” gumamnya, suara serak khas orang baru bangun.

Ia meregangkan tubuhnya, menguap lebar sambil mengacak-acak rambut sendiri. Pandangan matanya jatuh pada tumpukan kardus yang masih memenuhi kamar yang masih belum ia rapihin. Sejenak ia menghela napas panjang. “Aduh, masih banyak banget yang harus diberesin. Kayak lagi perang sama kardus,” keluhnya sambil tersenyum kecut.

Perlahan, Naya berdiri, membuka jendela kamarnya. Udara pagi yang sejuk langsung menyapa wajahnya, membuatnya merasa sedikit lebih segar. Hari itu akan ia mulai dengan segudang pekerjaan rumah, tapi entah kenapa, ia merasa cukup bersemangat.

Kemudian Naya berjalan gontai menuju kamar mandi. Begitu masuk, ia langsung mengambil sikat gigi, menyalakan keran, dan mulai menggosok giginya sambil sesekali melirik wajahnya yang masih terlihat setengah mengantuk di cermin. Busa pasta gigi memenuhi mulutnya, membuatnya menggumam seperti orang yang lagi ngomel-ngomel sendiri.

Setelah selesai, ia membasuh muka berkali-kali dengan air dingin hingga kulitnya terasa segar. “Ahh… lumayan, segeran dikit,” gumamnya sambil menepuk-nepuk pipinya pelan.

“Oke, saat ini gue beli sarapan dulu. Nanti baru deh belanja bahan-bahan masakan,” ucapnya, kali ini lebih bersemangat.

Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan penampilannya sebentar. Dengan cepat, tangannya meraih karet rambut dan mengikat rambutnya ke atas dalam gaya simple. Penampilannya sangat santai kaos longgar dan celana pendek cukup untuk sekadar keluar sebentar mencari makanan.

“Hmm… udah kayak anak kosan banget,” katanya sambil tersenyum miring melihat bayangannya sendiri. Ia lalu mengambil dompet kecil dan ponselnya, siap melangkah keluar untuk mencari sarapan.

Kemudian Naya melangkah keluar dari kontrakan kecilnya. Setelah memastikan pintu terkunci rapat, ia menghirup dalam-dalam udara pagi yang masih segar. Hembusan angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang masih berembun. Senyumnya merekah tipis, tubuhnya terasa sedikit lebih ringan.

Dengan langkah santai, ia berjalan menyusuri jalan menuju penjual sarapan yang letaknya tidak jauh dari kontrakan. Warung sederhana itu sudah dipenuhi aroma wangi nasi uduk yang khas, bercampur dengan gorengan hangat yang baru saja diangkat dari penggorengan. Suasana terasa begitu hidup; suara motor lalu-lalang, obrolan ibu-ibu yang sedang antre, serta anak-anak kecil yang berlarian membuat pagi itu terasa akrab.

“Permisi, Bu. Nasi uduknya masih ada?” sapa Naya ramah sambil mendekat ke meja dagangan.

“Masih, Neng. Mau berapa bungkus?” jawab ibu penjual, seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah.

“Yaudah, bungkus satu ya, Bu,” ucap Naya cepat, tangannya merogoh dompet kecil.

“Oke, Neng, tunggu sebentar ya,” balas si ibu sambil mulai meracik pesanan dengan cekatan.

Sambil menunggu, Naya menoleh ke sekeliling. Matanya menangkap beberapa wajah tetangga baru ada bapak-bapak yang sedang menyeruput kopi di bangku panjang, ada juga anak-anak kecil yang berebut jajan di meja. Rasanya seperti masuk ke dunia baru yang penuh warna.

“Nengnya baru ya di sini? Soalnya baru lihat,” tanya ibu penjual sambil tetap sibuk melipat kertas nasi.

Naya terkekeh kecil, agak canggung. “Hehe, iya, Bu. Saya baru pindah kemarin. Jadi masih agak bingung-bingung juga.”

“Oalah… pantes. Ya semoga betah ya, Neng. Di sini orang-orangnya ramah kok,” kata ibu penjual sambil menyerahkan bungkusan nasi uduk.

“Terima kasih banyak ya, Bu,” jawab Naya sambil menerima bungkusan hangat itu dengan senyum lega.

Setelah itu, Naya berjalan santai menuju kontrakannya dengan bungkusan nasi uduk di tangan. Langkahnya pelan, sesekali ia membuka sedikit plastiknya lalu menghirup aroma gurih nasi uduk yang begitu menggoda.

“Wah, harum banget… jadi makin nggak sabar,” gumamnya sambil tersenyum kecil, perutnya langsung ikut bernyanyi minta diisi.

Namun, saking asyiknya menghirup aroma sarapan, Naya tidak memperhatikan jalan di depannya. Bruk! Tubuhnya menabrak seseorang cukup keras hingga bungkusan nasi uduk di tangannya hampir terlepas.

“Eh! Maaf, maaf!” seru Naya refleks, buru-buru menegakkan tubuh sambil memeluk erat bungkusan sarapannya agar tidak jatuh.

Perlahan ia mendongakkan kepala, dan matanya langsung berhadapan dengan sosok laki-laki tinggi yang tampak akan bersiap lari pagi. Kaos tipis tanpa lengan melekat di tubuh atletisnya, keringat tipis masih menempel di kulit, dan earphone menggantung di lehernya. Wajahnya tampak serius tapi segar, seperti orang yang memang terbiasa olahraga.

Cowok itu awalnya hanya menepuk celana trainingnya yang sempat kena sedikit debu akibat tabrakan, tapi kemudian pandangannya jatuh pada Naya. Matanya bergerak dari atas ke bawah dengan santai, seolah sedang menilai penampilan gadis itu.

Kaos sederhana warna putih yang Naya kenakan menempel pas di tubuhnya, dipadu dengan celana pendek selutut. Rambutnya yang dikuncir seadanya membuat wajah polosnya makin jelas terlihat.

Senyum miring muncul di sudut bibir laki-laki itu, senyum genit khas pria dewasa yang tahu persis caranya membuat lawan bicara salah tingkah. Dengan tatapan penuh percaya diri, ia menatap langsung ke mata Naya.

“Hmm… nggak nyangka, tetangga baru ternyata manis juga,” ucapnya pelan, suaranya berat dan dalam, membuat telinga Naya langsung panas.

Naya terdiam sepersekian detik, matanya berkedip cepat. “E-eh, apa?” tanyanya gugup sambil memeluk erat bungkusan nasi uduk di dadanya, seperti tameng.

Laki-laki itu hanya terkekeh kecil, lalu mengusap pelipisnya yang berkeringat. Dan menatap bungkusan nasi uduk di tangan Naya, lalu senyumnya muncul, tipis tapi jelas-jelas usil.

“Hati-hati, cantik,” suaranya berat, agak serak seksi, tapi ada nada usil yang bikin bulu kuduk Naya meremang. “Sayang banget kalau sampai jatuh… soalnya yang manis bukan cuma sarapannya, tapi juga yang bawa.”

Naya otomatis membeku. Wajahnya panas seketika. Ya Tuhan… ini om apaan sih? Gombal jam tujuh pagi?!

Pria itu terkekeh, mengangkat bahu santai. “Receh nggak apa-apa. Yang penting berhasil bikin kamu senyum, kan?”

Naya cuma mendengus, lalu buru-buru jalan cepat melewatinya. Tapi sebelum benar-benar jogging, pria itu masih sempat nyeletuk sambil melirik ke arah Naya.

“Eh, jangan sering-sering senyum gitu, ya. Bisa-bisa saya males lari pagi, maunya lari ke hati kamu aja.”

Naya hampir tersedak napasnya sendiri. Ia langsung kabur ke kontrakan dengan wajah merah padam.

1
Lembayung Senja
ceritanya mulai seru... semangat buat novelnya.....😍
Jen Nina
Jangan berhenti menulis!
Yusuf Muman
Ini salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap! 👌
Yuri/Yuriko
Bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!