Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Malam turun perlahan saat mobil hitam Dragunov memasuki gerbang mansion. Lampu-lampu taman menyala bersusun, menciptakan bayangan panjang di balik pepohonan pinus. Hujan telah berhenti, tapi udara masih lembap, seolah seluruh kota baru selesai bernafas panjang.
Apollo turun lebih dulu. Tanpa menunggu, ia melangkah masuk ke mansion dengan langkah tajam dan cepat. Lyora menyusul beberapa detik kemudian, membawa tas kecilnya. Ia tidak berkata apa pun, tidak mencoba berbicara. Hanya mengikuti dengan jarak aman.
Begitu pintu utama terbuka, aroma teh herbal memenuhi udara.Nenek Elira berdiri di tengah ruang tamu seperti sedang menunggu sejak sore. Gaun birunya jatuh anggun, rambut putihnya rapi, tapi tatapannya tegas. Tatapan seorang matriark yang tidak menerima kata tidak.
“Kalian lama sekali,” ucapnya datar. “Kita perlu bicara.”Apollo mengembuskan napas kasar. “Nenek, aku tidak dalam mood—”
“Justru karena itu kau harus dengarkan,” potong Elira tanpa meninggikan suara. Lyora berhenti di belakang Apollo, menunduk sopan. “Maaf kalau kami—”
“Kau tidak melakukan kesalahan apa pun, anakku,” kata Elira lembut pada Lyora. “Yang bermasalah hanya cucuku ini.”
Apollo mendengus sekali. “Nenek—”
“Elira Dragunov tidak akan mati sebelum melihat cucunya tidak hidup menyedihkan sendiri,” kata nenek itu lirih namun tajam.
“Pertunangannya ditetapkan dua minggu dari sekarang.”
Lyora tersentak kecil, tidak terlihat di wajah, tapi jemarinya saling meremas pelan.Apollo menatap neneknya. “Tidak. Aku sudah bilang—”
“Diam.”Suara Elira tenang, tapi ruangan langsung terasa beku.
“Apollo Axelion Dragunov, kau tidak punya keberanian menolak kebahagiaanmu sendiri. Jadi aku menolak untuk membiarkanmu merusak hidupmu lagi.”
Apollo mengepalkan rahang. “Aku tidak butuh—”
“Cinta?” Elira mendekat setapak. “Ya. Karena bagimu cinta adalah ancaman.”
Lyora menunduk makin dalam, seolah tak pantas mendengar percakapan itu.Seolah dirinya hanya gangguan.Elira menatap Lyora lalu kembali ke Apollo. “Kau boleh membenci ku. Tapi kau tidak boleh membuat anak ini menunggu tanpa kepastian.”
Lyora buru-buru berkata, “Aku tidak menunggu apapun, Nyonya hanya—”
“Aku tahu,” potong Elira lembut. “Tapi aku adalah perempuan. Dan aku bisa melihat perempuan lain dengan jelas. Kau datang tanpa meminta apa pun… itu justru alasan kenapa kau layak.”
Apollo mengalihkan tatapan ke Lyora, dan entah mengapa, dadanya terasa sesak, sesuatu yang mengganggu ego dinginnya.
Lyora mencoba bicara, suara kecilnya bergetar tipis:“Jika Tuan Apollo tidak setuju, Aku bisa pergi saja. Aku tidak mau membebani siapa pun.”
Elira langsung meraih tangan Lyora. “Tidak. Kau tetap di sini.”
Apollo mengepalkan tangannya di sisi tubuh.
Ia ingin berteriak Tidak perlu!
Ia ingin mengakhiri semuanya.
Tapi Lyora berdiri di sana, sunyi, lembut, tidak meminta apa-apa…Dan itulah hal yang paling mengganggu.Karena wanita masa lalunya dulu… juga berdiri dengan cara yang sama.
“Pertunangan dua minggu lagi,” ulang Elira tegas. “Aku sudah memutuskan.”
Apollo menatap Lyora lama, lalu memalingkan wajahnya. “Baik.” Satu kata. Datar. Tapi mengiris.
Lyora membeku.Elira tersenyum tipis. “Bagus. Kau akhirnya belajar.”
Apollo berbalik dan menaiki tangga tanpa menoleh.Di bawah, Lyora masih berdiri diam dengan tangan menggantung.“Anak manis,” kata Elira lembut sambil menepuk bahunya. “Tak perlu takut. Apollo hanya belum mengerti hatinya sendiri.”
Lyora tersenyum lemah, sangat halus.
“ Aku rasa… itu benar.”
Tapi jauh di balik matanya, ada rahasia, ada masa lalu, ada luka yang Apollo tidak ingat lagi.Dan dua minggu ke depan akan menjadi awal dari semuanya.
***Di Ruang kerja Apollo yang berada di lantai dua, Apollo menutup pintunya rapat. Begitu ia masuk, lampu otomatis menyala, menyorot rak buku tinggi, meja kayu hitam, dan layar monitor besar yang masih menampilkan rancangan senjata miliknya.
Apollo tidak langsung duduk. Ia menendang pintu hingga bergetar. “Pertunangan?!” gumamnya tajam, seperti mengutuk ruangan itu sendiri. “Nenek sudah gila.!”
Ia melepaskan jas dan melemparkannya ke sofa.Lalu meraih gelas kristal, menuang bourbon, meneguknya sekaligus.Rasa terbakar di tenggorokan tidak berhasil menenangkan amarahnya.
Apollo berjalan mondar-mandir, kedua tangan mengepal.“Sial…!”
Ia berhenti di depan jendela besar. Hujan tipis kembali turun, memantulkan bayangan diri nya, dan entah kenapa… juga bayangan Lyora.
Bayangan perempuan itu menjejali pikirannya tanpa izin.
Tatapan tenang itu.Gerak tubuh lembut itu.
Suara halusnya ketika berkata Aku bisa pergi saja.
Apollo menutup mata dan mengembuskan napas keras. Ia membenci efek itu. Ia membenci caranya Lyora berdiri tanpa membela diri, seolah menerima apa pun yang dunia lemparkan padanya.
Terlalu mirip. Terlalu mengingatkan pada seseorang. “Tidak,” geramnya. “Jangan samakan.”
Ia meneguk bourbon lagi, lebih keras.
Namun pikirannya tetap kembali pada Lyora.
Cara perempuan itu tidak membantah.
Tidak menuntut.
Tidak menangis.
Tidak memohon.
Wanita yang tidak meminta apa pun dari seorang Dragunov, itulah jenis yang paling mudah menghancurkan mereka.
Apollo memukul meja dengan sisi tinjunya.
Dentumannya keras. Gelas hampir jatuh.
“Aku tidak mau ini,” katanya rendah, hampir seperti bisikan marah.
Namun dalam kesunyian ruangan itu, kata lain muncul di kepalanya, kata yang langsung ia tolak dengan kasar:Kenapa dia tidak pergi saja waktu itu?. Kenapa dia terlihat… seolah ingin bertahan ?. Dan kenapa aku melihatnya lebih dari lima detik?
Apollo memalingkan wajah dari jendela, seolah bayangan Lyora menyudutkannya.
Ia menekan pelipis, mencoba menyingkirkan sosok perempuan itu dari pikirannya.Tapi semakin mencoba mengusir, semakin kuat ingatan tentang sorot mata teduh itu kembali.
“Menjengkelkan…” gumamnya.
Ia menyalakan rokok, tarikan pertama begitu dalam seakan ingin membakar seluruh pengaruh Lyora dari sistemnya.Tapi rokok pun gagal.Karena saat asap perlahan memenuhi ruangan, Apollo sadar satu hal:
Lyora Alexandra Dimitrif bukan sekadar calon istri titipan neneknya. Ada sesuatu pada perempuan itu yang tidak bisa ia baca. Tidak bisa ia kuasai.
Dan itu membuat darahnya mendidih, bukan karena amarah. Tapi karena benci.Apollo menatap bara rokoknya perlahan mati.
“Jangan berani sentuh hidupku,” bisiknya ke udara kosong. “Aku tidak akan jatuh dua kali.”
****
Pagi di Mansion Dragunov biasanya berjalan dalam ritme sunyi yang anggun, suara langkah para staf, aroma kopi hitam yang baru diseduh, dan cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar. Tapi pagi ini berbeda. Udara terasa seperti diselimuti kabut tipis yang menyembunyikan badai.
Apollo turun dari lantai dua dengan langkah stabil, namun dinginnya sikapnya sudah terasa bahkan sebelum ia terlihat. Bahunya tegang, ekspresinya tertutup rapat, dan setiap helai napasnya seolah menandakan bahwa ia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Perang yang tak akan ia akui pada siapa pun.
Terutama bukan pada Lyora.
Lyora muncul dari arah dapur, memegang gelas jus jeruk yang masih segar. Ia terlihat canggung, mungkin karena kejadian semalam, ketika nenek Dragunov mendesak pertemuan keluarga dan menyinggung tentang “pertunangan yang harus segera dibahas.”
Apollo jelas tidak suka. Lyora jelas tidak mengerti kenapa ia begitu marah.Keduanya berpapasan di bawah tangga. Jalur yang sempit membuat mereka otomatis mendekat. Lyora mengangguk kecil, sekadar memberi salam sopan.
“Selamat pa—”
Dan saat itulah semuanya terjadi terlalu cepat.Lengan Lyora sedikit tersenggol ujung meja kecil di samping tangga, membuat gelas jus di tangannya miring. Cairan jeruk itu tumpah mengenai sisi jas Apollo, setetes pertama, lalu mengalir turun perlahan, menciptakan noda kuning pucat di atas kain putihnya.Lyora langsung panik.
“Oh! Maaf, aku tidak—”
Tapi Apollo membentaknya.
“Jangan sentuh aku !.”
Suara itu tajam. Dingin. Sepintas terdengar seperti amarah, tapi bagi siapa pun yang cukup peka, ada sesuatu yang jauh lebih rumit di baliknya. Sesuatu seperti… refleks bertahan, bukan kemarahan murni.
Lyora terdiam. Jari-jarinya berhenti sebelum sempat meraih sapu tangan. Matanya melebar sedikit, bukan karena takut, tapi karena tak menyangka Apollo bereaksi sedrastis itu. Apollo menatap noda di jasnya seolah itu adalah simbol dari kekacauan yang terus ia coba redam selama berhari-hari. Ia mengembuskan napas kasar, rahangnya mengeras.
“Lain kali, perhatikan langkahmu,” katanya tanpa menatap Lyora lagi.
Lyora menunduk. “Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud—”
“Aku tidak butuh penjelasanmu.”“Aku bahkan tidak menyentuhmu,” gumam Lyora pelan, nyaris seperti membela diri.
Apollo mendongak. Tatapannya bikin napas Lyora tertahan.
“Kau tidak perlu menyentuhku untuk membuat masalah,” katanya sinis. “Cukup keberadaanmu saja sudah cukup.”
Wajah Lyora merunduk.Pelayan-pelayan di samping tangga menahan napas, tak berani bergerak.Apollo melangkah menuruni tangga dengan penuh tekanan.Saat melewati Lyora, ia sempat mendekatkan wajah, suaranya nyaris berbisik namun menusuk:
“Jangan sentuh apa pun yang menjadi milikku. Termasuk waktuku… dan pakaianku.”
Ia pergi tanpa menoleh.Lyora berdiri di tempat, kedua tangannya gemetar.Gelas yang tersisa setengah itu ia genggam semakin erat.
eh ko gue apal ya 😭