NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:230
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: DI MANA DEBU TIDAK BETARBANGAN

Toko itu tidak ada.

Bagi 99,9% populasi kota, Jalan Tembaga adalah sebuah catatan kaki historis, sebuah arteri yang terpotong dan dibiarkan mati, digantikan oleh fondasi beton masif jalan layang tol dalam kota. Bagi mata biasa, alamat yang dituju Rania adalah dinding bata kusam yang dipenuhi coretan vandalisme dan bau pesing.

Tapi bagi mata yang tahu ke mana harus melihat—atau bagi mereka yang *tertarik* oleh takdir—dinding itu memiliki celah. Sebuah lorong sempit, tidak lebih lebar dari bahu pria dewasa, terjepit di antara pilar jalan layang dan bagian belakang ruko tekstil.

Di ujung lorong itulah "Toko Barang Antik Kuno Warisan" berdiri, tersembunyi dari abad ke-21 oleh sesuatu yang lebih kuat dari bata dan semen: ketidakpedulian kolektif.

Di dalam toko itu, waktu bergerak seperti madu kental.

Bapak Yusuf telah duduk di kursi kayunya yang berderit selama empat puluh tiga tahun. Dia adalah pria yang terbuat dari debu dan kesabaran. Usianya tidak jelas; bisa enam puluh, bisa seratus enam puluh. Dia mengenakan kemeja batik lawas yang warnanya sudah memudar menjadi cokelat seragam, dan kacamata bacanya bertengger di ujung hidung yang tajam.

Tokonya adalah dunianya. Dan dunianya sunyi.

Ini bukan keheningan biasa. Ini adalah keheningan yang memiliki *berat*. Suara klakson dan deru mesin dari jalan layang di atas sana terdengar sangat jauh, teredam, seolah berasal dari dasar lautan. Di sini, satu-satunya suara adalah detak ritmis jam kakek di sudut ruangan—jam yang jarum detiknya bergerak dengan jeda yang terasa *sedikit* lebih lama dari satu detik.

Debu di toko ini pun berbeda. Debu di sini tidak beterbangan. Debu di sini *mengendap*, melapisi setiap barang antik—setiap topeng kayu, gulungan kaligrafi, dan patung perunggu—dengan selimut abu-abu yang terhormat.

Bagi Bapak Yusuf, ini adalah tatanan yang benar. Dunia di luar sana—dunia kaca, baja, dan layar yang berteriak—adalah sebuah anomali. Kebisingan. Sebuah kesalahan desain yang dibiarkan terlalu lama.

Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, dia memulai ritualnya.

Dia menyeduh teh tubruk di cangkir porselen retak. Dia mengambil kuas berbulu halus dan, dengan presisi seorang ahli bedah, mulai membersihkan koleksi kerisnya. Dia tidak membersihkan untuk menjual. Dia membersihkan untuk *mempertahankan*.

Setiap barang di toko ini adalah sebuah "Jangkar". Sebuah pemberat kecil yang membantu menjaga "Tirai"—selaput tipis yang memisahkan dunia nyata dari Dunia Cermin—tetap di tempatnya. Toko ini, secara keseluruhan, adalah sebuah "Titik Buta" (Blind Spot) utama. Sebuah benteng.

Dan Bapak Yusuf adalah penjaganya. Seorang Pelestari dari Ordo yang lebih tua dari nama kota itu sendiri.

Dia merasakan "Gema" di tokonya seperti orang normal merasakan suhu ruangan. Hari ini, Gema terasa *tipis* dan *gelisah*.

Dia bisa melihat mereka. Di dunia luar, Rania hanya akan melihat debu atau kilatan cahaya yang salah. Di sini, di dalam bentengnya, Bapak Yusuf melihat "Ikan Gema" kecil-kecil, tidak lebih besar dari jari kelingking. Mereka berwarna perak pucat, berenang malas di antara kaki-kaki meja dan di dalam guci keramik kosong. Mereka adalah fauna alami dari realitas yang berdekatan.

Namun, hari ini, mereka berkerumun cemas di dekat langit-langit, menghindari sesuatu di meja konter.

Bapak Yusuf menghela napas. Dia meletakkan kuasnya.

Di atas meja konter mahoni yang gelap, di sebelah buku kasir kuno, tergeletak sebuah benda yang paling dia benci sekaligus paling dia hormati.

Mangkuk Porselen Kuno.

Benda itu tidak terlihat istimewa. Seukuran mangkuk sup, dengan glasir seladon pucat yang usianya ribuan tahun. Tapi benda itu memiliki satu cacat: retakan halus seperti jaring laba-laba yang menjalari seluruh permukaannya. Itu adalah artefak yang rusak, sebuah kunci yang patah.

Mangkuk itulah "baterai" yang memberi daya pada Titik Buta ini. Dan baterai itu sedang sekarat. Retakannya semakin banyak selama dekade terakhir, seiring dengan semakin "berisik"-nya dunia luar.

"Tenang," gumam Pak Yusuf pada ikan-ikan Gema yang gelisah. "Dia akan segera datang."

Dia sudah tahu. Ordo telah memberitahunya. Bukan melalui telepon atau email—cara-cara barbar itu—tetapi melalui mimpi yang dibagikan dan tanda-tanda yang disepakati. Sebuah "Anomali Terikat" yang baru telah muncul. Seorang Arsitek baru, yang dipilih oleh Gema itu sendiri, sedang dalam perjalanan.

Bukan untuk mengambil Mangkuk itu. Bukan untuk memperbaikinya.

Tapi untuk *mengaktifkannya*.

Tugas Bapak Yusuf hari ini sederhana: memastikan "Batu Tinta Beku" yang dikirim oleh Pelestari lain—batu yang diperlukan untuk ritual perbaikan—tiba dengan selamat. Dan memastikan *Anomali* itu menyentuh Mangkuk Kuno saat dia di sini.

Sebuah ujian. Sebuah inisiasi yang tidak disadari oleh sang inisiat.

Bapak Yusuf benci hari-hari seperti ini. Hari-hari ini mengganggu rutinitasnya. Hari-hari ini membawa "kebisingan" dari luar masuk ke dalam dunianya yang tenang.

Tepat pukul 15.11—dia tahu tanpa melihat jam, karena bayangan di lantai telah menyentuh kaki kursi tertentu—bel kuningan di atas pintu berdenting.

Suaranya nyaring, memecah keheningan tebal tokonya seperti palu memecah kaca.

Gadis itu masuk.

Bapak Yusuf mengamatinya dari balik kacamata bacanya. Dia adalah lambang dari segala yang dia benci. Dia membawa bau knalpot dan ozon sisa hujan. Dia mengenakan jaket *nylon* yang berisik setiap kali bergerak. Dia membawa gawainya yang menyala-nyala di tangan.

Dan Gema-nya... Gema gadis itu *kacau*.

Bapak Yusuf bisa melihatnya dengan jelas. Aura gadis itu seharusnya bersinar terang—aura seorang Arsitek, seorang yang "sensitif". Tapi aura itu kusam, tertutup lumpur sinisme, kelelahan, dan kekecewaan yang mendarah daging. Seperti sebuah *blueprint* mahakarya yang telah dilipat, diinjak-injak, dan dibiarkan terendam air.

"Permisi? Toko Antik Warisan?" Suara gadis itu terdengar serak. Tidak sabar.

Bapak Yusuf hanya mengangguk pelan, tidak berdiri dari kursinya. "Saya Yusuf. Anda membawa paket."

Gadis itu, Rania, tampak lega sekaligus jengkel. Dia berjalan ke konter, langkahnya terlalu cepat untuk ritme toko ini. "Akhirnya. Tempat ini susah sekali dicari. GPS saya mati total tiga blok dari sini."

"GPS tidak berfungsi di tempat yang tidak seharusnya ada," kata Pak Yusuf pelan.

Rania hanya menatapnya seolah dia sudah gila. "Terserah. Ini paketnya."

Dia mengeluarkan kotak ber-JNE (Tunggu, tidak, Reza bilang ini *cash*. Ini pengiriman non-resmi.)

Dia mengeluarkan kotak berlapis *bubble wrap* tebal dari tas selempangnya. Kotak yang sama yang Rania rasakan dingin di kafe tadi.

"Berat," gerutu Rania. Dia meletakkannya di atas meja konter.

*Thud*.

Suara itu terlalu berat. "Ikan Gema" di langit-langit berhamburan ketakutan.

Bapak Yusuf mengabaikan Rania sejenak. Dia dengan hati-hati membuka *bubble wrap* itu. Di dalamnya ada kotak kayu berukir. Dan di dalamnya, terbungkus sutra hitam, ada sebongkah batu hitam pekat yang terasa dingin membekukan. "Batu Tinta Beku". Benda itu menyerap cahaya. Bagus. Barang sudah tiba.

"Oke, Pak Tua," kata Rania, menyodorkan gawainya. "Tanda tangan di sini."

Bapak Yusuf memicingkan mata pada layar yang menyilaukan itu. Dia mengambil *stylus* plastik dengan jari-jarinya yang kapalan.

Dan inilah saatnya.

Untuk menandatangani, Rania perlu meletakkan gawainya di atas meja. Satu-satunya ruang yang tersisa di konter yang penuh sesak itu adalah *tepat di sebelah* Mangkuk Porselen Kuno yang retak.

Rania meletakkan gawainya di sana.

Dan, untuk menyeimbangkan diri saat membungkuk menunjukkan di mana harus menekan, telapak tangan kirinya mendarat.

Tepat di atas permukaan Mangkuk Porselen Kuno itu.

Tidak ada ledakan. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara.

Bagi Rania, itu hanyalah sebuah mangkuk tua yang dingin berdebu.

Tapi bagi Bapak Yusuf, dunia di dalam tokonya meledak dalam keheningan total.

Dia melihat Gema Rania—aura kusam yang tadi tertidur—*menyala* dalam sekejap. Cahaya oranye yang cemerlang, seperti bara api yang ditiup badai, meletus dari telapak tangannya dan disedot oleh retakan-retakan di Mangkuk Kuno itu.

Semua "Ikan Gema" perak di toko itu tiba-tiba berhenti. Mereka berbalik serempak, seperti kompas yang menemukan utaranya. Mereka berenang deras ke arah Rania, berputar-putar di sekelilingnya seperti tornado kecil yang tak terlihat.

Mangkuk Kuno itu sendiri *bergetar* hebat, mengeluarkan suara dengungan frekuensi sangat rendah yang hanya bisa dirasakan Yusuf di dalam tulang-tulangnya. Retakan di Mangkuk itu bersinar oranye sesaat.

Dan di telapak tangan Rania—hanya terlihat oleh mata Yusuf yang terlatih—sebuah "Tanda" spektral terbakar: Sebuah pola geometris rumit, seperti denah katedral yang mustahil, bersinar selama tiga detik sebelum memudar kembali ke dalam dagingnya.

Ikatan telah terbentuk.

Gadis itu, Rania, hanya tersentak dan menarik tangannya.

Dia mengernyit. "Ugh. Udara di sini pengap banget, Pak. Bikin pusing." Dia menggosok-gosok telapak tangannya yang baru saja "terbakar" di celananya, seolah-olah hanya untuk membersihkan debu.

Bapak Yusuf menyelesaikan tanda tangannya di gawai itu. Dia mengembalikannya. Matanya yang setua debu menatap Rania, kini dengan penilaian baru.

"Sudah selesai," katanya.

"Bagus." Rania menyambar gawainya, tidak sabar untuk pergi dari tempat yang membuatnya merinding. "Terima kasih."

Dia berbalik dan berjalan cepat ke pintu. Bel berdentang nyaring lagi.

Dan dia pergi. Membawa serta bau ozon, ketidaksabaran, dan Gema yang baru saja terbangun di dalam darahnya.

Bapak Yusuf duduk dalam keheningan yang kini terasa berbeda. Toko itu terasa lebih *hidup*. Lebih *stabil*.

Dia melihat ke Mangkuk Kuno di atas meja. Mangkuk itu berhenti bergetar. Retakannya masih ada, tetapi kini terisi oleh cahaya oranye redup yang berdenyut pelan, seperti jantung yang tidur.

Baterai itu telah diisi ulang.

Dia menoleh ke jam kakek di sudut. Jarum detiknya berdetak dengan ritme yang stabil dan benar. Satu detik, tepat satu detik. Tatanan telah pulih untuk sementara waktu.

Bapak Yusuf kembali ke kursinya yang berderit. Dia mengambil kuasnya lagi, bersiap melanjutkan ritualnya membersihkan keris.

"Akhirnya," gumamnya pada debu yang mengendap. "Sang Arsitek telah mengambil alatnya."

Dia berhenti sejenak, memikirkan aura kacau dan sinis milik gadis itu. Aura yang sudah retak bahkan sebelum disentuh oleh Gema.

"Semoga kali ini fondasinya tidak runtuh," lanjutnya. "Karena yang ini... yang ini sudah retak sejak awal."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!