Vano menarik tangan Celina agar segara masuk ke dalam rumah. Wanita itu sudah membuat putrinya menangis histeris, maka tidak akan ada celah bagi Celina untuk bisa keluar dari rumah Vano sebelum Naura mengijinkannya. Celina harus bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi pagi itu. Vano bahkan terancam tidak pergi ke kantor jika Naura terus menahan Celina. Dia harus mengawasi putrinya yang sedang bersama orang asing. Orang yang baru dia temui semalam. Sampai detik ini Vano bahkan belum mengetahui nama Celina.
Vano seakan tidak peduli dengan nama, dia hanya mementingkan apa yang dia butuhkan.
"Kapan aku bisa pulang om.?!" Keluh Celina. Bibirnya mencebik kesal. Anak dan ayah sama - sama merepotkan pada pertemuan pertama. Entah apa jadinya jika harus berhubungan dengan mereka terus menerus. Celina sudah pusing lebih dulu membayangkannya. Tidak sanggup rasanya kalau harus berurusan dengan dua orang itu. Tenaganya pasti akan terkuras habis kalau keduanya sama - sama minta bermain.
"Tunggu sampai dia bosan dan mengusir mu.!" Sahut Vano ketus. Dia seperti sedang menjadi pengawas. Duduk di sofa, mengawasi dengan teliti apa saja yang dilakukan oleh Celina dan putrinya.
Celina berdecak kesal. Vano terlalu arogan dan sombong dalam menanggapi ucapannya. Celina jadi merasa seperti barang, setelah puas dimainkan kemudian akan di buang begitu merasa bosan atau puas bermain. Pantas saja tadi Vano langsung menyuruhnya pergi, laki - laki tampan itu pasti sudah puas mendapat kenikm*tan darinya.
"Aku harus kuliah.!" Pekik Celina ketus.
"Om itu kan orang tuanya.! Harusnya bisa membujuk putri om, dan ajak dia bermain agar tidak menyusahkan orang lain seperti ini." Kepala Celina sudah mulai bertanduk. Lama - lama semakin dibuat jengkel oleh sikap dan cara bicara Vano yang tidak memikirkan perasaan orang lain.
"Berhenti memanggilku seperti itu.!" Tegur Vano. Matanya mendelik sempurna.
"Aku buka om kamu.!"
Celina hanya melirik malas. Teguran Vano hanya dijadikan angin lalu baginya. Tidak peduli Vano akan terima atau tidak, dia akan tetap memanggilnya dengan sebutan om.
"Jangan menolak tua om.! Anak sudah sebesar itu,," Celina melirik Naura yang sibuk bermain sendiri dengan bonekanya.
"Please bujuk Naura," Celina memohon. Dia menyingkirkan rasa kesalnya pada Vano untuk sementara waktu, karna yang ada di dalam pikirannya adalah bagaimana dia bisa keluar dari rumah Vano secepatnya.
"Aku bisa terlambat kuliah kalau seperti ini. Mobilku bahkan masih di club." Tuturnya penuh sesal. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya, wajahnya terlihat penuh beban. Tentu saja Celina menyesal karna sudah berurusan dengan Vano.
Laki - laki menyebalkan yang tak tau diri itu. Seenaknya saja memperlakukannya dengan buruk, padahal sudah menidurinya berulang kali secara cuma - cuma. Vano bahkan tidak menawarinya sarapan, Celina sampai harus menahan lapar dengan perut yang mulai terasa perih.
"Jam berapa kamu kuliah.?" Tanya Vano datar. Pada akhirnya dia jadi tidak tega kalau harus membuat Celina tetap berada di rumahnya sampai harus meninggalkan kuliahnya pagi ini.
"1 jam lagi." Celina melihat jam di tangannya.
"Aku belum sarapan,," Tuturnya. Celina memegangi perut yang mulai keroncongan. Mustahil kalau dia bisa menahan lapar lebih lama lagi. Sedangkan beberapa jam yang lalu dia baru saja digempur Vano tanpa ampun. Banyak tenaga yang harus dikeluarkan oleh Celina untuk mengimbangi permainan Vano.
"Apa di rumah sebesar ini nggak ada makanan.?" Sindir Celina halus.
"Bangun dan pergi sendiri ke ruang makan." Ketus Vano. Dia baru ingat kalau Celina belum sarapan. Tapi Vano enggan mengakui kesalahannya meski sadar kalau dirinya bersalah, sudah membiarkan Celina kelaparan padahal baru saja memuaskannya.
"Yakin boleh pergi ke ruang makan.?" Tanya Celina dengan nada menantang.
"Lalu bagaimana dengan Naura.?" Celina tidak yakin kalau Naura akan membiarkannya keluar dari kamar. Kalaupun di perbolehkan, mungkin Naura akan merengek dan minta ikut ke ruang makan.
"Terserah.! Asal jangan buat dia menangis lagi." Vano beranjak dari duduknya. Merogoh ponsel di saku celana dan menghubungi seseorang.
Celina langsung mendelik, berdecak kesal sambil terus menatap Vano. Tangannya sudah mengenal, rasanya ingin mendaratkan tinjuan ke dada bidangnya yang menggoda. Terlebih saat berkeringat.
"Sial.!" Gumam Celina lirih. Dalam keadaan kesal saja dia masih bisa mengagumi fisik Vano. Memang sejauh yang Celina tau, tidak ada laki - laki manapun yang bisa menandingi kesempurnaan fisik Vano. Marvin bahkan tidak ada apa - apanya walaupun dia blasteran Jerman. Pesona Vano lebih menggoda dibanding dengan Marvin.
"Tunda jadwal meeting hari ini.! Aku tidak bisa datang ke kantor."
Suara tegas Vano mampu mencuri perhatian Celina. Dia menatap lekat wajah tampan yang terlihat berwibawa saat ini.
"Hmmm.!" Vano mengakhiri percakapan di telfon dengan deheman yang mampu membuat Celina menganga dan menimbulkan gelayar di sekujur tubuhnya. Celina sudah seperti wanita yang baru pertama kali melihat laki - laki. Sorot matanya penuh kekaguman.
"Kenapa.?" Bisikan Vano di telinganya seperti menimbulkan arus listrik. Celina sampai baru sadar kalau Vano sudah duduk kembali di sampingnya.
"Bukannya semalam kamu yang berniat memuaskan ku.? Kenapa sekarang jadi kebalikannya." Vano mengembangkan senyum smirk. Seolah sedang menertawakan kelakuan Celina.
"Aku tau apa yang ada dalam otak kotormu ini." Vano menoyor kening Celina dengan jari telunjuk.
"Belum puas merasakannya.?" Tanya Vano mengejek. Celina melengos. Ucapan Vano memang benar, tapi Celina gengsi untuk mengakuinya karna merasa di remehkan oleh Vano.
"Jangan banyak omong kosong, aku sudah lapar.!" Ketus Celina. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Seenaknya meniduriku berulang kali, tapi menelantarkanku sampai kelaparan."
"Miris sekali, berbanding terbalik dengan penampilan dan rumah besar ini." Ejek Celina sinis.
Vano hanya mengulas senyum penuh arti.
"Kenapa hanya minta sarapan.?" Tanya Vano menantang.
"Kenapa tidak sekalian meminta bayaran.?"
Vano sudah bisa menebak kalau Celina tidak akan meminta bayaran sepeserpun darinya. Penampilan Celina sudah menunjukan kalau dia sudah tidak lagi membutuhkan uang.
"Bayaran.?" Celina bertanya balik. Dia tersenyum penuh arti.
"Om bisa jatuh miskin kalau aku meminta bayaran." Cibirnya halus. Laki - laki seperti Vano memang harus di panas - panasi. Di rendahkan agar tidak terlalu menyombongkan diri.
"Kamu pikir aku semiskin itu.?!" Ketusnya jengkel. Baru pertama kali ada wanita yang merendahkannya. Tidak tanggung - tanggung, wanita itu masih berusia belasan tahun.
"Katakan berapa tarifmu satu malam.?!"
"Aku akan membayarmu 5 kali lipat dari biasanya."
Celina tertawa dalam hati. Tidak sulit membuat Vano tersulut emosi. Rupanya laki - laki itu tidak bisa harga dirinya direndahkan. Tapi tidak menyadari kalau dirinya juga sudah merendahkan orang lain. Sekalipun Celina sadar kalau dia bukan wanita suci, setidaknya Vano bisa bersikap lebih baik padanya.
"Apartemen.!" Jawab Celina cepat.
"Mereka biasa memberiku apartemen mewah untuk mengencaniku selama 2 minggu." Lanjutnya tanpa ragu. Raut wajah dan cara bicara Celina yang tegas, sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan pada Vano.
"Ok deal.!!" Seru Vano cepat.
"Anggap saja kita sudah memulainya 2 hari dihitung sejak tadi malam."
Celina langsung dibuat syok. Tidak menyangka kalau Vano akan langsung menyetujuinya tanpa berfikir lebih dulu. Vano bahkan menjawabnya dengan tegas, sedikitpun tidak ada keraguan dari raut wajahnya.
Vano tersenyum puas. Dia bisa melihat betapa kagetnya wajah Celina.
Vano sudah menyadari kalau Celina sedang berusaha untuk mengerjainya. Itu sebabnya Vano langsung setuju, tidak peduli dia harus mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk membalas ulah jahil Celina.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
istri king kurkan
berarti si Celine ini termasuk ani-ani ga sih 😂
2025-01-19
0
Nisanur
senjata makan tuan
2023-02-03
1
Ida Lailamajenun
umur 18 thn sudah jadi pemuas nafsu..
2022-09-10
0