“Sudah aku bilang, aku tidak apa-apa,” kata Evelyn seraya memberengut kesal pada pria yang kini dengan santainya duduk di sofa.
Elvan tidak membalas, melainkan malah memainkan ponselnya sembari tertawa kecil. Evelyn semakin kesal melihat sikap pria itu.
“Dan... Untuk apa ini?,” Tanya wanita itu sambil melepaskan jarum infus di punggung tangan kirinya.
Elvan yang melihat wanita itu ingin melepaskan jarum infusnya pun berlari sekuat tenaga menghampiri Evelyn, bahkan menabrak meja pun tidak dipedulikan oleh Elvan, yang pasti Evelyn tidak melepaskan jarum infusnya.
“Hei, apa-apaan kau ini?,” tanya Elvan. Tangan pria itu menahan tangan Evelyn yang akan membuka jarum infusnya.
“Aku sudah bilang, bukan? Aku baik-baik saja. Tidak perlu dirawat. Jangan berlebihan Elvan!.”
Evelyn berdecak kesal, mencubit lengan Elvan yang menahan tangannya yang ingin membuka jarum infus. Dia kesal dengan Elvan yang begitu berlebihan. Hei, dia hanya demam, tidak sakit parah dan tak perlu dirawat selama sebulan lebih. Apa-apaan ini?. Elvan benar-benar berlebihan.
“Kau itu sedang sakit, bagaimana bisa kau bilang kalau kau baik-baik saja?.”
Evelyn memutar bola matanya malas. “Kau bisa melihatnya sendiri, aku bahkan sudah bisa meneriakimu.”
“Kau tidak baik-baik saja. Jangan membantahku!.”
Evelyn menghela napas, jengah. Evelyn mengeluhkan nasibnya, oh Tuhan, bagaimana bisa aku memimpikan Elvan dan kenal dengan Elvan?. Evelyn sangat ingin memutar waktu di hari dia kecelakaan, dia ingin mengikuti perkataan Daddy-nya yang menyuruhnya berhenti.
“Aku mau pulang. Aku tidak suka rumah sakit.”
Evelyn menutup wajahnya kedua telapak tangannya. Isak tangis wanita itu terdengar sangat jelas di indra pendengaran Elvan. Elvan jadi gelagapan sendiri mendengar isak Evelyn, dia menelan ludahnya susah payah, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.
Uh, bagaimana ini?. Elvan sama sekali tidak pernah melihat wanita menangis di hadapannya, bahkan para mantan kekasihnya saja tidak pernah menangis ketika dia putuskan begitu saja. Tapi Evelyn, hanya karena dia tidak ingin dirawat di rumah sakit, wanita itu malah menangis.
“Kenapa kau tidak suka rumah sakit?,” tanya Elvan. Karena tidak tahu berbuat apa, hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Evelyn langsung mengangkat wajahnya ketika Elvan bertanya padanya. Mata wanita itu sembab, hidung Evelyn keluar lendir akibat menangis. Tanpa ada rasa jijik, Elvan me-lap lendir yang ada di hidung Evelyn.
“Karena rumah sakit yang membuatku kenal dengan pria sialan sepertimu.”
What the hell?!.
Jadi itu alasan Evelyn tidak suka rumah sakit?. Tapi, tunggu dulu, ada hubungan apa antara dia, Evelyn dan rumah sakit? Seingatnya dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan Evelyn sebelum mereka dipertemukan malam itu.
“Apa hubungannya?,” tanya Elvan memekik.
Evelyn tidak menjawab tapi malah membaringkan tubuhnya di brankar dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Evelyn membenci Elvan.
“Aku membencimu!,” ujar Evelyn.
“Ya, aku tahu. Tapi kusarankan padamu jangan terlalu membenciku dan berhati-hati, kau bisa saja tiba-tiba mencintaiku. Benci dan Cinta itu tidak jauh berbeda.
Evelyn membuka selimut yang menutupi wajahnya. “Aku lupa bilang.”
Elvan mengangkat sebelah alisnya bertanya, lupa bilang apa?.
“Aku sudah pernah bersumpah tidak akan jatuh cinta denganmu.”
🌹🌹🌹
Evelyn mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Wanita itu mengernyit heran ketika matanya sudah terbuka lebar. Di brankar yang tengah dia tempati terdapat balon yang diikat, bukan hanya satu tapi banyak dan Evelyn tidak tahu ada berapa banyaknya.
Wanita itu melirik Elvan yang tertidur di sofa, dia tahu, ini pasti ulah Elvan. Memangnya siapa lagi kalau bukan Elvan?.
Evelyn menarik botol mineral di nakas, melemparkan botol itu hingga mengenai perut pria itu.
“Aduh!” Elvan mengaduh, dia langsung terbangun karena lemparan botol dari Evelyn.
Elvan bangkit dari duduknya, mengangkat botol mineral itu, bermaksud memperlihatkan kepada Evelyn.
“Apa ini?,” tanyanya membuat Evelyn mencibir.
“Kau tidak tahu itu botol? Belajar apa kau sewaktu sekolah?.”
Elvan mengangkat kedua bahunya, berjalan menuju nakas yang ada di samping brankar, dan meletakkan botol itu ke tempatnya semula. Pria itu kemudian tersenyum mengejek.
“Aku lupa, mungkin.”
Evelyn memutar bola matanya malas, dia memukul balon yang berada di sampingnya.
“Ini, apa lagi ini?”
“Untuk menghiburmu,” jawab Elvan seadanya.
“Aku bukan anak-anak yang butuh balon jika sakit.”
“Tapi kurasa kau butuh itu untuk menghilangkan bosanmu.”
Evelyn menggeram, dia menarik Elvan hingga wajah pria itu dekat dengannya, lalu menarik balon yang kebetulan berada di sisi kanan wajah pria itu. Sejurus kemudian, Evelyn menekan balon itu di wajah Elvan hingga Elvan mundur ke belakang.
“Aku bisa kehabisan napas karenamu.”
“Berlebihan!. Aku tidak mau tahu, sore ini aku harus pulang.”
“Cairan infusmu belum habis.”
“Apa peduliku?!.”
“Tidak. Kau masih harus dirawat.”
Evelyn tidak mendengar perkataan Elvan, dengan sekali tarik, jarum infus yang tertempel di punggung tangannya terlepas hingga membuat darah segar keluar dari bekas infusnya.
Mata Elvan melebar, tidak percaya melihat Evelyn yang nekat melepaskan infusnya.
“HEI!” pekik Elvan yang sama sekali tidak didengar oleh Evelyn.
Evelyn malah turun dari brankar. Tanpa menggunakan alas kaki, Evelyn keluar dari ruang perawatannya, meninggalkan Elvan sendiri. Tujuan Evelyn saat ini hanya mau pulang.
Elvan yang ditinggalkan Evelyn di dalam, mengejar Evelyn hingga di koridor yang sepi. Pria itu langsung memeluk Evelyn dari belakang, mengecup pundak Evelyn lama kemudian berkata;
“Kau harusnya tahu, Evelyn, aku sebenarnya khawatir denganmu.”
🌹🌹🌹
Setelah berdebat dengan Elvan dan bernegosiasi dengan pria itu, pada akhirnya Evelyn menuruti permintaan Elvan tapi dengan satu syarat, dia hanya dirawat selama tiga hari saja di rumah sakit.
Elvan awalnya menolak, namun dengan sifat keras kepala Evelyn akhirnya Elvan luluh juga bahkan sekarang pria itu kini tengah menyuapi Evelyn makan.
Elvan membersihkan sudut bibir wanita itu, tersenyum manis tepat di depan Evelyn. Evelyn yang melihat senyum manis Elvan sempat tertegun. Senyum Elvan sangat menawan, Evelyn bahkan baru melihat senyum itu setelah beberapa bulan kebersamaan mereka.
“Sudah, aku kenyang.”
Evelyn mendorong pelan mangkuk bubur dari tangan Elvan. Dia sama sekali tidak suka dengan bubur buatan rumah sakit, tapi dengan terpaksa dia makan karena paksaan dari pria pemaksa itu.
Elvan tidak memaksanya lagi, dia memberikan segelas air mineral pada Evelyn dan diterima oleh wanita itu.
“Mana ponselku?,” tanya Evelyn setelah selesai minum.
“Ponselmu aku sita,” jawab Elvan.
Evelyn berdecak kesal.
“Berikan padaku.”
“Tidak. Kau harus pulih dulu baru aku kembalikan.”
“Berikan ponselku atau kucabut infus ini,” ancam Evelyn yang sukses membuat Elvan menghela napasnya.
Pria itu mengeluarkan ponsel Evelyn di saku celana jeans-nya, menyodorkan ponsel itu kepada pemiliknya yang asli. Dengan senang hati Evelyn menerima ponselnya, memekik akibat kegirangan, dia bahkan mencium ponselnya berkali-kali membuat Elvan memberengut kesal.
“Kurasa pesonaku dikalahkan oleh ponsel sialan itu,” gumam Elvan.
***
**Menurut kalian romantis gak part ini?😂
Selamat membaca
Jangan lupa like, komen, vote, dan share cerita ini
Follow ig @huzaifahsshafia kalau mau tahu spoiler cerita ini
Bye bye**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Safin Algasiah
Next thor
2020-03-31
1
Desi Arisumanti
romantis n lucu
2020-03-31
1