Bara masuk tanpa mengucap salam. Ketika ia hanya melihat kedua orang tuanya bersama Banyu dan seorang pria berjenggot, matanya mulai mencari ke sekeliling ruangan itu.
"Hem. Anta mencari siapa?" kata Pak Kyai.
"Oh, saya Bara bukan Anta." jawab Bara.
Anggi langsung menunduk karena malu dengan sikap Bara. Langit mengulum senyum sedang kan Banyu menepuk keningnya melihat kebodohan Bara.
Lalu Pak Kyai.... beliau tertawa.
Banyu menarik Bara hingga duduk di sampingnya.
"Anta itu artinya kamu." bisik Banyu dengan menggerakan bibirnya sedikit.
"Lha mana aku tahu. Kan aku nggak. pernah belajar bahasa pesantren." jawab Bara nggak mau disalahkan. Pak Kyai kembali tertawa.
"Maafkan putra kami Kyai." kata Anggi.
Pak Kyai berusaha menghentikan tawanya.
"Tidak. Dia benar. Ana yang salah. Mestinya ana tahu bagaimana harus menyapanya." jawaban Pak Kyai melegakan hati Anggi.
"Kamu mencari siapa?" kembali Pak Kyai bertanya pada Bara.
Bara diam. Ingin rasanya ia bilang kalau dirinya mencari gadis bercadar yang matanya sangat indah.
"Tadi saya seperti melihat adik saya masuk ke mati Pak." jawab Bara.
"Kau melihat Aurora?" tanya Banyu. Bara ragu lalu menganggukan kepalanya.
"Adik anta tidak ada di sini. Wanita yang anta lihat masuk ke ruangan ini tadi adalah putri ana." jawab Pak Kyai sambil. memandang Bara dengan lekat.
Bara menatap mata teduh namun tegas itu. Hatinya bergetar.
Bagaimana Pak Kyai bisa membaca pikiranku. Ilmu Pak Kyai pasti sangat tinggi. batin Bara.
"Ooo saya kira adik saya." gumam Bara. Sesekali matanya masih mengitari ruangan itu mencari petunjuk tentang si gadis bermata indah yang tanpa ia sadari sudah masuk ke dalam hatinya.
Setelah menjelaskan tujuan kedatangannya dan mendapat respon yang baik dari Pak Kyai, Langit dan Anggi pun undur diri. Mereka berpamitan.
"Ingan janjimu pada mama." pesan Anggi setelah memeluk Bara.
"Jaga kakakmu."pesannya pada Banyu.
Dengan menahan sedih, Anggi dan Langit akhirnya meninggalkan pesantren itu.
...***...
"Akhirnya disinilah kita sekarang." Banyu melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Sementara Bara mendekat ke jendela. kamar dan membuka tirainya. Ia memandang ke luar. Kamar mereka berada di lantai dua dari bangunan pesantren
Bara mengamati lingkungan pesantren dari tempatnya berdiri. Saat ia melihat sisi sebelah kiri yang merupakan wilayah untuk santriwati, ia melihat sosok gadis bercadar itu berjalan menyeberangi taman pesantren. Bara bergegas keluar.
"Kau mau kemana? Jangan membuat ulah!" Banyu berteriak memperingatkan.
Bara tidak menggubrisnya. Ia terus berlari menuju ke arah di mana gadis tadi ia lihat.
"Sial!" umpat Bara saat dihadapannya berdiri dinding tinggi pemisah wilayah santriwan dan santriwati. Matanya mencari sesuatu, bibirnya tersenyum saat ia melihat sebuah pohon yang cukup tinggi. Bara segera memanjatnya. Kebiasaan memanjat tembok sekolah membuatnya gampang menaiki pohon itu. Tidak butuh waktu lama, kini Bara sudah bertengger di atas pohon. Ia mencari keberadaan si gadis.
"Itu dia!" gumamnya bahagia. Bara terus mengamati gerak gerik si gadis yang sedang mengajarkan keterampilan kepada sekelompok santriwati muda.
"Eh, bukankah yang berbaju biru itu Aurora?Aurora pasti mengenal gadis bercadar itu." Bara terus memperhatikan gadis yang entah mengapa sangat menarik perhatiannya itu.
"Hem. Apa dari atas bisa melihat dengan jelas?" seseorang datang dan bertanya pada Bara.
"Iya. Sangat jelas." jawab Bara tanpa menengok ke bawah.
"Begitu ya. Apa yang kau lihat?"
"Aku melihatnya, dia... " Bara tersentak saat ia menyadari ada orang di bawahnya. Ia menunduk dan melihat Pak Kyai sudah berdiri sambil menatapnya.
Melihat Bara menengok ke bawah, Pak Kyai memberi isyarat dengan tangan agar Bara turun.
Bara meluncur turun dengan cekatan.
"Eh.. Pak Kyai. Lagi jalan-jalan ya Pak?" Bara salah tingkah.
"Hem... apa yang anta lihat?" Kali ini Pak Kyai kembali menggunakan kata anta.
"Itu.. adik saya Pak. Saya sangat rindu padanya." Bara berasalan.
"Benar?" Pak Kyai sedikit sangsi dengan alasan Bara.
Bara mengangguk.
"Yah.. padahal aku ingin mengajakmu menemui putriku. Ternyata ingin kamu lihat hanyalah adikmu saja." kata Pak Kyai dengan wajah kecewa.
"Kalau Pak Kyai akan mengajak saya, saya pasti ikut." buru-buru Bara menjawab ucapan Pak Kyai.
"Ya sudah. Kita temui adikmu saja. Agar kau tidak perlu memanjat pohon untuk diam-diam mengintipnya."
Mampus Kalau Pak Kyai bilang ke Aurora aku mengintip nya dari atas pohon, anak bawel itu pasti akan melapor ke mama dan papa. Bagaimana ini.
"Tidak perlu Pak Kyai. Saya sudah cukup. puas dengan melihatnya tadi." elak Bara.
"Bener?"
Bara mengangguk.
"Padahal saat ini Aurora sedang bersama putriku. Jika anta ikut ana menemui Aurora makan anta bisa sekalian bertemu putri ana. Tapi sayang." Pak Kyai menggelengkan kepala seolah benar-benar menyesal. Matanya melirik sekilas ke arah Bara yang tampak kebingungan.
"Itu... saya... " Bara tergagap.
"Hahaha." Pak Kyai tergelak. "Anak muda. Jangan jadikan kebohongan itu suatu kebiasaan. Meski hanya bohong kecil. Sejatinya nggak ada kebohongan kecil ataupun besar. Keduanya sama. Saat anta melakukan kebohongan kecil, anta akan terus melakukan kebohongan lagi untuk menutupi kebohongan anta yang lain. Lama-lama juga akan menjadi besar. Berkatalah jujur meski itu pahit." Pak Kyai menepuk pundak Bara sebelum berlalu meninggalkan Bara yang berdiri mematung setelah mendapat pencerahan dari Pak Kyai.
Ma, kali ini aku tidak membuat malu kan? batin Bara khawatir.
Dengan langkah gontai, Bara kembali ke kamarnya.
"Darimana saja kau?" tanya Banyu yang sedang menyusun pakaiannya di almari.
Bara tidak menjawab. Ia malah merebahkan tubuhnya dan menatap menerawang ke langit-langit kamar mereka.
"Kesambet ya. Tumben nggak pecicilan."
"Nyu, apa kau pernah berbohong." tanya Bara tanpa menggubris olok-olok Banyu.
"Nggak! Aku berbohong itu jika kamu yang nyuruh." jawab Banyu masih dengan aktivitasnya.
Bara menghela nafas. Mendengar tidak ada suara lagi dari Bara , Banyu menoleh.
"Kau kenapa? Jangan bilang kau benar-benar kesambet jin yang ikut nyantri di sini." tutur Banyu sambil menutup pintu almari setelah selesai memindahkan isi kopernya ke dalam almari itu.
"Nyu, apa selama ini aku benar-benar pembuat ulah."
Banyu mendekat dan duduk di sisi Bara.
"Kamu kenapa?" Ia menatap heran ke arah Bara.
Bara menghela nafas. "Aku nggak pa-pa." Bara memasukkan ke dua tangannya ke bawah kepala.
"Aneh." Banyu beranjak menuju ranjang nya.
tok tok tok
"Assalamu'alaikum." seseorang membuka pintu.
"Wa'alaikumussalam." Banyu langsung bangkit dan duduk. Sementara Bara tetap rebahan.
Pintu terbuka." Ana Fahri. Ana diminta Pak Kyai untuk membawa antum berdua berjalan-jalan mengenali lingkungan pesantren agar ke depannya antum berdua lebih mudah melakukan aktivitas di sini. Mari ikut Ana." seorang pemuda masuk dengan senyum ramahnya. Banyu membalas senyuman itu.
Bara melirik sekilas. Ia lalu bangkit dan berjalan ke arah Fahri. Di luar dugaan Banyu, Bara yang biasanya enggan mengenal orang baru, kini mengulurkan tangan.
"Bara, dia adikku namanya Banyu." kata Bara. Banyupun mendekat dan ikut mengulurkan tangan menjabat tangan Fahri.
"Ayo!" Fahri keluar diikuti oleh Bara dan Banyu.
Fahri mengenalkan semua ruangan dan fungsinya kepada Bara dan Banyu. Ia juga menjelaskan aturan di dalam pesantren tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
"Kalau yang di sebelah tembok ini?" tanya Banyu saat mereka sampai dapat tembok pembatas wilayah santriwan dan santriwati.
"Oh, di sebelah sana khusus untuk. para santriwati. Santriwan tidak boleh masuk ke sana."
"Apa semua santriwati di sini menggunakan cadar?" tanya Bara memancing Fahri. Padahal ia sudah tahu tidak semua santriwati bercadar.
"Tidak." jawab Fahri pendek tanpa menjelaskan apapun.
"Tapi tadi aku melihat ada santriwati yang bercadar."
"Dia bukan santriwati di sini. Dia putri pemilik pesantren ini." jawab Fahri.
Kenapa dia tidak menyebut namanya. batin Bara.
"Ayo, kita lanjutkan!" ajak Fahri. Bara dan Banyu mengangguk. Sambil mengikuti langkah Fahri mata Bara terus menatap tembok pemisah. Alisnya mengeryit saat melihat ada pintu penghubung.
Pintu apa itu?
"Fahri! Itu pintu apa?" tanya Bara sambil. menunjuk pintu penghubung yang ia lihat.
"Oh.. itu pintu yang biasa digunakan oleh ustadz dan ustadzah untuk keluar masuk wilayah santri saat mereka harus mengajar."
Bara manggut-manggut. Ada senyuman tipis di bibirnya. Banyu yang melihat hal itu cemas.
Nih anak otaknya pasti merencanakan sesuatu. Aku harus mengawasinya.
...💕💕💕...
Alhamdulillah, meski telat, akhirnya bisa up juga.
tetap beri dukungan ya***....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
dementor
👍👍👍👍👍
2023-03-07
0
Eka Suryati
banyu aja cemas
2022-11-14
0
Eka Suryati
next
2022-11-14
0