Ammar sudah sampai dirumah membawa serta Kinan yang masih diam seperti orang bingung.
Ammar tadi terbelalak mendengar lelaki bernama Rey itu menceritakan perihal Kinan yang hampir tertabrak kereta api.
Awalnya Ammar merasa marah karena ia mengira lagi-lagi Kinan mencoba untuk mengakhiri hidupnya.
Ia menatap Kinan dengan perasaan bersalah. Entah kenapa perasaan itu menyelusup masuk ke sanubarinya. Mungkin karena percakapannya dengan psikiater tadi.
Sebelumnya, Ammar sudah membawa Kinan untuk menemui seorang Psikiater untuk menanyakan apa yang telah Kinan alami hingga seperti ini.
"Istri anda mengalami amnesia histeria, Pak!" Penjelasan wanita yang adalah seorang psikiater itu membuat hati Ammar mencelos.
"Maksudnya?"
"Amnesia yang disertai depresi dan keterkejutan yang berlebihan. Histeria memang sering kali dikaitkan dengan orang-orang yang terlalu emosional. Dalam istilah awam, histeria sering digunakan untuk menggambarkan perilaku yang tampak berlebihan dan tidak terkendali. Syok yang sangat berlebihan. Gejala histeria seperti Frustasi, kecemasan esktrem, menangis, tantrum dan sebagainya. Pada kasus yang dialami ibu Kinanty, ia juga sepertinya melupakan banyak hal disekitarnya."
Ammar terdiam. Ia bingung dan merasa iba terhadap Kinan.
"Apa itu akan parah dan berlangsung lama?"
"Itu tidak bisa dipastikan berapa lama pak! Akan tiba saatnya nanti ibu Kinan akan ingat dengan sendirinya. Tapi, ia tetap harus menjalani pengobatan yang mungkin akan membantu memulihkannya dari depresinya yang berlebihan itu."
Ammar mengangguk paham.
"Apa saya bisa tahu pak, apa kejadian yang terjadi sebelum ibu Kinanty seperti sekarang? Ini untuk membantu saya memahami apa yang dirasakan pasien saya."
"Saya hanya ingin mengetahui penyebabnya pak. Mungkin anda tahu perihal yang menimpa Ibu, karena saya tidak bisa menanyakannya pada beliau berhubung ibu Kinanty tidak mengingat apapun saat ini!"
Ammar pun menceritakan pada psikiater itu secara garis besar bahwa Kinan sebelumnya mengetahui kondisinya yang sedang hamil. Tapi, Kinan terkejut dan sepertinya menolak kondisinya itu.
Wanita itu fokus mendengarkan Ammar, sesekali ia menulis semua yang dialami pasiennya pada selembar kertas.
"Maaf pak, saya ingin tahu lebih lanjut. Kenapa kiranya ibu Kinan menolak kehamilannya?"
"Mungkin karena anak itu bukan anak yang kami harapkan! Kinan mengaku pernah mengalami pelecehan beberapa waktu lalu. Dan saya--" ucapan Ammar terhenti.
"Anda tidak menerima kondisi itu?" Tebak wanita itu.
Ammar mengangguk dengan rasa penuh sesal didadanya.
"Saya mungkin akan menerimanya jika itu adalah kenyataan. Tapi saya ragu jika Kinan mengalami hal itu, saya berfikir Kinan hanya memberi alasan agar saya memaklumi atas tindakannya!"
"Apakah anda memang sudah memastikan jika pelecehan itu tidak benar? Makanya anda meragukan pengakuan ibu Kinan?"
Ammar menggeleng lemah.
"Pak, sepertinya ibu Kinan mengalami depresi yang cukup parah. Ia banyak memendam perasaannya dan mungkin karena sikap bapak padanya ia juga jadi takut untuk mengungkapkan yang sebenarnya terjadi!" Lirih wanita itu berkata-kata seolah sedang berada diposisi Kinan saat ini.
"Saya tahu, saya hanya terkejut mendapati kondisi Kinan yang pada saat itu sulit untuk saya percayai. Lakukan apapun yang terbaik untuk Kinan. Saya ingin menebus rasa bersalah saya padanya!"
"Sebaiknya jangan langsung menghakiminya atau menjauhinya. Ajaklah ia bicara, dengarkan keluh kesahnya, jika perlu ajak ia untuk terapi agar saya bisa membantu menangani kondisinya."
Wanita itu lalu meresepkan beberapa obat. Dan mengatur jadwal pertemuan untuk Kinan terapi.
*****
"Kenapa gue harus telpon suaminya tadi? Harusnya gue aja yang bawa dia ke psikiater sendiri. Biar tau dia kenapa!" Ujar Rey sambil mengacak-acak rambutnya.
Tampaknya Rey belum terima karena ia tidak tahu kondisi Kinan selanjutnya seperti apa.
Rey menyesali keputusannya telah menelepon Ammar untuk memberitahukan keberadaan Kinan tadi.
Entah kenapa ia merasa ikut ingin tahu keadaan gadis itu selanjutnya akan seperti apa.
.
.
.
"Kemana aja lo? Nggak pernah nongol lagi!" Seru Kevin saat memasuki kamar Rey tanpa permisi.
Rey menatap sahabatnya itu sekilas. Mengabaikannya. Lalu menatap langit-langit kamar, kembali pada pemikirannya sendiri.
"Mikirin apa sih lo? Cepat tua lo ntar!" Cetus Kevin lagi sembari ikut berbaring disamping Rey.
"Apa sih lo? Ganggu aja!" Jawab Rey cuek.
"Gimana? Udah menang tender proyek yang di Bandung?"
"Ck! Lo kalo mau bahas kerjaan. Buru pulang sana gih!"
Kevin memutar bola matanya jengah mendengar jawaban Rey.
"Gini nih kalo urusan kerjaan selalu badmood lo! Gue kan cuma ngingetin doang. Jangan sampai bokap lo nguber-nguber lo kayak anak ayam!" Kevin menyunggingkan senyum mengejek.
...Plukk!...
Rey melempar bantal diatas kepalanya ke wajah Kevin. Kevin pun berlagak meringis.
"Beneran lo ya bagusan ikutan Doni aja ke Luar Negeri sana!" Cecar Rey.
"Lo kenapa? Masih mikirin masalah yang kemaren?" Kevin terduduk.
Rey beranjak sambil mengangkat bahu.
"Saran gue nih, lo fokus aja dulu sama proyek dan kerjaan lo! Itupun kalo lo masih mau hidup enak!"
Rey mengangguk pelan.
******
Kinan sedang mencerna dan mengamati keberadaannya dirumah Ammar yang asing. Semalam ia melewatkam makan malam, hingga pagi ini perutnya terasa lapar.
Tak lama pintu kamar Kinan diketuk dari luar. Kinan membukanya dan menemukan sosok Ammar didepan Pintu.
"Kinan, kita makan dulu ya!"
"Maaf pak, saya ingin bertanya?" Ujar Kinan dengan ragu-ragu.
Ammar mengangguk meski merasa risih dengan sebutan 'Pak' yang diucapkan Kinan.
"Se-sebenarnya saya ini ada dimana? Dan siapa Anda? Ma-maaf sepertinya saya lupa!" Ucap Kinan tertunduk dan dengan nada ragu-ragu.
Wajah Ammar tampak pias mendengar kata-kata Kinan. Sedari kemarin Kinan diam tanpa kata. Tak menjawab pertanyaan Ammar sedikitpun, tapi hari ini ia berbicara dan kata-kata dari mulutnya malah membuat perasaan Ammar berkecamuk.
"Saya ini suami kamu. Jadi kamu jangan panggil saya dengan sebutan 'Pak'!"
"Su-suami?" Kinan makin bingung.
Ammar mengangguk sembari mengajak Kinan sarapan bersama di meja makan.
Latifa yang melihat Kinan tak tahan untuk segera menegurnya karena sedari semalam ia tak bertemu dengan Kinan setelah Ammar pulang dari rumah sakit sendirian dan malah mencari keberadaan Kinan dirumah.
"Kemana saja kau? Memang hobi mu ya menghilang dan pergi kemana-mana?" Ketus Latifa ketika melihat Kinan yang diam dimeja makan.
Kinan menatap Latifa dengan bingung. Ia ingin bersuara, tapi Ammar segera memotong untuk lebih dulu berbicara.
"Untuk semua yang ada dirumah ini. Semuanya dan tidak terkecuali! Kinan saat ini sedang sakit. Aku minta kalian jangan banyak membebaninya dan jangan membuatnya banyak pikiran!" Ujar Ammar.
"Dan lagi, aku tidak mau melihat Kinan melakukan pekerjaan ART dirumah ini! Karena Kinan sedang mengandung." Sambung Ammar lagi sembari melirik Latifa.
Mendengar itu Latifa terbelalak. Ia tak yakin dengan ucapan Ammar.
"Maksudmu? Dia hamil? Mama tidak yakin itu adalah anakmu, Ammar!" Ucap Latifa dengan nada tinggi.
"Cukup ma!" Ujar Ammar tegas kepada Latifa. Ia berdiri dari duduknya. Kata-kata Latifa memang benar adanya. Tapi Ammar tidak mau mengiyakan didepan Latifa bahwa memang Kinan hamil anak dari lelaki lain yang Ammar pun tidak tahu siapa lelaki itu.
Ammar meninggalkan meja makan. Tapi langkahnya terhenti sebentar.
Ammar menoleh ke meja makan lagi.
"Ingat semua kata-kataku tadi! Jika ada yang melanggar, maka akan berurusan denganku!" Ucap Ammar tegas sembari pergi meninggalkan ruang makan.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Yuni Rahma
udah kayak gini, baru sok sok perhatian.
2022-10-12
1
???
sekalian aja amnesia selamanya biar nanti Kinan gk merasa malu dn hina lagi 😥
nah gitu jd suami! istri itu tanggung jawabnya suami. apapun yg menimpa Kinan itu jg tanggung jawab kamu Ammar
2022-10-05
1
Neni Cahyani
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2021-09-22
1