Hari hari berlalu, tanpa terasa Kinan melaksanakan sidang meja hijaunya hari ini. Tentu saja Kinan merasa bahagia karena sebentar lagi ia akan menyelesaikan kuliahnya.
"Selamat ya Ki, akhirnya perjuangan kamu nggak sia-sia. Aku ikut bahagia Ki, meskipun aku belum bisa sama-sama ikut sidang hari ini" ujar Desi.
"Makasih ya Des, kamu jangan patah semangat ya"
"Abis ini kamu mau lanjut kerja dimana, Ki? Apa kamu mau terusin buat tinggal dirumah saudara kamu itu?"
"Aku udah seleksi perusahaan buat aku kirimin lamaran kerja sih, Des. Dan rasanya aku mau pindah, aku nggak enak tinggal disana terus. Ngerepotin mbak Wina dan Mas Ammar terus, tapi aku juga nggak mungkin pergi gitu aja. Rasanya kok kayak nggak tau terimakasih."
"Ya tapi kan kamu kuliah buat ngejar cita-cita kamu, Ki! Bukan buat terus-terusan kerja disitu!"
"Iya sih, nanti lah aku cari-cari waktu biar bisa ngomong sama mbak Wina. Lagian aku juga mau mandiri."
Kinan memutuskan untuk pulang, ia ingin secepatnya memberitahukan pada Wina soal sidang meja hijau nya yang sukses dan ia akan segera diwisuda.
Ditambah lagi, Kinan ingin menyampaikan rasa terima kasihnya pada Wina serta ia ingin mandiri untuk keluar dari rumah Wina.
Sebenarnya Kinan betah tinggal disana, tapi Kinan mengerti posisinya, dia dipekerjakan Wina karena Wina ingin membantunya.
Kinan ingin merawat Wina lebih lama lagi bahkan sampai Wina sembuh kalau perlu. Tapi Kinan urung karena ia tahu, ia akan selamanya dianggap orang lain dirumah itu. Terutama oleh Nyonya Latifa.
Sesampainya dirumah, Kinan melakukan tugasnya seperti biasa. Mengantarkan makanan Wina dan memberi Wina obat untuk dikonsumsi.
"Makasih ya Ki" ucap Wina setelah selesai menenggak air di gelasnya.
Kinan mengangguk. Wajahnya berubah ragu. Ia ingin membicarakan keputusannya pada Wina.
"Kenapa Ki?"
"Aku mau bicara, mbak."
"Oh iya mbak juga ada yang mau dibicarakan sama kamu."
"Apa itu mbak?"
"Mbak punya keinginan, Ki. Bisa kamu tolong mbak?"
"Keinginan apa, mbak? Aku akan menolong mbak jika aku bisa."
Wina menarik nafas dalam-dalam sembari menghembuskannya.
"Kamu tau, waktu mbak udah nggak lama lagi, Ki."
"Loh kok mbak bicara begitu? Mbak jangan buat aku sedih, mbak!" Jawab Kinan sembari air matanya menetes. Bagaimana pun, bagi Kinan Wina adalah keluarga satu-satunya yang dimilikinya.
Wina mengangguk, ia pun menangis kini.
"Maka dari itu, Ki. Mbak punya keinginan membahagiakan keluarga mbak. Kamu mau membantu mewujudkannya?"
"Maksud mbak apa?"
"Aku mau kalau waktuku sudah habis, kamu menggantikan posisiku Ki, menjadi istri dari Mas Ammar dan Bunda buat Lesya dan Shaka!"
Kinan terperangah mendengar permintaan Wina.
"Mbak, itu bukan suatu permintaan yang dengan gampangnya bisa aku kabulkan buat mbak!" Jawab Kinan hati-hati takut menyinggung Wina.
"Mbak tau, Ki. Mbak sadar! Tapi mbak nggak bisa ninggalin keluarga mbak dengan tenang kalau mereka tidak bersama kamu. Kamu satu-satunya wanita yang mbak percaya."
"Mas Ammar juga sedang mempertimbangkan keinginan mbak ini, Ki." tambah Wina.
Kinan menunduk. Air matanya tak kunjung berhenti. Rasanya amat sesak mengingat permintaan Wina yang bertolak belakang dengan impiannya.
Belum sempat ia mau mengucapkan niatnya untuk bekerja dan keluar dari rumah Wina, tapi Wina sudah lebih dulu mengutarakan keinginannya.
"Jadi mas Ammar sudah dengar perihal ini, mbak?"
Wina mengangguk.
"Iya, tapi dia belum memutuskan. Tapi apapun keputusan dia, tidak akan mengubah keinginanku dan apa yang sudah ku pinta padanya!" Wina membuang pandangannya kearah jendela kamar.
"Kalau begitu, apa aku juga tidak bisa memutuskan keinginanku, mbak?"
"Kalau kamu mau menolaknya, itu hak mu Ki! Mbak juga tidak mau memaksakan kamu. Mbak sadar kamu punya impian dan cita-cita."
"Iya mbak, aku punya keinginan sendiri."
"Tapi tolonglah mbak mu ini Ki, mbak harap kamu tidak mengecewakan mbak atas keputusan kamu!"
Wina memang tidak memaksa Kinan, tapi dari jawaban dan pernyataannya Kinan bisa menangkap bahwa Wina berharap yang sangat besar kepada Kinan.
Kinan sadar, Wina telah banyak menolongnya. Dan apakah dengan cara mengabulkan keinginan Wina, lantas bisa membalas semua yang telah diberikan Wina pada Kinan.
Empat tahun Wina menampung Kinan dirumahnya. Ia memberi Kinan cukup uang untuk kebutuhan dan keperluan kuliah Kinan. Meskipun Kinan dianggapnya bekerja dan semua uang yang diberinya dianggap Gaji untuk Kinan. Tapi sejatinya, Kinan sadar ia bukan bekerja dirumah ini.
Menjaga Wina sama halnya kewajiban Kinan sendiri karena Kinan pun satu-satunya saudara yang Wina punya. Dan Kinan sama sekali tidak terbebani oleh Wina.
Apakah dengan cara ini Kinan bisa membalas budi kepada Wina. Haruskah ia mengorbankan impiannya untuk permintaan Wina ini?
Wina beberapa kali menanyakan Kinan ingin membicarakan apa padanya, tapi rasanya semangat Kinan untuk bercerita soal impiannya tadi lenyap entah kemana. Kinan pun memutuskan undur diri dari hadapan Wina. Ia beralasan ingin memikirkan soal ini lagi dikamarnya saja.
******
Senja telah berganti malam. Menampakkan langit hitam legam yang menutup terang.
Kediaman Ammar dan Wina tampak tenang.
Seperti biasa, Ammar sedang membaca Artikel di Tabletnya. Disampingnya ada Wina yang menonton tv dengan menggunakan kursi roda.
Tampak diruang depan, anak-anak sedang mengerjakan PR didampingi guru les privatnya.
Nyonya latifa sedang berada didapur dengan Irah dan Minah, Asisten rumah tangga yang lain. Mereka sedang menulis daftar belanjaan yang akan di beli esok hari.
Sedangkan Kinan urung untuk keluar kamar, ia memutuskan untuk tetap dikamar memikirkan keinginan Wina.
Kinan begitu galau, bahkan ia belum pernah berpacaran. Kenapa sekarang ia harus dihadapkan dengan permintaan yang mengharuskannya untuk menikah?
Rasanya Kinan ingin melarikan diri saja, tapi mengingat Wina yang berjasa dan banyak membantunya selama ini, Kinan jadi serba salah.
Belum lagi perasaannya terhadap Ammar hanya seperti Adik terhadap Abangnya.
Bagaimana bisa ia harus menikah dengan Ammar? Rasanya Kinan hampir sesak memikirkannya.
*****
Matahari terbit diufuk timur, semua orang bersemangat mengawali pagi yang cerah ini.
Tidak seperti biasanya, hari ini Ammar lebih dulu bangun daripada Wina, ia mau membangunkan Wina tapi ia memutuskan untuk mandi dulu dan membiarkan istrinya itu lebih lama untuk tidur.
Ammar sudah rapi dengan setelan kemeja yang ia pilih sendiri. Kemeja hitam dan celana kain senada dengan bajunya.
Biasanya saat ia sudah siap mandi, Wina sudah menyiapkan pakaian untuk dipakai Ammar. Tapi kini nampaknya berbeda, Wina begitu nyenyak dalam tidurnya.
Seulas senyum dari bibirnya membuat Ammar yang sudah siap ikut menyunggingkan senyumnya melihat istrinya itu.
"Sayang, kamu nggak bangun? Aku mau berangkat kerja ini!" Kata Ammar lembut membangunkan Wina.
Ammar sedikit mengguncang lengan istrinya untuk membangunkannya.
"Sayang, kamu nggak mau bangun? Ini udah siang. Anak-anak pasti udah nungguin kita dimeja makan!" Desaknya.
Melihat tubuh istrinya tidak ada respon, mendadak Ammar terdiam. Ia menatap lagi dengan seksama tubuh istrinya itu. Terlihat Wina amat tenang dalam posisi berbaring, tidak nampak dadanya naik turun untuk menandakan wanita itu sedang bernafas.
Ammar kembali terdiam, mengusir ketakutan dalam dirinya. Mencoba mengabaikan apa yang ada dipikirannya.
Ia menyentuh pipi istrinya. Dingin. Bahkan sangat dingin seperti membeku.
Seketika air mata Ammar pecah. Ia meraung sambil mendekap tubuh istrinya yang tetap kaku terbujur. Ammar sadar kini bahwa Wina telah tiada. Wina pergi dalam tidurnya.
Seperti yang pernah Wina katakan bahwa Wina tidak akan bisa lagi menanyakan keadaan Ammar.
"Maaaa...mama, Lesya, Shaka!" Jerit Ammar dari dalam kamar memanggil keluarganya.
Seketika itu juga semua yang sudah berada dimeja makan terkejut mendengar jeritan Ammar. Mereka berlari tergesa untuk sampai dan masuk ke dalam kamar Ammar.
"Ada apa Mar?" Tanya Latifa.
"Ma, Wina udah nggak ada ma" ucap Ammar yang terduduk dilantai sambil menangis meraung-raung.
Latifa syok menutup mulutnya yang ternganga beberapa detik.
Lesya dan Shaka berlari menuju jasad ibunya. Memeluk dan sedikit mengguncang-guncangkan tubuh Wina. Syok. Dan tidak percaya.
"Mama!!!" Jerit si kecil Shaka.
"Mama nggak mungkin meninggal, ma!" Raung Lesya.
Pagi menjelang siang semuanya berkumpul dirumah Ammar yang sedang berduka. Mulai dari sanak saudara Ammar, tetangga, rekan kerja dan orang-orang yang pernah mengenal mereka.
Kinan merasa tak percaya dengan apa yang terjadi. Keluarga nya satu-satunya kini telah berpulang meninggalkannya. Serta meninggalkan permintaan yang belum lagi bisa terjawab oleh Kinan.
Rasanya baru semalam Wina berbicara empat mata dengan Wina. Mencerna semua permintaan Wina. Wina begitu serius dengan keinginannya. Tapi kenapa sekarang Wina pergi dengan cepatnya? Seolah memaksa agar Kinan segera menjawab permintaannya dengan tindakan.
Ammar dan keluarganya mengantar jenazah Wina ketempat peristirahatan terakhirnya dengan berurai air mata. Kepergian Wina amat sangat menguras air mata Ammar dan anak-anaknya. Tak terkecuali Kinan, yang merasa Wina adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Mereka semua pulang meninggalkan area pemakaman, tapi tidak dengan Ammar. Ammar masih berada dimakam istrinya itu.
"Kenapa kamu begitu cepat meninggalkanku?
Aku rela menukar apa saja untuk bisa mengembalikanmu ke sisiku, sayang!" ucap Ammar terisak-isak.
Ammar terus saja meraung dan mengeluarkan kata-kata yang mengungkapkan rasa tidak ikhlasnya terhadap kepergian Wina.
Kinan yang mau menuju pulang pun begitu terenyuh melihat Ammar dari kejauhan. Ia memutuskan untuk kembali dan mengajak Ammar untuk pulang.
"Kamu harus ikhlas mas, agar mbak Wina bahagia dan tenang disana!"
Ammar mengangguk mengiyakan. Perlahan ia bangkit dan berdiri. Ia menyadari bahwa ada Kinan dibelakangnya.
"Pulanglah mas! nanti kamu bisa kesini lagi. Paling tidak pikirkan anak-anak yang juga merasa kehilangan!" Pinta Kinan.
Ammar mengangguk lagi. Lesu. Tapi akhirnya ia mengikuti langkah Kinan untuk pulang kerumahnya. Ia mengikhlaskan Wina pergi dari sisinya untuk selamanya walau sulit.
Diperjalanan menuju pulang yang dilalui Ammar dan Kinan dengan berjalan kaki, Ammar mengingat permintaan terakhir istrinya. Ia memutuskan untuk sedikit menyinggung hal itu dengan Kinan sekarang.
"Ki?"
"Iya mas?"
"Apa Wina sudah ada mengungkapkan keinginan terakhirnya padamu?"
Kinan yang awalnya fokus memperhatikan jalan didepannya, mendadak menoleh melihat wajah Ammar.
"A-aku baru mendengarnya kemarin dari mbak Wina, mas."
"Lalu apa keputusanmu?" Kata Ammar tersenyum sarkas. Senyum yang amat dipaksakan.
"Aku belum memutuskan, mas!"
"Aku tau permintaan Wina mungkin aneh bagimu. Tapi aku sadar, Wina meminta itu karena dia tau kau adalah orang yang baik dan dia melakukan itu karena dia memikirkan aku dan anak-anakku!"
Kinan mengangguk. Mengerti dan paham dengan maksud Ammar.
"Kalau mas sendiri, apa mas sudah buat keputusan?"
"Aku sudah buat keputusan sekarang!"
"Apa itu mas?"
"Aku akan menikahimu, sesuai permintaan Wina!"
Kinan mendadak memberhentikan langkahnya. Ia mematung. Ia pikir Ammar akan menolak permintaan Wina dan membebaskannya dari rasa balas budi. Tapi kini Kinan tahu bahwa Ammar tidak mungkin mengecewakan Wina dengan menolak keinginan terakhirnya. Kinan merasa inilah titik balik dari semua impiannya yang harus dikuburnya dalam-dalam.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
Nusa thotz
sidang meja hijau? koq sidang thesis di samain sidang kriminal ya....???
2025-02-24
0
???
hmmm.. secepat itukah 😑
2022-10-04
1
meimei
hmmmmm.....aq tuh nyimak y Thor...😊😊😊
2021-12-01
2