Rara duduk di tepi ranjang, masih mengenakan piyamanya di balik selimut. Bibirnya terasa bengkak dan ada setitik bercak kemerahan akibat ciuman nakal suaminya. Manik gadis itu menatap lurus ke depan dengan nyalang. Mencoba menyadarkan dirinya akan perbuatan Bara padanya.
Pria itu menciumnya? Hah. Tidak mungkin. Dan lagi, itu adalah ciuman pertamanya, Bara dengan lancang mencurinya.
Lidahnya terjulur mencecap bibirnya yang masih terasa basah. Semerbak harum vanila bercampur mint seketika menyeruak memenuhi penciumannya. Ini sangat memabukkan, aroma pria itu kini menempel di tubuhnya.
****
Setelah mandi, Rara sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Hari ini dia akan tetap sekolah, meski hari ini adalah hari pertama pernikahannya. Karena Bara pun melakukan hal yang sama.
Ketika melewati koridor rumah, tak sengaja Rara mendengar suara pecahan dari arah kamar tidur Derri dan Davina. Rara ingin mengabaikannya, karena sekali pun Rara tidak pernah memasuki kamar Ayah dan Ibu tirinya itu. Tetapi hatinya tidak tenang, mungkin saja sesuatu terjadi di dalam sana.
Rara akhirnya mengetuk pintu kamar dan tidak ingin lancang langsung masuk, tetapi tidak ada jawaban dari dalam sana.
"Ayah?" panggil Rara, tapi masih belum ada jawaban. Beberapa saat Rara menunggu, tetap saja tidak ada jawaban. Dengan memberanikan dirinya Rara memutar kenop pintu.
Setengah tubuhnya mengintip ke dalam kamar, Rara seketika panik, melihat Davina yang hampir jatuh dari tempat tidur, padahal di lantai ada banyak beling.
"Ibu..." Rara dengan cepat menghampiri Davina, membantu wanita itu duduk di ranjang.
"Ibu tidak apa-apa?" Rara mencoba menyentuh Vina yang terlihat pucat, namun Vina segera menepisnya.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" sentak Vina.
Rara sudah tidak terkejut lagi mendapat perlakuan seperti ini. "Tapi Ibu, Ibu terlihat pucat..."
"Pergi! Jangan bersikap seolah-olah kau peduli padaku!"
"Tapi...."
"Aku bilang keluar! Keluar!"
"Ba..baik Ibu." mau tidak mau Rara keluar dari kamar itu. Padahal dia khawatir melihat Vina terlihat pucat, dan suhu tubuhnya terasa panas saat membantunya tadi.
Sebelum benar-benar berangkat sekolah, sebelumnya Rara meminta seorang pelayan untuk membersihkan pecahan kaca di kamar Davina dan memanggilkan dokter untuk Davina.
Sedangkan Davina, setelah sepeninggal Rara, menatap dengan nyalang ke arah pintu yang barusan tertutup. Bahkan dia masih dengan jelas mendengar Rara berbicara dengan pelayan untuk mengurus dirinya.
Perasaannya campur aduk. Kebencian, penyesalan dan rasa bersalah yang teramat dalam menyeruak dalam hatinya. Davina sungguh tidak mengerti dengan perasaannya ini.
***
Di sekolah Rara menjalani aktivitasnya dengan damai. Kini Mic sudah tidak pernah mendekatinya lagi sejak kejadian malam itu, Rara tidak tau kenapa. Dan sekarang Rara berteman dengan Jessie dan beberapa teman sekelas lainnya. Tapi hanya Jessie yang terlihat lebih akrab dengannya.
"Mic tidak pernah datang lagi?" tanya Jessie datang menghampiri meja Rara.
Rara mengangguk, "Iya. Aku tidak tau kenapa dia tiba-tiba menjauh."
Jessi melihat kotak bekal yang diambil Rara dari lacinya. "Dave lagi?"
Rara mengangguk. Dari semua temannya, hanya Jessie yang tau orang misterius yang selalu menjaganya dari jauh.
"Kau tidak takut?"
"Kenapa harus takut?"
"Kau tidak tau Dave itu siapa, dan dia juga seperti tau apa saja yang kau lakukan setiap hari. Kau tidak takut jika ternyata Dave itu adalah orang jahat?" cecar Jessie.
"Kalau Dave orang jahat, harusnya sudah dari dulu dia melakukannya. Tetapi lihatlah, sudah bertahun-tahun dia tidak berbuat apa-apa. Malah aku senang, dulu saat aku sering mendapat penindasan di sekolah lamaku, hanya Dave yang menyemangatiku. Jika bukan karenanya, mungkin sekarang kau tidak akan melihatku lagi."
Jessie terharu, "Apakah Dave sangat berarti bagimu?"
"Sangat... aku ingin sekali bertemu dengannya." ujarnya penuh harap.
Jessie tersenyum, "Apa yang akan kau lakukan jika suatu saat nanti kau bertemu dengan Dave?"
Rara berpikir sejenak, lalu sedetik kemudian senyum malu-malu muncul di wajahnya.
"Aku ingin menikahinya...."
"Really? Kau jatuh cinta padan Dave?" Rara mengangguk. "Tapi kau bahkan tidak pernah melihat wajahnya?" Jessie masih tidak habis pikir dengan teman barunya ini. "Bagaimana kalau ternyata dia itu buruk rupa, atau punya kecacatan lain?"
"Aku tidak peduli. Aku mencintai seseorang bukan karena fisiknya maupun hartanya. Tetapi karena ketulusan hatinya. Dan Dave, aku bisa merasakan ketulusannya setiap membaca surat-surat darinya." ujar Rara.
Jessie menutup mulutnya, dia takjub akan temannya yang satu ini. Belum pernah dia menemukan manusia seperti Rara di jaman ini.
"Rara, aku tidak tau bagaimana harus mengatakannya. Tetapi percayalah, aku akan selalu berdoa, semoga kau dan Dave bisa bertemu."
"Terima kasih Jessie."
***
Setelah selesai makan malam, Rara masuk ke dalam kamarnya. Rara tetap berusaha kuat menghadapi Dena yang selama makan selalu saja mencelanya. Ada saja hal yang membuatnya terus menyumpah serapah dirinya.
Bara belum pulang, itu artinya dia bisa bebas melakukan apa saja di kamar ini. Setelah belajar sebentar, Rara menonton televisi. Sedikit bersantai, jauh dari keributan.
Namun tidak lama kemudian, pintu kamar terbuka, Bara muncul dengan wajah dinginnya, selalu saja seperti itu.
Melihat wajah pria itu, seketika ingatannya dipenuhi dengan ciuman panas tadi pagi. Rara mengalihkan pandangannya ketika Bara menatapnya dengan datar. Akhirnya dia memilih mematikan televisi kemudian menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut.
Bara melihat tingkah istri kecilnya, semakin menggelap. Beraninya anak kecil ini mengabaikan dirinya.
"Hei kau!" sentak Bara, menarik selimut yang menutupi tubuh mungil itu dengan paksa. "Berani sekali kau mengabaikanku!"
"A...ada apa Kak. Aku mengantuk." tentu Rara ketakutan melihat Bara saat ini.
"Kau sudah melupakan statusmu? Berani sekali kau langsung tidur saat suamimu pulang?!" bentaknya.
"Ma...maaf Kak."
"Ck. Sudahlah!" berjalan menuju sofa. "Kemari!"
Dengan terpaksa Rara mendekat, dan berdiri di depan Bara yang sudah berselonjor di atas sofa.
"Ada yang bisa Rara bantu Kak?"
Bara menyeringai, lalu memanjangkan kakinya tepat di dekat kaki Rara, "Aku sangat lelah, cepat bukakan sepatuku!"
"A..apa?" Rara membelalakkan matanya. Pria ini benar-benar. "Ta...tapi Kak, aku tidak bisa..."
"Kau menolak?! Sekarang kau sudah menjadi istriku, mau tidak mau, suka tidak suka, kau harus menuruti perintahku!" ujar Bara dengan sarkas.
"Tapi Kak, bagaimana mungkin..." Rara hampir menangis, "Ba..baik Kak, aku akan melakukannya." Rara menurut ketika wajah Bara sudah mulai menggelap.
Dengan perlahan gadis itu berjongkok dan meraih kaki panjang milik suaminya. Kemudian membuka sepatu pria itu satu persatu. Maniknya berair, sungguh Bara sudah mempermainkan dirinya. Kenapa pria itu tega berbuat seperti ini padanya. Bahkan pelayan saja tidak melakukan pekerjaan seperti ini.
***
JANGAN LUPA LIKE DAN VOTENYA YAAA SAMA GIFT NYA JUGA BIAR OTHOR OLENG SEMANGAT UPDATE NYA
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Maria Magdalena
sedihnya ngeliat nasib rara knp ga ngelawan ya
2025-02-14
0
Mamonto Novita
Tidak apa2 Rara, jadilah seperti Melur yang selalu setia membukakan sepatunya Firdaus setiap pulang kerja 😁😅
2022-06-30
0
Muh. Yahya Adiputra
jangan kejam2 amat donk bara, entar rara jadi benci sama kamu.
2021-11-18
0