Rara membuka matanya dengan paksa ketika selimut yang menutupi tubuh ringkihnya ditarik dengan kasar. Seketika maniknya menangkap dua orang wanita yang amat dikenalnya. Dalam hitungan detik tubuhnya bergetar hebat menahan rasa takut melihat wajah yang selalu dipenuhi dengan kebencian setiap mereka melihatnya.
Nesya mematung memandangi kedua gadis itu. Apakah dia bermimpi? Tapi kenapa mereka terlihat nyata? Tidak. Ini bukan mimpi. Mereka benar-benar nyata, dia sudah berada di rumah ayahnya.
"Ka...kak...?"
"Heh bangun, anak haram!" Sebuah bentakan menyadarkan Rara.
"Kak...kak Dena.." lirih Rara begitu terkejut, melihat kedua gadis di hadapannya. Seketika tubuhnya mundur, karena rasa takut pada mereka. Bayangan siksaan dari mereka seketika berputar bagaikan klise film di dalam benaknya.
"Tutup mulutmu! Kami bukan kakakmu." Bentak Safira, menatap tajam pada Rara.
Rara pun menurut, ketakutan setengah mati pada dua wanita yang selalu menyiksanya selama belasan tahun.
"Dasar anak haram!" Desis Dena, menatap Rara dengan jijik.
Deg
Hati Rara bergemuruh hebat, ketika kata-kata itu terucap dari bibir Dena.
Anak haram
Kata-kata yang selalu membayangi dirinya, dimana pun dia berada. Di rumah ini, bahkan di sekolah pun, mereka selalu memanggilnya begitu. 'Anak haram'
"Aku tidak menyangka kau akan kembali ke rumah ini." Adena tersenyum sinis.
"Lihat saja Rara, kami akan membuatmu semakin menderita di sini. Bahkan lebih parah dari beberapa tahun lalu. Kami akan membuat dirimu bernasib sama seperti ibumu." Safira melirik Adena, dengan senyum lebar.
"Mati karena kehilangan kewarasannya..." Ucap kedua gadis itu bersamaan yang diakhiri dengan tawa.
Rara menundukkan kepalanya, mendengar ibunya kembali dihina, tanpa berani melawan. Selalu saja seperti ini, tidak dapat melawan ketika saudari tirinya menghina dan menyiksa dirinya. Dirinya lemah ketika berhadapan dengan mereka.
"Pelayan.." dalam satu panggilan, pelayan yang berada di belakang mereka datang menghadap.
"Seret anak haram ini dari sini, dia tidak pantas tinggal di kamar ini." Perintah Dena pada dua orang pelayan itu.
"Baik Nona."
Kedua pelayan itu mendekati Rara. Memegang masing-masing kedua lengan Rara.
Tapi Rara langsung menepis, "Lepaskan aku. Aku tidak mau." Tubuh Rara merosot ke belakang.
Safira berdecak kesal, "Jangan sekali-kali kau melawan anak haram. Kalau tidak mau kami hukum saat ini juga!" Mencengkeram dagu Rara dengan kuku tajamnya.
Rara menangis, matanya menatap Safira penuh iba, berharap mereka akan kasihan padanya.
"Jangan menatapku seperti itu sial*n! Kau pikir aku akan bermurah hati padamu. Tidak akan!" Menghembuskan wajah Rara dengan keras. Dagunya mengeluarkan darah, akibat tusukan dari kuku tajam Safira.
"Pelayan, cepat seret anak tidak tau diri ini!" Perintahnya lagi.
Saat pelayan itu akan menyeret Rara, Rara meronta lagi. "Lepas! Aku tidak mau!"
"Ck." Desis Dena, dari tadi dia hanya menonton penolakannya akhirnya turun tangan. Dena mendekati Rara, mengayunkan tangannya, hendak mendarat di wajah Rara.
Tapi sayang, tangan Dena berhenti ketika sebuah tangan kekar mencekal tangannya.
"Kak Bara?" Ujar Dena tidak suka akan apa yang Bara lakukan.
"Lepaskan!" Perintah Bara.
"Kenapa Kakak menahanku? Anak haram ini perlu diberi pelajaran!" Desis Dena tidak suka.
"Kalian semua keluarlah!" Perintah Bara.
"Kak Bara!" Protes kedua gadis jahat itu.
"Aku bilang keluar! Biarkan aku menyiksanya dengan caraku sendiri!" Ujar Bara. Safira dan Dena mau tidak mau, terpaksa keluar dari kamar itu, yang diikuti oleh pelayan.
Keduanya menatap Rara dengan tajam, sebelum akhirnya meninggalkan kamar itu.
Sekarang tinggallah hanya mereka berdua di kamar itu. Bara menatap Rara yang menundukkan kepalanya, dengan nafas masih memburu.
"Kakak..." cicit gadis itu. Pun ketakutannya pada pria ini masih sama seperti dulu. Karena Bara sama kejamnya dengan saudara tirinya.
"Apakah yang kau bisa hanya menangis?" suara bariton itu menyentaknya. Rara dengan cepat menghentikan tangisnya karena tatapan tajam itu selalu ingin menerkamnya.
"Kau harus terima jika mereka memperlakukanmu seperti itu. Karena itu tidak seberapa dengan apa yang telah kau lakukan pada anak Paman Ansell!"
"Nikmati saja penderitaanmu karena kau pantas mendapatkannya!" sentak Bara kemudian berlalu dari kamar itu. Meninggalkan Rara yang penuh keheranan melihat sikapnya.
Hanya itu saja? Rara tidak percaya ini. Tidak mungkin Bara hanya menyentaknya seperti tadi tanpa ada penyiksaan yang berarti? Dulu setiap dirinya membuat kesalahan Bara pasti akan menghukumnya dengan melakukan apa saja yang tidak mampu dia lakukan. Dan tadi, pria itu membiarkannya?
Rara mengusap air matanya dengan sesenggukan. Entah kapan penderitaan ini akan berakhir. Kapan kebahagiaan akan menghampirinya. Apakah dirinya akan selalu seperti ini? Hidup bersama orang-orang yang selalu menyakitinya?
***
Rara menuruni tangga dengan dua orang pelayan wanita mengekorinya. Kini tampilannya sudah terlihat rapi dengan dress berwarna peach sepanjang betisnya. Tidak seperti tadi, baju yang sudah berhari-hari dipakai dan rambutnya yang berantakan.
Pelayan membawanya ke ruang makan, dimana seluruh anggota keluarga sudah berkumpul.
Rara berhenti tidak jauh dari meja makan, dia ragu untuk mendekati orang-orang yang selalu membencinya.
"Rara." panggilan lembut yang berasal dari sang ayah. Derri bangkit menghampiri putri bungsunya. "Kemari Nak." menuntun Rara duduk di sebelahnya.
Saat itu juga Rara mendapat tatapan penuh kebencian dari mereka.
"Kita makan bersama ya." Derri melayani Rara, mengambilkan makanan karena melihatnya masih ketakutan akan tatapan tajam itu.
"Makanlah." mengusap kepala Rara penuh rasa bersalah.
Belum juga Rara memakan makanannya, suara dentingan alat maka memekakkan telinga.
"Dena berangkat Bu." pamit Dena dengan wajah tidak enak dipandang. Gadis yang bekerja di perusahaan keluarganya itu berdiri lalu pergi setelah menatap tajam pada Rara.
"Safira juga berangkat Bu." melirik Rara, "Merusak suasana saja." mengikuti Kakaknya pergi dari sana.
Hal yang sama terjadi, Davina meletakan alat makannya dengan kasar. Tanpa berucap apa-apa pergi meninggalkan meja makan.
Derri menatap kepergian anak dan istrinya dengan resah. Nafasnya berhembus kasar, tidak tau lagi bagaimana cara membuat mereka bisa menerima Rara.
Derri menatap Rara dengan sendu, dia bisa melihat wajah ketakutan itu.
"Tidak usah hiraukan Nak. Ayo lanjutkan makannya." mengusap lembut kepala Rara.
Rara mengangguk samar. Sebenarnya ada rasa haru di hatinya melihat bagaimana Derri melindunginya. Rara bisa ingat jelas bagaimana dulu Derri tidak bisa melindunginya dari saudara dan ibu tirinya.
Rara belum bisa lega setelah kepergian tiga wanita tadi. Masih ada Bara yang duduk di hadapannya menatap dirinya dengan dingin. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mata pria itu.
Beberapa menit kemudian, di tengah mereka menikmati sarapan, Derri pergi karena seseorang menghubunginya.
"Ayah berangkat ya Nak." pamit pria itu.
Rara tersenyum manis, "Iya Ayah. Hati-hati di jalan."
"Hmm baik-baik di rumah ya." tanpa Rara sangka Derri mencium keningnya. Rara terpaku, air matanya hampir menetes. Tidak pernah sekalipun Rara merasakan seperti saat ini. Dan inilah pertama kalinya.
Derri pergi, dan kini Rara kembali ketakutan karena Bara masih ada di sana.
"Puas membuat keluarga ini hancur?!" ucap Bara dingin. Rara mematung sebab tidak tau harus mengatakan apa. Ketakutannya sudah mendominasi dirinya.
"Dasar tidak tau malu!" sentaknya kemudian pergi meninggalkan Rara sendirian di sana.
TBC ☘️☘️☘️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Yohana Woleka
Sebenarnya Bara bisa mulai berpikir logis,sebab Rara tak bersalah dan iapun tidak pernah melawan,baiknya sekarang bapaknya mulai mengekang anak2 dan istrinya untuk berpikir lebih bijaksana.Masa mereka bisa hidup menjahati Rara seterusnya.
2023-07-17
1
Shuhairi Nafsir
Aku sangat benci banget dengan cerita kalau peranan utamanya wanita yg bodoh lagi lemah.
2023-01-15
1
Juan Sastra
lah kan bara sendiri yg jemput raradr bui..kok di salahkan.
2022-06-08
0