Revan melangkahkan kakinya begitu pelan mendekati tempat tidur, sesekali ia akan menelan kasar salivanya saat semakin dekat pada tempat tidur kecil itu.
Seketika Revan menghentikan langkahnya di samping tempat tidur, menatap sayu pada wajah wanita yang tengah terlelap itu.
Ia sedikit menundukkan kepalanya, mengulurkan tangannya menyentuh wajah cantik Rania yang tengah terlelap.
Nafas Revan semakin berat, tanpa ingin menunggu lagi ia segera mendaratkan bibirnya pada bibir Rania, mengecap bibir atas dan bawah Rania bergantian sambil membuka jas yang melekat di tubuhnya. Perlahan naik ke atas tubuh Rania tanpa melepas pangutannya di bibir wanita itu.
Rania terganggu dari tidur nyenyaknya saat merasakan sesuatu menghisap kuat bibirnya. Seketika wanita itu membuka matanya saat menyadari keanehan tersebut, matanya terbelalak mendapati seonggok manusia tak tahu malu tengah menindihnya sambil berusaha mencari kenikmatan dari bibirnya.
"Emhp ...." Rania berusaha melepaskan diri, mengelengkan kepalanya agar pangutan itu terlepas, dengan susah payah mendorong dada bidang Revan agar menyingkir dari atas tubuhnya.
Namun, sekuat apapun ia berusaha, hal yang ia lakukan tidak berefek pada pria mabuk di atasnya itu. Malah tindakan Revan semakin kasar dan ganas.
'Ya Tuhan, tolong!' batin Rania, gulir bening mulai membasahi pipinya. Mulai meratapi lagi nasibnya yang mungkin akan berakhir seperti malam itu, dinodai oleh pria yang sama dalam keadaan mabuk.
Dengan kasar tangan Revan mencekal kedua tangan Rania ke atas kepala, terasa begitu menganggu aktifitas yang ia lakukan.
"Tenanglah, Baby. Diam dan nikmati saja, aku akan memuaskanmu," ucap Revan dengan suara serak nan berat, kembali menundukkan kepala mencium leher jenjang Rania yang terekspos.
Tangis Rania semakin pecah, ia ingin berteriak keras meminta bantuan. Tapi Revan sudah lebih dulu membungkam bibir wanita itu dengan tangannya.
Rania hanya mampu menangis dalam diam lagi, tenaganya telah habis dengan pemberontakan yang ia lakukan. Ia hanya pasrah saat dengan kasar Revan merobek baju kaos yang ia gunakan, memperlihatkan dadanya yang tidak terbungkus apapun. Lantaran Rania selalu melepaskan bra saat ingin tidur.
Tubuh Rania bergetar saat Revan dengan lancangnya bermain di dadanya, menghisap dengan kasar dan meninggalkan tanda kepemilikannya di sana.
'Ibu, ayah, maafin Rania.' hanya itu yang terus Rania rafalkan dalam hati, berharap agar hal gila yang Revan lakukan segera terhenti.
"Emmp!" Rania teriak tertahan kala pelepasannya datang, wanita itu mencoba mengatur deru nafasnya yang tidak beraturan karena pelepasan dahsyat tersebut.
Sedang Revan yang sudah tidak tahan, segera turun dari tempat tidur dan melepas semua pakaian yang melekat di tubuhnya.
Rania yang melihat hal itu, berniat untuk beranjak dan tempat tidur. Namun niatnya terhenti karena Revan yang sudah lebih dulu menindihnya, membuka lebar kedua kaki Rania dan siap untuk melakukan kegiatan panas seperti malam itu.
Kedua insan itu mendesah saat penyatuan mereka, Revan mulai mengerakkan tubuhnya dengan pelan hingga perlahan-lahan cepat di atas Rania. Mencari kenikmatan yang ia inginkan dari tubuh wanita di bawahnya itu.
Rania hanya bisa diam sambil membekap mulutnya sendiri, menahan desahan yang ingin ia keluarkan.
Cukup lama berpacu, akhirnya Revan mencapai puncaknya bersamaan dengan Rania.
Tubuh polos Revan jatuh ke atas tubuh Rania, berusaha mengatur deru nafasnya yang memburu karena kegiatan panas beberapa detik yang lalu.
Revan sedikit menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Rania, menatap dalam sosok wanita yang kini hanya memejamkan mata dengan tangisan tertahan.
"Thanks, baby. Kamu benar-benar nikmat," ucap Revan lalu mendaratkan bibirnya di kening Rania, beralih menjatuhkan tubuhnya ke samping dan menarik Rania ke dalam dekapannya.
Deru nafas teratur terdengar, menandakan jika Revan telah tertidur pulas. Berbeda dengan Rania yang masih menangis sesenggukan tanpa suara, kejadian malam itu benar-benar terulang kembali pada dirinya. Tanpa bisa melawan dan hanya pasrah.
'Aku bodoh! Aku benci diriku sendiri!' batin Rania dengan suara tangis yang tertahan, hingga tanpa sadar ia tertidur dalam pelukan Revan.
Pukul setengah lima, Revan mengerjapkan matanya beberapa kali. Merasa sedikit pegal dengan posisi tidurnya yang miring hingga subuh, tak berubah sedikitpun.
Pria itu terkejut, matanya terbelalak melihat wajah ayu yang tengah tertidur di dekapannya.
'A-apa yang aku lakukan?' batin Revan bertanya-tanya, seketika ia mendudukkan diri di atas tempat tidur dengan berjuta bayangan kejadian semalam terlintas di benaknya.
"Shit!" Umpat Revan, mengigit bibirnya lalu menoleh menatap wajah Rania yang masih terlelap.
Revan segera turun dari tempat tidur kecil itu, memunguti satu persatu pakaiannya dan memakainya. Setelah selesai memakai kemeja dan celana kainnya, Revan bergegas mendekati pintu kamar untuk keluar sebelum ada pelayan yang melihatnya.
Revan menghentikan langkahnya di depan pintu, menoleh ke belakang menatap Rania lalu meraih gagang pintu dan keluar tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Tepat pukul enam pagi, Rania terbangun dari tidurnya. Saat membuka mata, seketika ia teringat akan kejadian semalam membuat air mata membasahi pipinya dan mulai terisak tanpa suara.
'Aku kotor! Sangat kotor!' batin Rania berteriak keras, melimpahkan semua rasa sakit hati dan tubuhnya pada air mata yang kini membasahi pipinya begitu deras.
Sekitar tiga puluh menit menangis, Rania pun beranjak dari tempat tidur mendekati pintu kamar mandi. Membersihkan diri dan menguatkan dirinya sendiri untuk menerima kenyataan pahit yang menimpanya dua kali dengan orang yang sama.
Waktu bergulir begitu cepat, tidak terasa sudah berlalu sejak kejadian pemerkosaan kedua malam itu.
Rania mulai beraktivitas dengan tenang selama sebulan ini, lantaran tak melihat batang hidung dari pemilik mansion tersebut. Katanya, Sang Tuan Muda begitu sibuk mengurus perusahaan, atau berpura-pura sibuk untuk menghindari perjodohan yang telah disiapkan oleh ayahnya.
Rania hanya mengedikkan bahu acuh mendengar semua berita itu, ia malah merasa lebih tenang menjalani hari-harinya tanpa melihat sosok Revan. Di tambah lagi Rara telah kembali tepat dua hari sejak kejadian itu, membuat Rania senang karena sahabatnya yang ia rindukan telah datang.
Dan selama sebulan pula, setiap Rania keluar untuk berbelanja ke pasar. Ia pasti akan selalu bertemu dengan Dave yang seolah-olah memang menunggunya di pasar sana. Mereka semakin dekat, dan Rania mulai mengganggap Dave sebagai temannya. Tanpa tahu jika pria itu menyimpan perasaan lain untuknya.
Kini terlihat Rania menghela nafas pelan, memijit pangkal hidungnya sambil mengelengkan kepalanya yang sedikit pusing. Sudah beberapa hari ia merasa kurang fit, tapi tetap memaksakan diri untuk bekerja. Meski Bi Susi maupun Rara mengatakan padanya untuk beristirahat, tapi Rania keras kepala dan tetap bekerja.
"RANIA!"
Wanita itu tersentak kala mendengar suara teriakan, ia menoleh dan mendapati Vina berjalan ke arahnya dengan wajah memerah.
"I-I-iya, kak?" Ucap Rania dengan suara bergetar.
"Kamu ngapain di sini terus, bersihin lantai atas juga!" Seru Vina dengan nada memerintahnya.
Rania memejamkan matanya lalu mengangguk mengerti, bergegas mendekati tangga untuk naik ke lantai dua. Tapi langkahnya terhenti di anak tangga pertama, memegang kepalanya yang terasa begitu pusing.
Vina yang melihat Rania hanya diam, mengepalkan tangannya kesal. Berjalan cepat menghampiri wanita itu dan dengan kasar menarik baju Rania ke belakang, hingga tubuh wanita itu jatuh ke lantai.
"AKH!" teriak Rania, begitu kesakitan saat terjatuh ke lantai dengan posisi duduk akibat ulah Vina.
"Sa-sakit," ucap lirih Rania sambil menahan sakit yang begitu menyiksa.
Bola mata Vina melotot saat melihat darah di lantai, seketika ia menatap Rania.
Semua pelayan yang mendengar suara teriakan itu, bergegas menghampiri sumber suara. Mereka terkejut mendapati Rania yang terduduk di lantai sambil memegang perutnya, tak lupa darah yang membasahi lantai marmer mansion itu.
"Rania!" Teriak Rara dan Bi Susi bergegas menghampiri Rania dan memanggil sopir yang selalu mengantar mereka berbelanja ke pasar untuk segera menggendong dan membawa Rania ke rumah sakit.
Selama perjalanan, Rania tak henti-hentinya merintih kesakitan membuat Rara yang duduk di sampingnya merasakan khawatir yang teramat sangat. Apalagi melihat darat yang mengalir di kaki jenjang Rania.
Setibanya di depan rumah sakit, sang sopir segera mengendong tubuh Rania memasuki rumah sakit, memanggil perawat untuk segera membawa brankar dan mendorong tubuh Rania ke ruang gawat darurat.
Tidak lama kemudian, tiga orang itu menanti dengan cepat di depan pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat. Menanti dokter keluar dari sana.
'Semoga tidak terjadi apa-apa pada Rania, Tuhan,' batin Rara berdoa, segera menoleh saat pintu ruangan terbuka. Ia dan Bi Susi segera mengenali dokter wanita itu.
"Bagaimana keadaannya Dokter? Dia baik-baik saja, kan?"
Dokter terlihat menghela nafas pelan sambil menggelengkan kepalanya.
"Dia baik-baik saja. Untungnya tidak terjadi hal yang buruk pada janin di dalam perutnya," jelas Dokter itu sambil menggeleng pelan.
"Apa? Janin? Rania hamil, Dok?" Tanya Rara yang begitu terkejut mendengar pernyataan Dokter si hadapannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Wita Arym
Msii ajaa ttp tggl di stu bkn lasung aj tingali tu rumah
2021-12-13
0
Nurtami Amtiran
kasian rania
2021-09-15
0
Yunia Abdullah
dah DPT nikmat s rania baru blng kotor lah bodoh lah pdhl dah d sruh prgi mlah diem az emng dsar y SM az SM s revan nyebelin
2021-08-31
0