Dave mendudukkan diri di atas sofa, mengabaikan tatapan aneh dua sahabatnya.
"Untuk apa kamu menginap di mansionku? Lagipula aku tidak akan pulang malam ini ke mansion," jelas Revan, menolak mentah-mentah ucapan Dave.
Dave berdecak kesal, menatap malas sahabatnya.
"Ayolah, Van. Aku juga baru menginap sekali di mansionmu, kan? Jadi apa salahnya," Dave menatap Revan dengan penuh permohonan. Berharap sahabatnya itu akan luluh.
"Kamu jatuh miskin?" Celetuk Rangga tanpa filter.
"Hah? Tidak, tuh." elak Dave.
"Lalu, kenapa kamu ingin menginap di mansion Revan?" Tanya Rangga penuh selidik, beralih menatap Revan, "Di Mansionmu ada janda?"
Revan menatap aneh pada Rangga, sedang Dave memiringkan kepalanya. Kenapa tiba-tiba sahabatnya yang kadang gila itu bertanya tentang janda pada Revan.
"Tidak ada," jawab singkat Revan. Seingatnya tidak ada sama sekali, kecuali Bi Susi.
Kini Revan yang menoleh dan menatap Dave penuh selidik. Apakah Dave tengah mengincar Bi Susi? Kepala pelayan di mansionnya.
Kelopak mata Dave berkedut mendapati tatapan aneh kedua sahabatnya.
"Hal apa yang tengah kalian fikirkan, sialan!" Teriak kesal Dave, seolah ingin memberikan pukulan kuat pada dua sahabat sialannya itu.
"Kamu ingin pdkt dengan Bi Susi?" Tanya Revan, ketularan sifat gila pria di sampingnya.
Seketika Rangga menoleh menatap Revan, "Bi Susi janda?" Tanya Rangga diangguki oleh Revan.
"Ya, tapi bukankah bagus jika kamu mencari orang lain saja. Bi Susi pernah bilang, jika dia sudah tidak ingin meni ...."
"Yang ingin pdkt dengan Bi Susi siapa, Bambang?!" Teriakan kekesalan Dave kembali terdengar. Sungguh, jika tidak berdosa maka Dave ingin membunuh dua sahabatnya itu.
"Heh! Yang benar? Jadi untuk apa kamu menginap di Mansion Revan tanpa tujuan dan maksud terselubung?" Kini Rangga yang bertanya dengan tatapan intimidasi.
Benar, Dave bukanlah orang yang ingin melakukan sesuatu tanpa tujuan. Rangga dan Revan mengetahui hal itu.
Tiba-tiba Revan terdiam, ia teringat akan sosok wanita yang baru bekerja di mansionnya seminggu yang lalu.
'Apakah tujuan Dave menginap adalah wanita itu?' batin Revan, mendadak timbul perasaan kesal dan tidak suka di hatinya.
'Tapi kapan mereka bertemu?' batin Revan, menghela nafas pelan hingga menarik perhatian Rangga yang berdiri di sampingnya.
Kedua tangan Revan yang terkepal, perlahan-lahan terbuka lalu fokus menatap Dave.
"Baiklah," ucap Revan, kembali dengan sifat dingin tak tersentuhnya.
Dave menoleh dengan binar senang di matanya, langkah pertama berhasil. Dave bersorak dalam hati.
"Terima kasih, Dave. Kamu yang terbaik," puji Dave karena keinginan terkabulkan.
Rangga berdecak, melipat kedua tangannya di dada sambil menggelengkan kepalanya.
"Dasar, bahkan banyak perawan yang menganggur di luar sana dan kamu malah memilih janda seperti Bi Susi," ucap Rangga sambil menggelengkan kepalanya dengan mata terpejam.
Sebuah bantal sofa melayang hingga tepat mengenai wajah Rangga, membuat tubuh pria itu mundur beberapa langkah karena terkejut.
"Sialan! Untung aku enggak ada riwayat penyakit jantung," keluh Rangga sembari berjongkok mengambil bantal sofa dan membuangnya kembali ke arah Dave.
Dave menghindar hingga bantal sofa yang dibuang oleh Rangga mendarat sempurna di sampingnya.
"Kalau begitu, aku pamit duluan, Van. Harus mengerjakan beberapa hal sebelum ke Mansionmu sore nanti," Dave berbalik sambil melambaikan tangannya pada Revan dan Rangga, menghilang dari balik pintu ruang kebesaran Revan.
Kini hanya tinggal Revan dan Rangga di dalam ruangan itu, hingga keduanya menoleh dan saling menatap satu sama lain.
Rangga terkejut saat tiba-tiba Revan menarik kerah kemeja hitam yang ia kenakan, mengeluarkan dari ruangan tersebut lalu menutup pintu dengan keras.
BRAK!
Rangga memejamkan matanya kala pintu ditutup dengan kasar oleh Revan, membuat ia menghela nafas kasar sebelum memutuskan untuk mendekati lift.
Revan menghela nafas lega, mendudukkan diri kembali di kursi kebesarannya. Menyandarkan punggungnya pada punggung kursi sambil memejamkan mata.
Tiba-tiba bayangan tentang Rania melintas di benaknya, dan juga dengan niat terselubung sahabatnya yang entah apa, membuat Revan tidak tenang.
Revan memutuskan meraih ponsel berlogo Apple di atas meja, menelfon nomor Mansion dan menanti seseorang mengangkat telfonnya.
Tidak lama berdering, akhirnya seseorang mengangkat telfon darinya. Saat Revan berniat untuk membuka suara, sebuah suara sudah lebih dulu menyapa di seberang telfon.
"Halo."
Revan menelan kasar salivanya, suaranya seolah tercekat di tenggorokan. Dengan cepat Revan memutuskan panggilan sepihak, meletakkan kasar benda pipih itu di atas meja, mencoba mengatur deru nafasnya yang tidak beraturan.
'Sial!' batin Revan mengumpat, melonggarkan sedikit dasi di lehernya yang terasa mencekiknya.
***
Rania mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap telfon di tangannya. Di mana beberapa detik yang lalu, seseorang menelfon lalu memutuskan panggilan tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Aneh," guman Rania, meletakkan kembali telfon rumah di tangannya perlahan pada tempatnya.
"Hey!"
Rania tersentak, seketika menoleh menatap Vina yang berdiri tidak jauh darinya. Segera ia berlari kecil menghampiri wanita itu.
"I-I-iya, kak?" Tanya Rania saat tiba di depan Vina, sedikit menundukkan kepalanya menatap lantai.
"Pekerjaan kamu itu belum selesai, tau ngga?! Sana selesaiin, jangan istirahat sebelum pekerjaan kamu selesai. Paham!" Rania mengangukkan kepalanya, segera berlalu dari hadapan Vina untuk mengerjakan tugasnya.
Vina menatap punggung Rania yang perlahan-lahan menghilang dari pandangannya, 'Ini masih permulaan. Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang, Rania!' batin Vina penuh kebencian.
Rania terus mengerjakan semua pekerjaan yang Vina berikan padanya. Bahkan hal yang seharusnya bukan kerjaannya, dilimpahkan pula padanya.
"Rania," wanita itu menoleh, mendapati Bi Susi yang kini berjalan menghampirinya.
"Istirahat dulu, Nak. Kamu udah dari tadi kerja terus enggak istirahat, nanti pingsan lagi, loh." ucap Bi Susi, menatap sedih pada Rania.
Ia tahu, jika hal yang tengah dikerjakan oleh Rania harusnya telah selesai dari tadi.
"Ini bukan pekerjaan kamu, Nak. Seharusnya kamu istirahat sekarang ini," nasehat Bi Susi, berniat mengambil sapu di tangan Rania.
"Tidak apa-apa, Bi. Selesai ngerjain ini, Rania istirahat," ucapnya, tetap kekeh menyapu ruang tamu hingga selesai sebelum beristirahat.
Bi Susi menghela nafas pelan, keras kepala Rania mengingatkannya pada salah satu putranya di kampung.
"Tapi, Nak ...."
"Biarin aja kali, Bi. Toh, Rania tetap kekeh mau ngerjainnya jadi biarin aja dia selesaiin semuanya."
Bi Susi menoleh ke belakang, menatap tidak suka pada Vina. Wanita yang satu itu sudah bertingkah melebihi batasnya.
"Yang kepala pelayan di sini, saya atau kamu! Harusnya kamu yang ngerjain ini, kenapa malah kasih ke Rania!" Tegas Bi Susi membuat Vina mengepalkan tangannya.
"E-enggak apa-apa, Bi. Aku akan ngerjain ini," ucap Rania lalu melanjutkan pekerjaannya.
Bi Susi mengalah, menghela nafas pelan sebelum pergi dari ruang tamu untuk memeriksa dapur.
Begitupun dengan Vina yang memutuskan meninggalkan Rania sendiri di ruang tamu, melihat wajah Rania membuatnya kesal.
Tiga puluh menit kemudian, Rania selesai mengerjakan semua pekerjaannya. Menyeka keringat di keningnya dan bersiap untuk masuk ke dapur, menaruh sapu yang ia gunakan sekaligus beristirahat.
Tapi ia menghentikan langkahnya saat melihat dua orang pria memasuki Mansion.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Kak A'ai
BANYAK TYPO 2 NYA THOR....... TAPI AKU TETAP SUKA DN. CINTA PADA CERITAMU INI....... SEMANGAT TERUS THOR DLM BERKARYA......🤔🤔🤔🤔🤔😱😱😱😱😱😱😱😱😱❤️❤️❤️❤️❤️❤️🎊🎊🥰🥰🥰🥰😍😍😍😍😍😍😍😍😍😍👍👍👍👍👍👍💪💪💪💪💪💪💪💪
2021-09-30
0
Syafridayani
tuan dave mo cari kesempatan ja thor blg ma tuan dave, rania da yg punya tuan revan
2021-08-19
0
Ismawati Masyudi
g adil donk....bik Susi yg tegas laaa...
2021-08-13
2