Revan menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan lalu mengangkat panggilan tersebut.
"Halo," jawab Revan mencoba tetap tenang meski hatinya kesal.
"Kamu di mana? Sibuk?" Suara dingin penuh penekanan terdengar di seberang telfon.
"Di mansion. Dan, ya aku sibuk." balas Revan sedikit tidak suka.
"Jika kamu luang, segera kembali ke rumah. Makan malam bersama, ada hal yang harus kita bicarakan."
Revan diam, tidak biasanya pria paruh baya di seberang telpon yang merupakan ayahnya itu, menelponnya dan memintanya untuk pulang.
"Katakan saja sekarang, aku mungkin tidak bisa kembali ke sana," ucap Revan. Terdengar helaan nafas di seberang telfon.
"Berbicara secara langsung jauh lebih baik daripada membicarakannya lewat telepon."
Revan mengusap wajahnya kasar, ia lupa jika ayahnya keras kepala seperti dirinya.
"Baiklah, aku akan ke sana besok."
"Kami menantikan kedatanganmu," setelah mengucapkan hal itu. Panggilan pun terputus sepihak.
Prang!
Revan melemparkan benda pipih itu ke lantai, rahangnya mengeras dengan amarah yang menggebu.
Setelah berperang cukup lama dengan emosinya, ia pun memutuskan untuk memasuki kamar mandi, membersihkan diri untuk menenangkan pikirannya.
Cukup lama berada di dalam kamar mandi, Revan pun keluar dengan hanya mengenakan handuk putih yang melilit pinggang hingga lututnya. Tak lupa rambut yang basah.
Ia memutuskan untuk masuk ke dalam Walk-in closet, memakai pakaian kasual dan memutuskan untuk duduk di atas tempat tidur. Meraih laptop di atas meja, lalu mengerjakan pekerjaannya hingga tidak terasa waktu berlalu dengan cepat.
Tepat pukul setengah tujuh malam, Revan masih berkutak dengan laptopnya di atas tempat tidur. Memeriksa setiap file penting yang Bian kirimkan lewat email padanya.
Tok! Tok! Tok!
Revan menolehkan kepalanya, menatap pintu kamarnya dalam diam.
"Tuan Muda, sudah saatnya makan malam!" Suara teriakan seorang wanita terdengar di depan pintu, membuat tubuh Revan menegang.
Revan tak menjawab, ia memilih bangkit dari posisinya dan mendekati pintu. Sedang di luar, Rania hanya menundukkan kepalanya menatap lantai.
Sebenarnya gadis itu tidak ingin menerima tugas memanggil sang pemilik mansion untuk makan malam, tapi karena Bi Susi yang memintanya. Maka Rania tidak bisa menolak.
Rania menghela napas pelan, ia ingin mengundurkan diri dan menjauh. Tapi menyayangkan juga, karena membutuhkan waktu lagi untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sedang ia adalah gadis yang pemalu. Bertatap muka dengan pria saja Rania tidak mampu.
Tubuh Rania menegang kala mendengar suara pintu yang terbuka, kedua tangannya saling menggenggam erat, menyalurkan rasa takut yang ia rasakan.
"Ma-makan malamnya sudah siap, Tuan Muda," ucap Rania dengan kepala menunduk. Takut untuk mendogak.
Revan hanya diam di ambang pintu, tatapannya fokus menatap tubuh Rania dari atas hingga ujung kaki.
Tidak ada yang spesial, bahkan terkesan biasa saja. Apa yang membuat sahabatnya itu tertarik pada gadis di hadapannya itu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Revan berlalu dari hadapan Rania. Berjalan mendekati tangga dengan langkah lebar.
Rania menghela napas pelan, mengusap dadanya karena Revan pergi tanpa mengatakan apa-apa.
"Syukurlah," gumannya pelan, kembali tersenyum kecil di bibir.
Sementara itu, Revan tiba di lantai dasar. Melangkahkan kakinya memasuki ruang makan di mansionnya.
Sudah terlihat Dave yang duduk manis pada salah satu kursi di depan meja makan, tersenyum mendapati Revan yang kini berjalan mendekat lalu duduk di sampingnya.
"Malam, Van. Kamu cukup betah juga di dalam kamar, ya? Melakukan apa saja di sana?" Dave sedikit menggoda sahabatnya itu, menaik turunkan alisnya.
"Diamlah jika tidak ingin garpu ini melayang!" Ancam Revan, ia tidak main-main dengan ucapannya.
Dave bergidik ngeri, sepertinya sahabatnya itu sedang PMS sekarang ini. Lihat saja, suasana hatinya selalu saja buruk sejak tadi.
Setelah perbincangan singkat itu, mereka pun mulai menyantap makan malam yang tersaji di atas meja.
"Oh, iya, Van. Kamu sudah mendengarnya belum?" Tanya Dave dengan mulut yang menguyah.
Tanpa sengaja menatap Rania yang berdiri tidak jauh darinya, membuat senyum terbit di bibirnya.
"Apa?" Tanya Revan ketus tanpa berniat menatap sahabatnya itu.
Dave kembali menolehkan kepalanya, menatap Revan yang kini terlihat menguyah daging ayam di mulut.
"Aku dengar Om sedang menjalin kerja sama pada salah satu perusahaan, menurutmu apa yang akan terjadi selanjutnya?"
Revan menghentikan gerakan tangannya, sedikit mendogak menatap Dave yang terlihat begitu santai menyantap makan malamnya.
"Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan, Dave?"
"Maksudku, bukankah itu terdengar sangat aneh. Memang bekerjasama itu bukanlah hal yang sulit, tapi bisa saja akan terjadi pernikahan politik, kan?"
Revan diam, entah mengapa ucapan Dave terdengar masuk akal. Ayahnya adalah orang yang ambisius, maka apapun itu akan dilakukan oleh ayahnya meski mengorbankan kebahagiaan anak sendiri.
Tiba-tiba ingatannya tentang hal yang ayahnya ucapkan lewat telfon tadi, terngiang di benaknya.
'Apakah hal ini yang ingin dia bahas hingga memintaku pulang ke rumah?' batin Revan mulai bertanya-tanya, mengeraskan rahangnya karena emosi.
Rania yang samar-samar mendengar percakapan dua pria itu, seketika terdiam di tempatnya. Tiba-tiba hatinya terasa nyeri, menelan kasar salivanya dengan susah payah.
'Apa yang aku pikirkan, kenapa begitu sakit? Padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengan Tuan Muda,' batin Rania, mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba ia rasakan di hatinya.
"Terserah lah, aku tidak peduli." ucap Revan acuh, melanjutkan makannya dan melupakan pembahasan itu sejenak. Ia akan mengetahui semuanya esok.
***
Waktu telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Keadaan mansion sudah mulai sepi, semua pelayan telah kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Begitupun dengan Rania.
Rania menghela nafas kasar, sudah berapa kali ia mengubah posisi tidurnya. Tapi matanya enggan terpejam.
"Kenapa malam ini aku begitu sulit untuk tidur," Rania mendudukkan diri di atas tempat tidur. Menyibakkan selimut tipisnya, melangkah mendekati pintu kamar.
Rania melangkahkan kakinya pelan keluar dari kamarnya, menutup pintu dan memutuskan untuk keluar dari mansion.
Wanita itu melangkahkan kakinya mendekati sebuah bangku taman di luar mansion, mendudukkan diri lalu mendogakkan kepala menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang tanpa bulan.
"Ibu, ayah, Rania rindu. Rania kangen sama ibu dan ayah," ucap lirih Rania penuh pilu. Bibirnya gemetar, berusaha menahan tangisnya.
"Menangis lah jika ingin menangis, jangan ditahan."
Rania tersentak, ia sontak menoleh ke samping dan mendapati sosok Dave yang kini berjalan menghampirinya.
Segera wanita itu mengusap kasar air mata yang mengenang di pelupuk matanya, berniat bangkit dari duduknya untuk kembali memasuki mansion. Tapi Dave sudah lebih dulu mencekal tangan Rania, membuat langkah gadis itu terhenti.
"Mau ke mana?" Tanya Dave dengan raut wajah pura-pura tak tahunya.
"Ma-mau masuk," jawab Rania gugup.
Pria tampan itu tersenyum, mendudukkan diri dengan tangan yang masih mencekal pergelangan tangan Rania.
"Di sini aja. Temanin aku, sambil curhat," ucap Dave dengan sedikit memohon pada Rania.
Rania pasrah, kembali mendudukkan diri di bangku dengan memberi jarak yang cukup jauh dari Dave.
Pria itu terkekeh, mulai mendogak menatap langit malam. Tanpa mereka ketahui, jika ada sosok yang melihat mereka dari balkon kamar di lantai dua. Mengepalkan tangan kesal, sebelum memutuskan kembali masuk ke dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Mila Nada
revan cmburu
2021-09-14
0
danishsu
ada yg cemburu ni
2021-09-02
0
Yunia Abdullah
revan junior dh GA BSA bngun lgi SM cwe lain
2021-08-31
0