Tubuh Rania gemetar ketakutan saat iris matanya bertemu dengan iris mata berwarna biru yang menghanyutkan itu.
Refleks kepala Rania menunduk dalam, mengigit bibirnya yang gemetar ketakutan.
'Ibu, ayah,' batin Rania berteriak memanggil kedua orang tuanya. Gadis polos itu sungguh sangat ketakutan sekarang ini, bagaimana jika pria di hadapannya itu memukulnya?
Pria beriris mata biru itu diam di kursinya, mengetuk pelan jari tangannya di atas meja. Menatap dalam pada sosok gadis yang kini berdiri tidak jauh darinya dengan tubuh gemetar yang terlihat jelas.
Ia menghela nafas kasar, ekspresi dinginnya tidak berubah. Tatapannya tetap tajam bagai belati.
"Tenanglah, Nona Rania. Saya tidak akan membunuh Anda atau menyiksa Anda. Jadi berhenti gemetar ketakutan seperti itu," ucap Revan menekan setiap ucapannya dengan raut wajah dinginnya.
Rania tetap diam menunduk, ia masih takut untuk mendogak menatap wajah sang Tuan Muda.
"Aku bilang angkat kepalamu!" Teriak Revan yang mulai kesal karena gadis di hadapannya tak kunjung mendogak. Memangnya apa yang menarik dari sebuah lantai marmer? Wajahnya bahkan lebih menarik daripada lantai itu.
Seketika Rania mendogak dengan air mata yang mengenang di pelupuk matanya. Nyalinya semakin ciut mendapati tatapan tajam itu, meski Rania akui jika wajah sang Tuan Muda memang sesuai dengan rumor yang pernah ia dengar.
Tampan rupawan, tapi tidak tersentuh sama sekali.
"Kemarilah!" Titah Revan mendominasi, tidak ingin dibantah.
Perlahan Rania melangkahkan kakinya yang gemetar mendekat meja kerja nan panjang milik Revan, berhenti di depan meja dan kembali menundukkan kepalanya.
Rania memejamkan matanya, tersentak kala sebuah map dilemparkan ke atas meja oleh Revan.
"Baca itu!" Perintah Revan, menyandarkan punggungnya dengan wajah angkuh nan dingin sambil melipat tangan yang bertumpu kursi kebesarannya.
Rania diam sejenak, menatap bergantian map di hadapannya dengan Revan.
Lagi-lagi Revan menghela nafas kasar, kenapa gadis di hadapannya itu harus begitu lelet.
"Aku bilang baca itu! Jangan membuat aku mengulang ucapanku untuk ketiga kalinya, karena aku sangat benci dengan hal itu!" Ucap Revan tajam.
Dengan cepat Rania meraih map tersebut, membukanya lalu membacanya dengan seksama.
Bait demi bait ia baca, tidak ada yang salah tapi begitu aneh menurutnya.
Dengan ragu Rania mendogak, memberanikan diri menatap wajah Revan. Meminta penjelasan dari sosok pria di hadapannya.
Revan yang menyadari hal itu, dengan malas meraih ponselnya. Menelfon orang kepercayaannya, karena ia adalah tipikal orang yang tidak suka berbicara panjang kali lebar kali bagi dua sisi.
Rania hanya diam menatap percakapan Revan dengan seseorang di seberang telfon, memejamkan mata karena kaget saat Revan membuang kasar ponsel berlogo Apple itu ke atas meja.
'Ya Tuhan, kasar sekali.' batin Rania.
Mereka tetap diam hingga tiba-tiba pintu terbuka, menarik perhatian Rania yang seketika menatap sosok Bian berjalan mendekatinya dengan keringat di kening.
"Maaf, saya telah, Tuan Muda. Ada apa?" Tanya Bian, menghentikan langkahnya tepat di samping Revan.
Pria itu tidak menjawab, hanya memberi isyarat pada tangan kanannya itu lalu membalik kursi kerjanya hingga memunggungi Rania.
Bian yang mengerti isyarat sang bos, kemudian menatap ke arah Rania lalu tersenyum pada gadis di hadapannya.
"Biar saja jelaskan, Nona Rania."
Rania diam, dan mulai menyimak apa yang akan Bian katakan padanya.
"Ayah Anda memiliki utang yang cukup besar pada, Tuan Muda. Karena beliau telah tiada, utang itu menurun pada Anda. Demi melunasi utang itu, Anda akan bekerja di mansion ini sampai hutang ayah Anda lunas. Batas waktu tidak di tentukan."
Rania hanya bisa melongo mendengar hal itu, menjadi pelayan? Tidak buruk. Tapi apa dia sanggup bekerja selama beberapa bulan atau mungkin tahun pada pria kasar yang tengah memunggunginya itu.
"Anda tidak perlu khawatir soal gaji Anda. Kami hanya akan memotong sebagian gaji Anda, dan sebagiannya lagi bisa Anda simpan atau tabung untuk jaga-jaga jika utang ayah Anda telah lunas, mungkin persiapan untuk meniti kehidupan suatu hari nanti," jelas Bian membuat Rania menunduk dengan fikiran berkecamuk.
Bekerja di tempat itu tidaklah rugi sama sekali, malahan ia akan diuntungkan di sini. Bian dengan senang hati menunggu jawaban gadis yang tengah berfikir keras di hadapannya itu, sedang Revan membalik kursinya lalu mengetuk meja dengan jarinya. Tidak sabaran menanti jawaban yang akan Rania berikan.
Rania yang merasa terganggu dengan suara ketukan di atas meja, seketika berbicara dengan suara agak tinggi.
"Bisakah kamu berhenti melakukan hal itu?! Aku tengah berfikir keras sekarang ini!!" Kesal Rania, seketika membungkam mulutnya sendiri saat menyadari siapa yang ada di depan matanya.
Revan menatap tajam gadis itu, seseorang yang dengan berani meninggikan suara padanya. Meski sebenarnya tidak sengaja.
"So-soal itu ... sa-saya menyetujuinya, Tuan Bian." jawab Rania cepat, dengan kepala menunduk.
Bian tersenyum kecil, sedang Revan masih dengan wajah dinginnya.
"Kalau begitu, Anda bisa keluar dan bertemu Bi Susi untuk mengantarkan Anda ke kamar." Bian mengarahkan dengan suara lembut.
Rania mengangguk mengerti, bergegas keluar dari ruangan itu, meninggalkan dua pria tersebut.
Sepeninggal Rania, Revan berdecak kesal. Membuat sang sekertaris menoleh penuh tanya.
"Ada apa, Tuan Muda?" Tanya Bian, mendapat tatapan dingin dari bosnya itu.
"Keluar!" Titah Revan, tidak menjawab pertanyaan Bian.
Bian mengangguk patuh, segera keluar dari ruangan itu, meninggalkan sang bos sendiri.
"Apa gadis lelet seperti itu bisa bekerja? Mendadak aku ragu," monolog Revan dengan wajah datarnya.
Sementara itu, Rania berjalan pelan mendekati dapur untuk bertemu dengan Bi Susi, meminta bantuan wanita paruh baya itu.
"Aduh!" Rania meringis sakit saat tiba-tiba seseorang mendorong tubuhnya kasar hingga tersungkur ke lantai.
Ia menoleh ke belakang, menatap beberapa wanita yang berpakaian pelayan tengah menatapnya sambil bersedekap dada.
"Makanya, kalau jalan itu hati-hati," ketus salah satu wanita berpakaian pelayan, berlalu dari hadapan Rania dengan beberapa temannya untuk segera melakukan pekerjaan lain di mansion itu.
Rania hanya menunduk dalam, ia tahu jika para pelayan itu sengaja melakukannya. Ia hanya bisa mengelus dada pelan, sabar akan keadaannya sekarang ini.
Rania merapikan sedikit pakaiannya, mendesis saat tanpa sengaja menyentuh luka kecil di lututnya akibat terjatuh di lantai tadi. Ah, ralat. Bukan terjatuh, tapi di dorong dengan sengaja.
Perlahan ia berjalan tertatih mencari Bi Susi. Saat menemukan wanita paruh baya itu, Rania segera menghampirinya.
"Bi Susi," panggil Rania saat tiba di samping wanita paruh baya tersebut.
Bi Susi berbalik, menatap Rania dengan senyum di wajahnya.
"Iya, Nak. Ada apa?" Tanya Bi Susi lembut dengan senyum hangatnya.
"Itu, Bi... ada yang bisa Rania bantu?"
Rania tersenyum canggung melihat ekspresi penuh tanya Bi Susi yang begitu bingung karena dirinya.
"Rania baru aja diterima jadi pelayan di mansion ini, Bi. Jadi apa yang bisa Rania bantu?"
"Owalah, nak. Kamu istirahat aja dulu, besok baru mulai kerja. Semua pekerjaan sudah hampir selesai, jadi kamu istirahat aja hari ini. Muka kamu juga pucat banget, kamu udah makan, kan?" Tanya Bi Susi, terluka begitu khawatir pada gadis di hadapannya.
Rania hanya menunduk, jujur ia lapar. Namun malu untuk mengatakannya. Terlebih ia baru saja datang dan belum mengerjakan apapun, masa langsung makan. Kan tidak enak, mungkin begitu fikir Rania.
Bi Susi yang melihat ekspresi wajah Rania tersenyum kecil, sungguh jika mencari gadis yang memiliki sikap pemalu seperti Rania sangatlah jarang sekarang ini.
"Rara, sini dulu!" Teriak Bi Susi, seketika seorang gadis dengan rambut dikepang dua dan berkacamata, datang menghampiri mereka.
"Iya, Bi?" Tanya gadis bernama Rara itu sambil merapikan letak kacamata bulatnya.
"Ini, ajak Rania makan abis itu istirahat di kamarnya," ucap Bi Susi yang segera di laksanakan oleh Rara, meski awalnya Rania terlihat menolak dan sungkan, tapi akhirnya mau menurut juga.
Tidak jauh dari mereka, terlihat seorang wanita menatap penuh benci pada Rania, bahkan kedua tangannya terkepal kuat karena amarah.
"Cih! Sok cantik banget sih jadi cewek," ucapnya kesal, berlalu dari tempatnya dengan perasaan kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Lan
Revan, jadi ingat Seseorang 🤣🤣
2022-09-15
0
Yohana Woleka
Masa dia langsung ditugaskan menjadi pelayan,skrg si bos atau disuruh pada bi Susi agar menanyakan mungkin ada juga barangnya uang perlu diambil.
2022-08-16
0
So Ghanzi27
mmg cantik,iri blng bos
2022-03-19
0