Kedua bola mata Revan membulat sempurna melihat kejadian di depan matanya. Dengan cepat ia berlari melewati Bian, segera berjongkok dan mengangkat tubuh Rania ala bridel style.
"Segera hubungi Dokter!" Teriak Revan mengema di ruang tamu, hingga menarik perhatian beberapa pelayan yang tengah mengerjakan tugas mereka.
Bian merogoh saku celananya, menghubungi nomor Dokter keluarga Argantara untuk segera datang ke Mansion.
Segera Bian melangkahkan kakinya memasuki kamar tamu, menyusul sang Tuan Muda yang masuk membawa tubuh lemah Rania lebih dulu.
Perlahan Revan menghentikan langkahnya di samping tempat tidur di ruang tamu, meletakkan tubuh Rania perlahan di atas tempat tidur.
Matanya memicin saat melihat bibir pucat wanita yang tengah memejamkan mata. Terlihat jelas jika wanita itu sedang tidak baik-baik saja.
Revan menolehkan kepalanya saat mendengar suara langkah kaki yang mendekati tempat tidur, menatap Bian yang kini berjalan menghampirinya.
"Sudah menghubungi Dokter?" Tanya Revan, menenggakkan tubuhnya yang sedikit membungkuk. Menatap Bian yang menganggukkan kepalanya.
"Dokter Beni dalam perjalanan, ia akan tiba lima belas menit lagi, Tuan Muda." jelas Bian.
Revan mengangguk mengerti, lalu terdiam menatap wajah pucat Rania.
Beberapa menit berlalu, Revan dan Bian masih berada di kamar tamu, terlihat tidak ada niatan untuk keluar, tetap menanti Rania membuka kelopak matanya.
Tatapan kedua pria itu beralih saat mendengar langkah kaki memasuki kamar tamu, terlihat Bi Susi dengan Dokter Beni berjalan mendekati tempat tidur.
Revan sedikit menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini, membiarkan Dokter Beni memeriksa keadaan Rania. Raut wajah Bi Susi terlihat begitu khawatir melihat keadaan Rania, dan hal tersebut tak lepas dari pandangan Revan.
Setelah selesai memeriksa keadaan Rania, Dokter Beni kembali memasukkan stetoskopnya ke dalam tas kerja berwarna hitam yang ia bawa. Beralih menatap Revan dan berdiri di dekatnya.
"Bagaimana keadaannya? Apa terjadi sesuatu?" Bukan Bian atau Bi Susi yang bertanya, tapi Revan dengan raut wajah dinginnya.
Dokter Beni segera menjawab pertanyaan itu, mengatakan kondisi lemah Rania yang diakibatkan terlalu memaksakan diri untuk bekerja dan lebih parahnya telat makan.
Tangan Revan terkepal kuat mendengar hal tersebut, Dokter Beni segera berpamitan untuk pulang setelah memberikan saran yang didengar seksama oleh Bi Susi.
"Segera kumpulkan semua maid di mansion ini!" Titah Revan pada Bi Susi, membuat dua orang yang berdiri di hadapannya itu tersentak seketika.
Bi Susi segera berlari keluar dari kamar, sebagai kepala pelayan sudah menjadi tugasnya untuk memanggil semua maid di mansion itu untuk berkumpul di ruang tengah.
Bian menelan kasar salivanya, terlihat jelas kilatan kemarahan di mata Revan.
Revan marah, sangat marah. Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena ia selalu memberikan waktu istirahat pada para pekerja di rumahnya, yang tentunya tidak memberatkan para pelayan.
Bukan ada maksud terselubung, tapi Revan benar-benar tidak suka dengan hal itu. Ini bisa menjadi aib bagi dirinya, bisa saja ada rumor beredar di luar sana tentang seorang maid yang pingsan karena terlalu memaksakan diri bekerja di mansionnya.
Untuk apa memakai banyak pelayan, jika semua hal dikerjakan oleh satu orang!
Revan berdecak kesal dalam hati, segera keluar dari kamar tamu itu, diikuti oleh Bian yang mengekor di belakangnya.
Bian menoleh sekilas ke arah Rania, lalu bergegas mengikuti langkah kaki bosnya.
Setibanya di ruang tengah mansion, terlihat beberapa maid berbaris rapi dengan kepala menunduk menatap lantai. Takut mendogak dan bertatapan dengan Revan.
Revan menghentikan langkahnya di depan para pelayan mansionnya itu, berjalan mendekati meja dan meraih vas bunga lalu membuangnya ke lantai.
Prang!
Suara pecahan kaca mengema di ruang tamu, para pelayan hanya mampu memejamkan mata, mengintip sekilas pecahan vas yang bertaburan di lantai.
"Sebenarnya tugas kalian apa, hah?!!" Teriak Revan dingin dan penuh penekanan.
Tidak ada yang menjawab, membuat Revan mengepalkan tangannya kuat. Sedang beberapa koki hanya mampu mengintip dari balik pintu ruang makan, cukup ketakutan mendengar amarah sang pemilik Mansion.
"Begitu banyak di antara kalian, lalu kenapa hanya gadis itu yang bekerja hingga memaksakan diri!! Ke mana saja kalian?!!" Amarah Revan semakin meledak. Ia tidak habis fikir dengan hal yang terjadi hari ini.
"Kenapa diam?! Jawab!!" Teriak Revan dengan aura dingin yang seakan membekukan sekitarnya.
Prang!
Sebuah benda pipih berlogo Apple menyentuh lantai hingga menjadi beberapa bagian, membuktikan betapa kerasnya Revan melemparkan benda tersebut.
"Jawab!" Ucap Revan lagi, tidak akan memaafkan hal yang terjadi hari ini.
Bagaimana tidak, bahkan gadis itu baru saja bekerja di mansionnya dan sudah terjadi hal buruk seperti ini. Sungguh membuat Revan seolah memperkerjakan gadis itu seperti buruh bangunan. Padahal pekerjaan di mansion tidaklah seburuk itu.
Tatapan Revan beralih, menatap salah satu pelayan yang maju ke depan satu langkah dengan kepala menunduk.
Revan mengenali sosok itu, dari tatapan mata saja Revan sudah tahu. Jika pelayan yang sudah bekerja cukup lama di Mansionnya itu, menaruh hati padanya.
"Ma-maaf, Tuan Muda. Ga-gadis itu yang mengatakan untuk menyerahkan semua perkejaan padanya, karena merasa harus bekerja keras di hari pertama. Dia menawarkan diri untuk ..."
"Dan kalian dengan senang hati memberikan semua pekerjaan padanya?" Tanya Revan menyela ucapan pelayan bernama Vina itu.
Vina menunduk dalam, tidak mengangguk ataupun menjawab pertanyaan Revan. Ia hanya mampu mengigit bibir bawahnya karena takut. Saat sang Tuan Muda marah, itu terlihat sangat menakutkan.
"UNTUK APA AKU MEMBAYAR KALIAN KALAU BEGITU! LEBIH BAIK KALIAN AKU PECAT SAJA, DARIPADA MEMAKAN GAJI BUTA TANPA BEKERJA!" teriak Revan, seketika seluruh orang di hadapannya gemetar ketakutan.
Bian hanya diam menunduk di samping Revan, tidak mengeluarkan suara dan membiarkan bosnya melampiaskan amarah. Sudah sejak di perusahaan tadi, Revan terlihat menahan emosi. Dan sekarang ada kesempatan untuk meluapkan semuanya, meski sebenarnya itu bukan menjadi penyebabnya.
"Ma-maafkan kami, Tuan Muda. To-tolong jangan pecat kami," ucap para pelayan itu, membungkuk memohon pada Revan agar tidak di pecat.
Di mana lagi mereka bekerja dengan bayaran cukup tinggi hanya sebagai pelayan selain di mansion itu.
"Jika hal seperti ini terjadi lagi! Maka bersiaplah angkat kaki dari mansion ini!" Revan menekan setiap ucapannya, berbalik dan naik ke lantai dua. Meninggalkan para pelayan yang menghela nafas lega karena tidak dipecat dari pekerjaan mereka.
Setelah Revan menghilang dari pandangan, segera para maid itu berhamburan untuk mengerjakan semuanya. Terutama membersihkan pecahan di lantai.
Vina mengepalkan tangannya kuat, mencekram kuat ujung celemek kecil berwarna putih pada pakaian maidnya, berbalik pergi setelah melemparkan tatapan kebencian pada pintu kamar tamu.
Bian hanya diam menyadari tatapan penuh kebencian dari pelayan bernama Vina itu. Ia membuang muka, menatap seorang pelayan wanita berkacamata dengan rambut hitam yang dikepang.
"Hey!" Panggil Bian, seketika Rara menoleh dan mendekat Bian.
"I-I-iya, Tuan?" Ucap Rara menelan kasar salivanya saat tiba di hadapan Bian.
"Bawa makanan ke dalam kamar tamu, setelah Nona Rania siuman segera katakan padanya untuk makan terlebih dahulu sebelum meminum obat," Rara mengangguk mengerti mendengar penjelasan Bian.
Segera gadis culun itu memutar langkahnya ke arah dapur, menyiapkan makanan untuk ia bawa ke kamar tamu. Sementara Bian memutuskan untuk pergi dari Mansion.
Tidak lama kemudian, Rara keluar dari dapur dengan nampan di tangannya. Segera ia melangkahkan kakinya mendekati pintu kamar tamu, tersenyum lega saat mendapati Rania yang kini telah siuman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Nabila Futri S
seperti nya Rara dgn bian deh
2021-09-07
0
Novi Tasari
vinaa curutt ga tau diri 🙄
2021-09-06
0
Desi Arisandi
jdi maid z belagu dasar bibit2 pelakor
2021-09-06
1