Air mata Rania lolos seketika, ia mengigit bibirnya yang gemetar, menarik tubuhnya yang gemetar untuk meringkuk.
Revan hanya diam melihat hal itu, merasa sedikit bersalah pada wanita di hadapannya.
Namun, pria itu menepis semua rasa bersalahnya, beranjak dari tempat tidur tanpa rasa bersalah. Berjalan ke arah pintu kamar mandi tanpa peduli jika tubuhnya tak tertutupi sehelai kain.
Revan menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu kamar mandi, melirik ke arah Rania yang kini menangis dalam diam dengan tubuh gemetar.
"Keluar dari kamar ini sebelum aku keluar dari kamar mandi! Mengenai kejadian tadi malam, anggap saja tidak pernah terjadi. Dan soal utang orang tuamu, aku akan menganggapnya lunas! Kamu bisa pergi dari mansion ini jika mau," ucap Revan dingin, masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Rania yang menangis dalam diam meratapi nasibnya.
Hidupnya hancur, hal yang ia jaga telah di renggut secara paksa oleh pria yang secara terang-terangan menganggap dirinya sebagai wanita malam.
'Ibu, maafin Rania. Ayah, maafin Rania,' batin Rania mencoba menghentikan tangisnya untuk segera keluar dari kamar.
Dengan kasar gadis itu menyeka air matanya , mencoba turun dari tempat tidur dengan menahan sakit pada bagian intinya.
'Ya Tuhan,' batin Rania merintih, berjalan terseok-seok keluar dari kamar Revan dengan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya.
Ia harus bergegas sebelum ada pelayan lain yang melihat keadaannya. Dengan bertumpu pada dinding, Rania berjalan mendekati tangga.
Perlahan kakinya menuruni anak tangga. Seketika perkataan Revan tergiang di benaknya.
Apakah kehormatannya begitu murah di hadapan pria itu? Apakah dirinya terlihat seperti wanita malam?
"Rania!"
Rania menghentikan langkahnya, matanya terbelalak mendengar suara seseorang memanggil namanya. Ia mendogak dengan mata berkaca-kaca dan air mata yang kembali lolos membasahi pipinya.
Rania menelan salivanya dengan susah payah, menatap Rara yang kini menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.
"Apa yang ...."
Rara menghentikan langkahnya saat Rania melewatinya dengan tergesa-gesa, kening wanita cupu itu mengerut kala melihat cara berjalan Rania yang aneh.
"Apa yang terjadi pada, Rania? Kenapa jalannya seperti itu?" Monolog Rara pada dirinya sendiri, seketika ia menoleh ke lantai dua.
"Apakah ....," Rara menjeda ucapannya, menutup rapat bibirnya dengan kedua tangannya.
Sementara itu, Rania berusaha sekuat tenaga untuk tiba di kamarnya hingga tanpa sengaja seseorang menabrak pundaknya, membuat tubuh Rania mundur beberapa langkah.
"Hey! Kamu bisa lihat jalan enggak, sih!" Kesal Vina, terdiam saat melihat penampilan orang yang ia tabrak.
Bola mata Vina membulat sempurna, kini ia menatap horor pada Rania.
Rania semakin menelan salivanya dengan susah payah, berjalan cepat meninggalkan tempat itu, berusaha menahan perih saat berjalan.
Tangan Vina terkepal kuat, darahnya seolah mendidik dengan wajah yang merah padam karena emosi.
'Beraninya wanita jal**g itu! Aku yang bahkan sudah bekerja cukup lama di sini, tidak pernah sekalipun dilirik oleh Tuan Muda. Dan dia yang baru saja bekerja sudah bisa ....' batin Vina, tangannya semakin terkepal kuat, mengingat beberapa tanda merah di leher Rania.
'Sialan, kamu! Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang!' Vina berbalik dengan perasaan kesal, menjauh dari sana dan terus mengutuk Rania dalam hati.
BRAK!
Rania menutup pintu kamarnya dengan keras, punggungnya menempel pada daun pintu hingga perlahan-lahan merosot dan duduk di lantai.
Kedua tangannya terulur menyentuh telinganya, berteriak tanpa suara dengan air matanya kembali pecah membasahi kedua pipinya. Ia mengacak rambutnya frustasi, terus menangis sesugukan tanpa suara.
Di lantai atas, tepatnya kamar Revan. Pria itu keluar dari kamar mandi, setelah menghabiskan waktu cukup lama di dalam sana, membersihkan diri dan menjernihkan fikirannya.
Revan berjalan pelan, ia hanya menatap datar saat mendapati kamarnya yang telah kosong melompong. Tanda jika Rania telah keluar dan mematuhi ucapannya.
Saat Revan berbalik dan berniat memasuki Walk-in closet, langkahnya seketika terhenti kala melihat sesuatu yang menarik perhatiannya di atas tempat tidur.
Dengan cepat Revan melangkahkan kakinya mendekati tempat tidur, sedikit membungkuk melihat bercak darah pada seprei putihnya.
"Darah?" Guman Revan, seketika memeriksa tubuhnya, apakah ada yang terluka atau tidak. Namun, sekuat apapun ia mencari, tidak ada lecet atau luka di tubuhnya.
"Jangan-jangan gadis itu ...," Revan mengantung ucapannya, seketika rasa bersalah menyeruak di kepalanya.
'Dia perawan,' batin Revan mulai tak karuan. Ia mungkin brengsek, tapi ia tidak pernah menyentuh atau merusak gadis baik-baik. Dan malam tadi, ia baru saja merusak wanita baik-baik.
'Pantas saja rasanya lebih ...' Revan kembali menggantung ucapannya, tak mampu menjabarkan hal yang ia rasakan malam tadi. Sungguh, ia lepas kendali.
"Shit!" Revan mengumpat kesal, bergegas masuk ke dalam Walk-in closet untuk memakai pakaiannya.
Tidak lama kemudian, Revan keluar dari kamarnya. Berjalan menuruni anak tangga dengan terburu-buru.
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapa beberapa pelayan yang berpapasan dengan Revan, tapi pria itu memilih mengabaikannya. Terus melangkah mendekati dapur untuk mencari Bi Susi.
Revan menghentikan langkahnya di ambang pintu dapur, menatap sekeliling ruang masak itu untuk mencari keberadaan Bi Susi. Setelah menemukannya, ia pun memanggil wanita paruh baya itu.
"Bi Susi!" Teriak Revan dengan wajah datarnya.
Wanita paruh baya itu, segera berlari kecil mendekati sang pemilik Mansion.
"Ya, Tuan Muda?"
"Kamar gadis itu ada di mana?" Tanya Revan, lalu merutuki dirinya dalam hati.
Bagaimana mungkin ia mengatakan jika Rania masihlah seorang gadis, padahal dirinya lah yang telah mengambil kesucian gadis itu tadi malam. Jadi bukankah sekarang Rania lebih tepat dipanggil seorang wanita?
"Ah, kamar nona Rania. Mari ikut ...."
"Tunjukan saja, Bi. Aku akan pergi sendiri," Revan menyela ucapan Bi Susi yang berniat mengantarnya ke kamar Rania.
Bi Susi diam sejenak, lalu mengatakan letak kamar Rania pada Revan.
Setelah mendengar hal itu, Revan pun berlalu dari ambang pintu dapur, berjalan ke kamar Rania tanpa peduli dengan beberapa pelayan yang sengaja mendengar percakapannya dengan Bi Susi.
Revan menghentikan langkahnya tepat di depan pintu, mendadak ia ragu untuk mengetuk pintu di hadapannya itu.
'Apa perlu aku meminta maaf padanya? Tapi bukankah itu sepadan dengan hal yang aku berikan, misalnya seperti melunasi semua utang orang tuanya!?' batin Revan mulai berperang dengan egonya yang tinggi.
Revan masih berdiri di sana, tidak beranjak ataupun mengetuk pintu kamar Rania.
'Argh! Bodo amat, lah!' kesal Revan dalam hati, pergi dari depan pintu kamar dengan perasaan kesal.
'Lagipula aku hanya melakukannya sekali, tidak akan terjadi apapun,' batin Revan dengan ego tingginya. Semakin menjauh dari pintu kamar Rania.
***
Pukul sembilan pagi, semua orang begitu sibuk dengan aktifitas mereka. Begitupun dengan Rara.
"Rara," gadis cupu itu menoleh saat mendengar suara seseorang memanggil namanya.
"Iya, Bi?" Sahut Rara, berjalan mendekati wanita paruh baya itu.
"Kamu lihat Rania? Dari pagi tadi Bibi tidak melihatnya."
Rara diam, tiba-tiba ia teringat dengan penampilan Rania pagi tadi.
"Bibi udah coba cek di kamarnya?" Tanya Rara mendapat gelengan kepala dari wanita paruh baya itu.
"Ya, sudah. Kamu lanjut kerja, biar bibi yang periksa di kamar," Rara mencekal tangan Bi Susi, membuat wanita paruh baya itu menatapnya penuh tanya.
"Biar Rara aja, Bi."
Rara bergegas pergi tanpa mendengar jawaban dari Bi Susi, mendadak gadis itu khawatir dengan kondisi sahabat barunya.
Setibanya di depan pintu kamar Rania, segera Rara membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu dan betapa terkejutnya dia saat melihat kondisi Rania di dalam kamar itu.
"Rania!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Dirah Guak Kui
jgn2 Rania pergi dari sana
2021-08-19
1
noname
wah jahat bgt y revan.. anggap tidak prnh terjadi.. hebat bgt anda ya revan ngomong kek gt stlh mnghancurkan hrga dr seorang gadis
2021-08-16
0
m e l o n
kesian
2021-08-14
0