"Kamu merindukan kedua orang tuamu, ya?" Tanya Dave, membuka percakapan setelah diam dalam waktu yang lama.
Rania hanya menganggukkan kepalanya, menanggapi pertanyaan Dave.
"Jika boleh tahu, mereka ada di mana sekarang?" Tanya Dave, menoleh menatap Rania.
Tubuh wanita itu menegang, mengalihkan pandangannya hingga menatap Dave.
"Mereka sudah ada di sisi Tuhan saat ini," Rania tersenyum sambil mengucapkan hal tersebut. Membuat Dave terdiam di tempatnya.
"Em, maaf. Aku ... tidak bermaksud untuk mengungkit hal itu. A-aku minta maaf," ucap Dave merasa bersalah telah mengungkit hal menyakiti wanita di sampingnya itu.
"Tidak apa-apa," Rania hanya tersenyum, ia tahu jika Dave benar-benar tidak bermaksud mengungkit hal tersebut.
Lagi-lagi hanya keheningan yang menyelimuti dua orang itu, terdengar Dave menghela napas kasar sambil memejamkan matanya.
Rania tersentak saat merasakan usapan lembut di punggungnya, ia menolehkan kepalanya menatap Dave yang tersenyum padanya.
"Yang sabar, ya. Kedua orang tua kamu pasti sudah tenang di sana. Mereka pasti tengah tersenyum sekarang ini, jika melihat putri cantik mereka berjuang keras. Dan mungkin juga, mereka akan meminta maaf karena melimpahkan beban berat di kedua pundakmu," ucap Dave tulus.
Tanpa sadar setetes air mata jatuh membasahi pipi Rania, membuat wanita itu dengan segera mengusap pipinya.
"Tidak apa-apa. Luapkan saja semuanya, tidak akan ada yang marah. Jangan menahan air mata, itu sangat menyakitkan."
Tangis Rania pecah, air matanya terus lolos membasahi pipinya. Dave sedikit bergeser semakin mendekat pada Rania, menarik kepala gadis itu hingga bersandar pada dada bidangnya.
"Tidak apa-apa, luapkan semuanya malam ini. Biarkan berlian mahal itu jatuh membasahi pipimu, jangan sungkan lagi. Berpura-pura kuat untuk waktu yang lama itu juga tidak baik," ucap Dave lembut, mengusap punggung gemetar Rania.
Dave tidak modus atau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ia tulus menenangkan Rania, karena ia tahu rasa sakit yang gadis itu rasakan.
Tanpa ragu, kini Rania melingkarkan tangannya, memeluk erat tubuh Dave dengan air mata yang mengalir begitu deras di pipinya.
Ia lelah, sungguh sangat lelah. Jika bisa, ia ingin mengakhiri semuanya. Menyusul kedua orang tuanya di sisi Tuhan. Tapi sayangnya dia tidak bisa melakukan itu.
Berpura-pura kuat setelah insiden yang menimpanya bukanlah hal yang mudah, ia mencoba melupakannya dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Tapi saat ia berpikir seperti demikian, bayangan terburuk tiba-tiba melintas di benaknya.
Apa yang harus ia katakan pada suaminya kelak, jika mengetahui dirinya tidak perawan lagi. Mungkin jika pria itu mencintainya, semua kekurangannya akan diterima.
Tapi apa yang akan keluarga suaminya kelak katakan, jika mengetahui putra mereka menikah dengan wanita yang sudah tidak suci lagi. Berbagai hinaan mungkin akan dia terima, mengatakan jika dia tidak bisa melindungi diri dengan baik. Padahal semua itu bukanlah kesalahannya.
Tapi di mata masyarakat itu adalah kesalahannya, karena tidak bisa menjaga diri dengan baik.
Sungguh, Rania lelah. Lelah menahan semua bebannya seorang diri. Ia ingin meluapkannya, berbagi cerita pada sosok yang akan mendengar dan memeluknya saat ia tak kuasa menahan tangis. Tapi sosok itu belum ia temukan.
Dave masih setia memeluk Rania, mengusap punggung yang perlahan-lahan berhenti gemetar. Menandakan jika wanita di pelukannya itu mulai tenang.
"Bagaimana? Merasa lebih baik, bukan?" Tanya Dave, menyadarkan wanita itu dari lamunannya.
Rania mendogakkan kepalanya, seketika ia melepaskan pelukannya, menjauh dari Dave dengan air mata yang masih mengalir di pipinya.
Dave hanya tersenyum, baginya tingkah terkejut Rania begitu lucu.
"Ma-maaf," ucap Rania, merasa bersalah karena tidak sopan.
Dave hanya menggelengkan kepalanya, kembali menggeser hingga duduk di tempat semula.
"Tidak apa-apa. Santai saja, sudah merasa lebih baik, bukan?" Tanya Dave lagi.
Rania mengangukkan kepalanya, hanya diam saat Dave mengusap pelan puncuk kepalanya.
"Terima kasih," lirih Rania yang masih di dengar oleh Dave.
"Sama-sama," Dave menarik tangannya. Masih tersenyum sambil mendogak menatap langit malam.
"Berpura-pura kuat itu melelahkan, bukan?" Rania hanya diam, tidak menjawab.
Dave menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya kasar.
"Bersabar sebentar lagi, ya. Semuanya pasti akan berlalu, kebahagian pasti akan segera datang, tunggu sedikit lagi. Semuanya akan baik-baik saja, kamu kuat dan sudah berjuang keras hingga sekarang. Tidak ada hal yang mustahil, kamu pasti bisa melewatinya," ucapan tulus dengan senyuman di bibir Dave.
"I-I-iya, sekali lagi terima kasih."
Dave mengangguk pelan menanggapi hal itu.
"Kalau begitu, aku pamit masuk," Rania bangkit dari duduknya, sedikit membungkuk melewati Dave untuk masuk kembali ke Mansion, meninggalkan pria itu sendiri di sana.
Setelah Rania benar-benar masuk ke dalam mansion, kini hanya tinggal Dave yang menatap langit malam sendirian.
"Ayah melihatnya? Dia manis, bukan?" Monolog Dave, seolah sang ayah mendengar ucapannya.
"Aku ingin mempersunting dia, menemaniku dan mengubah diriku yang kotor ini menjadi pribadi yang lebih baik. Ayah merestuinya, kan?" Tanyanya lagi, memejamkan mata dan setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya.
"Ah, aku menangis?" Tanya Dave, lalu terkekeh pelan. Bangkit dari duduknya untuk segera masuk ke mansion, menikmati malam di dalam kamar.
***
Pagi menjelang, seperti biasa Rania akan terbangun di jam setengah tujuh pagi. Bergegas memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum bekerja.
Tiga puluh menit kemudian, Rania telah rapi dengan pakaian khas pelayannya. Bergegas keluar untuk membantu para pelayan lainnnya dan mengerjakan tugasnya.
"Pagi, Bi." sapa Rania dengan senyuman pada Bi Susi saat memasuki dapur.
Wanita paruh baya itu menoleh, lalu tersenyum menatap Rania. Tanpa sengaja menatap wajah sembab wanita muda itu.
"Hey, ada apa? Kamu menangis semalaman?" Tanya Bi Susi lembut, saat tiba di hadapan Rania.
Wanita itu menggeleng pelan, "Enggak kok, Bi." kilah Rania.
Bi Susi tak percaya, tapi mencoba untuk tidak membahasnya lagi.
"Kalau begitu, Rania kerja dulu, ya, Bi."
Rania berjalan melewati Bi Susi, mulai mengambil beberapa alat untuk mengerjakan tugasnya. Meski beberapa tatapan sinis dari pelayan lain ia terima, wanita itu tetap berpura-pura tak tahu.
***
Revan mengeliat di bawah selimutnya, terbangun saat alarm di atas meja samping tempat tidur berbunyi cukup nyaring.
Pria muda itu menghela nafas kasar, mendudukkan diri di atas tempat tidur lalu menyibakkan selimutnya dan beranjak ke kamar mandi.
Beberapa menit berlalu, kini Revan telah rapi dengan kemeja hitam dan dasi berwarna biru hitam yang melingkar di lehernya.
Segera ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar, melampirkan jas di tangannya sambil melangkahkan kaki mendekati tangga.
Perlahan kaki Revan menuruni anak tangga, hingga tiba di lantai dasar dan berniat mendekati ruang makan hingga sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Revan!"
Pria itu menoleh, menatap malas sosok pria yang berjalan mendekatinya dengan hanya mengenakan handuk putih.
"Apa kamu tidak bisa mengenakan pakaian terlebih dahulu baru keluar dari kamar?" Tanya Revan dengan nada tajam yang menusuk tulang.
"Aku tidak akan seperti ini jika memiliki baju untuk digunakan. Sayangnya aku lupa membawa baju, jadi bisa pinjamkan pakaianmu?" Dave mengerjapkan matanya, bersikap sok imut di hadapan sahabatnya itu.
"Naik ke kamarku, awas saja jika kamu menyentuh barang lain di dalam sana," ketus Revan membuat cegiran halus terbit di bibir Dave.
"Terima kasih, Revan," Dave berniat naik ke lantai dua hingga tiba-tiba berhenti saat tanpa sengaja melihat sosok gadis pujaannya.
"Pagi Rania," sapa Dave sedikit berteriak hingga suaranya mengema di dalam Mansion.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Nuris Wahyuni
bikin Revan makin cemburu
2021-09-20
0
Yunia Abdullah
aq lbih suka rania SM Dave
2021-08-31
1
Miswati Aekok
dave tulus bangett sama rania, tpi sayang rania sudah di ambil paksa sama revan
2021-08-27
2