Rania mengerjapkan matanya beberapa kali, menyentuh keningnya yang terasa berat.
"Ugh!" lenguh Rania menahan pusing di kepalanya saat mencoba mendudukkan diri di atas tempat tidur.
Rania menoleh ke samping kala mendengar suara, menatap Rara yang kini membantunya untuk bersandar pada kepala ranjang.
"Udah mendingan, Ran?" Tanya Rara khawatir.
Rania hanya mengangguk dengan bibir pucatnya, menolehkan kepala ke kanan dan kiri dengan tangan perlahan meraba tempat tidur.
Otak Rania mencerna, ia masih belum sadar jika dirinya tidak berada di dalam kamarnya.
'Kok empuk?' batin Rania bertanya, menunduk menatap selimut putih nan hangat menutupi kaki hingga pinggangnya.
Matanya membulat sempurna, 'Ya Tuhan, kenapa aku ada di kamar tamu!' pekiknya dalam hati saat tersadar di mana dia berada saat ini.
Rania berniat untuk turun dari tempat tidur. Namun, Rara menahannya.
"Mau ke mana?" Tanya Rara, menatap penuh tanya pada Rania.
"Ini bukan kamarku, Ra."
Rania tetap kekeh ingin pergi dari kamar tamu, menurutnya sangat tidak sopan bagi seorang pelayan sepertinya beristirahat di sana.
"Jangan, enggak usah pergi! Di sini aja," Rara tetap mencoba menahan gadis di hadapannya itu.
"Tapi, Ra ...."
"Enggak apa-apa, Ran. Lagipula Tuan Muda yang membawamu ke sini, jadi tidak masalah." jelas Rara, membuat Rania terdiam sejenak.
"Tuan Muda?" Rania membeo dengan wajah bodohnya. Tak percaya dengan hal yang ia dengar.
Rara menoleh, lalu menganggukkan kepalanya.
"Iya, dia yang gendong kamu ke sini saat pingsan tadi. Bahkan sampai marah-marah sama pelayan lain, sama aku juga. Karena kamu sampai maksain diri kayak gini," jelas Rara mulai mengambil sepiring nasi berserta lauk yang ia bawa di atas nampan.
Rania diam, wajahnya tiba-tiba merona merah. Sang Tuan Muda mengendongnya? Mengingat hal itu, membuat jantung Rania berdetak dua kali lebih cepat.
Ia menampar pelan pipinya sendiri, membuat Rara terkejut melihat tingkah aneh sahabat barunya itu.
'Apa yang kamu fikirkan, Rania. Dia peduli hanya karena kamu bekerja di mansionnya. Tidak ada hal lain,' batin Rania, menyadarkan dirinya dari hal yang mustahil. Tapi sungguh, jantungnya tidak bisa diajak kompromi.
"Kamu mikirin apa?" Tanya Rara, menyadarkan Rania.
Seketika gadis itu menoleh lalu mengeleng pelan pada sahabatnya, mencoba tersenyum untuk menghilangkan rasa canggungnya.
"Ini makan dulu, abis itu minum obat terus istirahat," ucap Rara, mengarahkan sesuap nasi berserta lauk ke mulut Rania.
"Aku bisa sendiri, Ra," ucap Rania berniat mengambil piring di tangan Rara. Ia tidak ingin merepotkan Rara.
"Makan Rania! Jangan ngeyel, deh. Kamu lagi sakit, nurut napa Maemunah!" Kesal gadis culun itu, seketika terlihat seperti orang yang berbeda.
Rania terkejut. Seketika ia memakan suapan yang Rara berikan.
"Nah, gitu dong," ucap Rara menepuk kepala Rania pelan bak seorang ibu.
Rania hanya diam menunduk dengan mulut yang menguyah, entah mengapa sikapnya benar-benar terlihat seperti anak kecil sekarang ini.
Rara terus menyuapi Rania hingga nasi di piring habis, wanita culun itu meletakkan perlahan piring kotor di atas nampan, memberikan air putih pada Rania.
"Sekarang minum obat ini, abis itu istirahat," ucap Rara memberikan sebuah obat pada Rania.
Gadis polos itu menurut, meminum obat yang Rara berikan.
Rara membantu Rania kembali berbaring di atas tempat tidur, lalu beranjak dari duduknya untuk keluar dari kamar tamu. Membawa nampan dengan piring bekas makan Rania ke dapur. Sekaligus mengerjakan pekerjaannya.
Baru beberapa menit Rania memejamkan matanya untuk tidur, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka. Seketika kelopak mata gadis itu terbuka, kembali mendudukkan diri di atas tempat tidur.
Rania menelan kasar salivanya dengan degup jantung yang berdetak dua kali lebih cepat, ia menunduk dalam saat sang pemilik Mansion berjalan mendekati tempat tidur.
"Sudah merasa lebih baik?" Tanya Revan dengan wajah datarnya.
Rania mengangguk cepat, berniat beranjak dari tempat tidur.
"Mau ke mana?" Tanya Revan datar dengan suara dingin mendominasi.
Rania menghentikan kakinya yang telah menyentuh lantai, ia mendongak menatap lebih jelas wajah Revan yang tengah menatapnya tajam.
Pria itu nampak begitu tampan, meski memang selalu tampan. Celana pendek berwarna hitam dan kaos putih melekat membungkus tubuh atletisnya. Di tambah rambut yang basah, menambah kadar ketampanannya.
Lagi-lagi jantung Rania berdetak tak karuan di dalam sana, bak lari marathon.
"Ma-mau keluar, Tuan." ucap Rania dengan kepala menunduk.
Terdengar helaan napas dikeluarkan oleh Revan, entah kesal atau apa. Rania tidak tahu.
"Kamu tidak tahu arti sakit, ya?" Tanya Revan, melipat tangan di dada dengan tatapan intimidasi.
Rania semakin gugup, tak sanggup mengangkat kepalanya hanya untuk sekedar mendogak atau mengangguk.
"Beristirahatlah hingga merasa lebih baik. Jangan memaksakan diri, aku tidak ingin ada berita kematian seorang pelayan karena bekerja terlalu keras di Mansion ini," dingin Revan, berlalu dari hadapan Rania.
Rania masih menunduk hingga terdengar suara pintu yang kembali tertutup, ia menoleh menatap daun pintu kamar bercorak putih gading tersebut.
Ia menghela napas lega, entah karena apa. Mungkin karena jantungnya yang mulai membaik di dalam sana, semakin lama berdekatan dengan Tuan Muda dingin itu, semakin membuat perasaan aneh hadir di benaknya.
Waktu berlalu, tepat pukul sembilan malam. Rania memutuskan keluar dari kamar tamu. Setelah merapikan sedikit tempat tidur yang berantakan karena dirinya.
Gadis itu melangkahkan kakinya perlahan, kondisi mansion sudah cukup sepi saat ini. Karena para pelayan telah memasuki kamar masing-masing.
Rania menghentikan langkahnya saat mendengar suara langkah kaki menuruni anak tangga, terlihat Revan berjalan santai dengan raut wajah dingin keluar dari Mansion.
'Sepertinya Tuan Muda ingin ke suatu tempat,' ucap Rania, melanjutkan langkahnya ke dapur, berniat minum terlebih dahulu sebelum memasuki kamarnya dan melanjutkan tidurnya.
Saat di dapur, Rania melihat Rara yang tengah membuka lemari pendingin, mengeluarkan botol air dingin dari dalam sana.
"Eh, Rania. Udah mendingan?" Tanya Rara saat menyadari kehadiran Rania, berjalan mendekati gadis itu sambil sesekali merapikan letak kacamatanya.
Rania mengangguk kecil dengan senyum di wajahnya, lalu berjalan mendekati rak khusus alat makan. Mengambil gelas dan menyodorkannya pada Rara.
Rara yang mengerti, segera menuangkan air dingin di gelas Rania.
Gadis itu meneguk perlahan air dingin pada gelas di tangannya, mulai menatap Rara dengan pertanyaan yang terus berputar di benaknya.
"Ra!" Panggil Rania.
"Ya ... kenapa, Ran?"
Rania menunduk ragu, ia merasa tidak pantas bertanya tentang pemilik mansion itu pada Rara. Mengingat jika dirinya hanyalah seorang pelayan.
"Tuan Muda sering keluar malam, ya?" Akhirnya pertanyaan itu Rania lontarkan, lantaran terus menganggu fikirannya.
Rara diam, mengerjapkan mata menatap wajah polos Rania yang bertanya padanya.
"Ah, itu. Iya, Tuan Muda itu selalu keluar malam. Ke club gitu, pas pulang nanti antara sadar dengan enggak," tutur Rara, mengingat beberapa kali membuka pintu untuk Revan yang kadang pulang sekitar jam lima pagi.
Rania diam, rasa penasaran semakin timbul di benaknya tentang sosok Tuan Muda pemilik Mansion itu.
"Kamu enggak tahu rumornya, ya?" Tanya Rara tiba-tiba, saat mendapati Rania hanya diam di tempatnya.
"Rumor? Rumor apa?" Tanya Rania penasaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Si Ocha
Aduh thor jangan sampai rania bucin duluan…
2021-09-14
0
M Iqbal Ginting
tidak usah kepo kepada tuanmu maemunah.....
2021-08-19
0
Dewi Dewi Ahmat
emng ya ke bnyk kn novel2, itu klo seseorng yng jdi pmeran utma tu nggk jauh dri brsift yng dngn angkh, bhkn smbng,ad juga yng kejm,,bhkn mnjdi ketua mafia atau pn gangsters,,tpi dlm wtk orng trsebut knpa ska main permpuan ya??lgi pla ska prgi ke club, clup sna club sni,stand nigt one,,kdng2 yng jdi mngsa itu ke bnyk kn gdis yng pols dn lugu..
2021-08-09
1