Entah berapa lama ia jatuh pingsan dan seberapa jauh ia sekarang dari jurang dimana dirinya dilemparkan oleh orang-orang yang tak ia kenali itu.
Satu hal yang pasti adalah ia berada di tepi sebuah sungai besar yang sekelilingnya terdapat pepohonan besar dan rimbun.
Ia pun beringsut dari dalam air sungai yang dangkal dan berlumpur, lalu duduk di tepi untuk membersihkan beberapa bagian tubuh dan jubahnya yang terlihat sangat kotor.
Setelah selesai, Ia bangkit dengan sekujur tubuh yang terasa sangat sakit dan perut yang lapar. Lalu ia berjalan menerobos semak-semak untuk mencari sebuah pohon yang buahnya bisa ia makan.
Belum sempat ia menemukan pohon yang memiliki buah, telinganya terlebih dahulu mendengar suara menggelegar sangat keras tak jauh dari tempatnya berada.
Dengan langkah kaki yang perlahan ia pun akhirnya sampai di tempat asal suara itu dan menemukan sosok dua orang kakek yang tergeletak bersimbah darah.
Ia pun lantas duduk karena merasa lemas dan lalu menghela nafas panjang seraya memandangi Liontin di tangannya.
“Siapa Kedua Kakek itu? Siapa dirinya dan mengapa ia berada di tempat asing ini?”
**
“Siapakah mereka berdua ini? Apakah masih hidup atau sudah mati?”
Pemuda itu bertanya kembali pada dirinya sendiri, sambil mengalihkan pandangan dari Liontin ditangannya kearah seorang kakek berjubah biru dan menghampiri sosok itu yang tak lain adalah Lin Kai.
Kondisi Lin Kai sangat mengenaskan, tangan kanannya terlihat buntung sebatas siku dengan lengan jubah yang juga hancur seperti terbakar. Darah pun terlihat masih mengalir tak henti dari bagian itu.
Pemuda tersebut segera membalikan tubuh Lin Kai dan membuat sosok tua itu dalam posisi setengah terduduk.
Ia pun menempelkan jarinya untuk mengetahui apakah kakek tersebut masih bernafas atau tidak.
“Masih hidup, aku harus segera menolongnya.”
Ia pun bergegas menarik tubuh Kakek itu untuk bersandar di sebatang pohon besar tak jauh dari mereka berdua.
Dengan susah payah, ia pun berhasil membawa tubuh Lin Kai dan membuatnya bersandar di pohon yang besarnya tak dapat ia ukur sekalipun dengan memeluk batangnya.
Pandangannya pun beralih pada sosok Kakek lainnya yang masih tergeletak entah mati atau tak sadarkan diri.
Ia pun kembali meletakan jarinya di depan hidung kakek berjubah putih itu, sesaat setelah tiba di dekatnya.
“Kakek ini pun masih hidup, Aku akan membawanya ke tempat yang berbeda agar setelah sadar nanti, keduanya tidak saling menyerang lagi.”
Kakek berjubah putih dengan motif pedang itu adalah Fu Kuan. Dengan langkah yang terseok-seok Pemuda tampan itu, segera membawa Fu Kuan ke sebuah pohon lain dengan cara memegangi kedua ketiak kakek itu.
Pada sebatang pohon besar lain dan terpisah sejauh lima meter dari Lin Kai, tubuh Fu Kuan disandarkan oleh pemuda tampan itu.
Pohon tempat bersandar Lin Kai dan Fu Kuan sekarang adalah dua buah pohon yang selamat dari imbas pertarungan keduanya karena batangnya yang sangat besar sekali.
Pemuda Tampan itu segera mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang dapat ia gunakan untuk membuat wadah minum dari potongan bambu yang banyak tergeletak di sekitar tempat itu.
Ia pun tersenyum saat menemukan sebuah pedang berbilah biru tak jauh dari tempat Lin Kai tergeletak tadi.
Ia segera bergegas mengambil Pedang berbilah biru itu dan membuat sebuah bumbung untuk menampung air.
Setelah selesai membuat empat bumbung air, Pemuda itu segera berjalan ke arah sungai dimana dirinya tadi tersadar dari pingsannya.
Selang lima menit kemudian ia telah kembali dengan empat bumbung yang penuh berisi air.
Saat telah berada di dekat Fu kuan dan Lin Kai, Pemuda berusia lima belas tahun itu tersenyum senang mendapati kedua kakek yang ia tolong telah siuman dan terlihat tengah duduk bermeditasi.
Fu Kuan yang pertama membuka mata dan mengakhiri meditasinya saat merasakan kehadiran orang lain berada diantara mereka berdua.
Selang beberapa detik kemudian, Lin Kai pun membuka matanya dan memandang heran pada sesosok pemuda tampan yang terlihat kumal dan berjubah kotor, berdiri diantara dirinya dan Fu Kuan.
“Bocah sepertinya kau menolong kami berdua untuk duduk, benarkah?”
Fu Kuan terlebih dulu menyapa Pemuda tersebut, Ia pun mengucapkan terimakasih setelah Pemuda tersebut menganggukan kepalanya.
“Terimakasih telah menolong kami, Bocah siapa namamu dan bagaimana bisa kau datang ke tempat yang pendekar saja enggan untuk mendatangi tempat ini!”
Lin Kai menanyakan nama pemuda itu setelah mengucapkan terimakasih.
Dahi kedua Kakek itu mengerut bukan karena menahan nyeri atau menahan pipis, itu karena heran mendapati pemuda itu terlihat kebingungan hanya untuk sekedar menyebut namanya saja.
“Kenapa kau terlihat seperti kebingungan, apa kau tidak ingat siapa namamu? Apakah kepalamu terluka?”
Fu Kuan menyuarakan dugaannya, ia pun lalu mengamati tubuh pemuda itu, dan ia pun akhirnya mengerti apa yang terjadi dengan penolongnya tersebut.
“Mengapa kau mengangguk-anggukan kepala Tua Bangka Keriput? Apa yang kau temukan?”
Lin Kai yang penasaran segera bertanya kepada Fu Kuan yang wajahnya berubah menjadi kesal karena apa yang ia pikirikan seketika buyar oleh teriakan Lin Kai.
“Tua Bangka Peot, apa matamu sudah rabun? lihat di belakang telinga kiri bocah ini, ada luka yang masih mengalirkan sedikit darah, mungkin itu yang menyebabkan ingatannya terganggu.”
Walau kesal dirinya dipanggil Kakek Peot, Lin Kai mengarahkan pandangannya ke arah telinga kiri pemuda tersebut.
Namun karena dirinya berada di samping kanan pemuda itu, ia tidak bisa melihat apa yang disebutkan oleh Fu Kuan.
“Bukan mataku yang rabun, tapi kau yang sudah pikun, Tua Bangka Keriput! Aku berada di sebelah kanannya, tentu saja yang kulihat telinga kanan, masa telinga kirinya, benar-benar sudah pikun kau ini.”
Lin Kai terkekeh setelah berkata demikian, itu karena ia mendapati Fu kuan tertegun mendengar perkataan darinya.
Saat hendak berdalih dan membalas ejekan Lin Kai yang masih terkekeh senang, suara lantang dan terdengar marah dari pemuda belasan tahun itu, membuat Fu Kuan menelan ludahnya dan tawa Lin Kai terhenti seketika.
“Kakek, apa Kakek berdua sudah bosan Hidup? Masih saja bertengkar seperti anak kecil yang memperebutkan permen walau tubuh kakek sudah terluka separah ini. Apa gunanya aku menolong Kakek berdua jika masih saja ingin bertarung lagi, lebih baik Aku pergi dari sini saja.”
Seandainya saja dirinya masih bisa mengerahkan tenaga dalamnya untuk bergerak, mungkin Lin Kai akan menampar mulut pemuda itu karena berani berbicara tajam kepada dirinya seperti tadi.
Namun sesaat kemudian ia menyadari kebenaran kata-kata tegas pemuda yang belum ia ketahui namanya itu.
Kekaguman pun muncul dalam hati Lin Kai, rasa yang jarang ia miliki saat bertemu dengan seseorang. Apalagi yang semuda ini, yang telah memiliki keberanian yang luar biasa untuk mengatakan sebuah kebenaran.
Mengingat Lengan kanannya hancur dan tubuhnya terluka dalam parah Lin Kai menyadari bahwa dirinya hanya mampu bertahan hidup tidak lebih dari setahun lagi.
Ia memandang pemuda tersebut dan dan muncul dalam hatinya niatan untuk menjadikannya seorang murid yang akan mewarisi seluruh ilmu beladirinya beserta Senjata Pusakanya, Pedang Awan Biru.
Berbeda dengan Lin Kai, Fu Kuan justru terlihat senang mendengar perkataan tegas Pemuda Tampan yang belum ia ketahui jatidirinya tersebut.
Dari perkataan pemuda tampan misterius itu, Fu Kuan menyadari bahwa pemuda itu adalah pemuda yang cerdas dan terpelajar serta memiliki Budi Pekerti yang baik.
Walau dalam kemarahannya ia masih bisa mengucapkan kata-kata yang memiliki nilai kesopanan saat lawan bicaranya adalah orang yang pantas menjadi Kakeknya.
Dengan Luka dalam yang parah ditubuhnya, Fu Kuan merasa tidak yakin dirinya bisa hidup lebih dari setahun lagi.
Karena hal itu maka terbersitlah niat dalam hatinya untuk mewariskan seluruh ilmu beladiri yang ia miliki dan senjata pusakanya, Pedang Bintang Merah kepada Pemuda tersebut.
Sementara itu Pemuda yang baru berkata tegas kepada kedua orang Kakek Pendekar itu, juga terlihat tertegun.
Ia pun lalu menyadari bahwa perkataannya tadi telah menyinggung hati kedua kakek yang sedang terluka parah itu.
Awalnya ia tak ingin meminta maaf atas ucapannya itu, karena menurutnya kedua Kakek tersebut benar-benar tak menghargai dirinya yang telah bersusah payah menolong mereka berdua.
Namun karena tidak mengetahui apa alasan keduanya bertarung, ia pun mencoba menetralisir kekesalan di hatinya.
“Kakek ...”
“Bocah ...”
“Anak Muda ...”
Suasana hening diantara mereka bertiga yang sedang asik dengan pikiranya masing-masing, segera saja sirna berganti derai tawa, saat ketiganya berkata nyaris bersamaan.
Bahkan Lin Kai merasakan kehangatan dalam tawa itu, kehangatan sebuah keluarga yang telah lama tidak ia rasakan lagi.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 341 Episodes
Comments
Matt Razak
mantap
2024-06-07
0
Yanka Raga
awal yg menarik
😎
2024-05-04
1
Darwito
hore
2024-02-06
3