Suami Malaikatku
"Sayang, aku benar-benar berterimakasih padamu. Aku sudah menjadi seorang Ayah untuk dua anak kita." tutur Abian sembari mengusap kening Indira yang sudah bercucuran keringat.
"Abi," panggil Indira dengan suara lemasnya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Abian.
"Aku lapar." jawab Indira.
Abian menatap Indira dan Dokter bergantian. "Tuan, sepertinya istri anda kelaparan." jawab Dokter itu
"Benar kelaparan, Dok? bukan karena istri saya hamil lagi?" tanya Abian dengan wajah antusiasnya.
Wajah Dokter tercengang mendengar perkataan Abian, lalu segera ia menyadarkan dirinya. "Istri anda sudah melahirkan, Tuan." sahut Dokter itu.
"Bi...aku lapar." tutur Indira.
"Iya sayang, ayo aku suapi saja." ucap Abian.
Di pertengahan makan, Abian kembali bertanya pada sang istri. "Sayang, aku rasa kau hamil lagi." ucapnya.
Indira memilih diam enggan untuk menjelaskan apa pun pada suaminya. Hamil dari mana? melakukannya saja belum.
"Terserah kau saja lah, Bi. Aku lelah." gumam Indira yang kini sudah memejamkan matanya karena kelelahan dan sangat mengantuk.
Abian tersenyum dengan bangganya, ia keluar dari ruangan dan menemui Nyonya Ningrum dan kedua orang tua Indira.
"Bagaimana istrimu?" tanya Tuan Kriss cemas.
"Dia terlelap lagi, sepertinya masa ngidamnya kali ini akan membuatku lebih pusing, Ayah." tutur Abian dengan senyuman bahagianya.
"Ngidam?" semua bertanya serentak seolah kaget mendengar perkataan Abian.
"Iya, aku tahu Indira sedang ngidam. Tadi makannya sangat lahap seperti biasanya, namun sayang Dokter tidak mau memberitahukan pada ku. Sepertinya Indira ingin memberiku kejutan." serunya.
"Abian, Indira bukan ngidam. Itu memang wajar bagi ibu yang baru saja melahirkan dia pasti makan begitu lahap." terang Nyonya Ningrum dengan terkekeh seraya menggelengkan kepalanya.
Abian yang mendengar penjelasan dari Nyonya Ningrum dengan cepatnya merubah raut wajah bahagia itu.
"Berarti Indira tidak hamil, Mam?" tanya Abian.
"Hamil, apa kalian baru saja melakukannya di dalam? tidak kan?" tanya Nyonya Ningrum.
Abian menggelengkan kepala, "Itu tidak, lalu hamil dari mana?"
Semua terkekeh melihat kebodohan Abian. "Iya yah, ah bodoh sekali aku. Kalau pun dia hamil pasti sudah ikut keluar bersamaan dengan anakku tadi." gumam Abian yang menyadari kebodohannya.
"Yasudah lah, nanti bisa buat lagi kok." Abian tersenyun-senyum sendiri membayangkan anaknya yang begitu banyak.
Tampak Bram yang juga baru keluar dari ruang bersalin istrinya. Wajahnya begitu cerah hingga matanya terlihat bekas menangis.
"Tuan, di mana Nyonya?" tanya Bram.
Abian mengernyitkan dahinya mendengar perkataan sekertarisnya itu. "Berapa nyawamu berani menanyakan istriku?" pekik Abian.
Bram meneguk kasar salivahnya. "M-maksud saya, Nyonya Indira bagaimana? saya ingin mengucapkan terimakasih karena telah mempersatukan kami." terang Bram.
"Tidak perlu, berterimakasih saja padaku. Sama saja, kan." ketus Abian.
Belum selesai perdebatan keduanya, kini Gibran dan Maureen sudah mendekat ke arah mereka.
"Mami, bagaimana Kak Indira?" tanya Gibran.
"Kakakmu baik-baik saja. Bayinya lahir dengan selamat." tutur Nyonya Ningrum.
"Syukurlah." ucap Maureen seraya mengelus dadanya pelan.
"Tidak perlu lega terlalu berlebihan seperti itu, Gibran. Hanya suaminya yang boleh seperti itu. Apa kau tidak ingin tahu bagaimana rasanya bahagiaku saat ini?" Abian berbicara begitu percaya dirinya.
"Astaga Kak, suami malaikatmu ini memang benar-benar menyebalkan sekali. Untung dia mencintai mu. Kalau tidak sudah ku cincang-cincang bibirnya yang suka berbicara seenaknya itu." gumam Gibran.
"Sudahlah mengapa jadi ribut? Abian Mami dan Bi Qila haru kembali ke rumah menjaga Rabian. Kasihan pelayan di rumah. Kau jaga Indira yah." pintah Nyonya Ningrum.
"Iya, Mami minta antar supir." jawab Abian lalu ia kembali masuk ke ruang Indira.
Bram dan Abian kini masuk ke ruang bersalin istri mereka masing-masing. Tak lama setelah kedua istri mereka sadar, kini suster datang membantu mereka untuk pindah ke ruang rawat.
"Kau sudah menjadi ibu, Gia." tutur Bram dengan wajah harunya.
"Iya, kita memiliki anak. Terimakasih." tutur Gia.
"Jangan latihan bela diri lagi, itu tidak baik untuk seorang ibu." ucap Bram.
"Kau takut jika aku mengalahkan tenaga bela dirimu kan?" tanya Gia tampak paham dengan keraguan Bram.
"Ti-tidak, tentu saja tidak. Aku sangat ahli, kau tidak akan bisa mengalahkan ku." ucap Bram.
"Setidaknya jangan ada perang di antara kita lagi untuk membuat adiknya lagi." ucap Bram yang tanpa sadar terdengar oleh suster yang tengah membantu menggantung infusan Gia.
Wajah suster itu tersenyum nampak ia tengah bekerja keras menahan tawanya. "Hus jangan berisik." pekik Gia.
Pintu ruang rawat Gia terbuka dengan sempurna menyambut kehadiran bayi mereka yang sudah di bersihkan oleh suster.
"Selamat yah, Ibu Gia atas kelahiran putri anda." seru suster itu dengan tersenyun ramahnya.
Gia menyambut anaknya dengan sangat antusias. Matanya terus menatap pada bayi mungil itu. Bram ikut mendekat dan mengusap wajah lembut itu dengan punggung tangannya.
"Dia sangat cantik." tutur Gia.
"Iya, sama seperti mu." sahut Bram.
"Baru kali ini aku mendengar hal itu. Coba katakan lagi." pintah Gia.
"Dia sangat cantik, sama seperti mu." Bram mengulang perkataannya.
Tanpa sadar ternyata Gia tengah mengerjai suaminya. Di depan pintu sudah terlihat yang lainnya tertawa menatap Bram.
"Terimakasih Tuhan, sepertinya semuanya sudah baik-baik saja. Semoga Tuan Abian dan sekertaris Bram tidak lagi melanggar agama." gumam Bi Qila yang baru saja ingin berpamitan pulang setelah menjenguk Indira di ruang sebelah.
"Sekertaris Gia, kami pamit pulang dulu. Selamat atas kelahiran putri anda. Semoga cepat kembali ke rumah." tutur Nyonya Ningrum dengan tersenyum hangat.
"Terimakasih, Nyonya." sahut Gia menatap ke arah Nyonya Ningrum.
Tuan Kriss dan Nyonya Veren masih berada di ruang rawat Indira. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan syukur karena telah di beri cucu lagi yang sama tampannya dengan Rabian.
"Abi, ada apa?" tanya Indira yang melihat wajah lemas suaminya.
"Huh aku harus puasa lagi." ucapnya seraya berdecak kesal.
Mata Indira membulat mendengar keluhan suaminya yang juga terdengar oleh kedua orangtuanya.
"Kau ini." pekik Indira.
"Sabar, Abian. Itulah prosesnya, jadi harus sabar. Lagi pula Indira juga masih tidak kuat kan?" seri Nyonya Veren.
Wajah Indira memerah karena malu, bagaimana suaminya bisa curhat tentang kegalauannya dengan kedua orangtuanya itu.
"Jadi siapa nama anak kalian?" tanya Tuan Kriss.
"Kami belum memikirkannya, Ayah." sahut Indira.
"Apa Ayah boleh memberikannya nama?" tanya Tuan Kriss dengan wajah memohonnya.
Abian terkejut belum sempat ia menolak, Indira sudah mengiyakannya. "Iya tentu saja boleh, Ayah."
"Rafael Malik." tutur Tuan Kriss.
"Nama yang tampan." ucap Indira tersenyum senang.
"Bagaimana bisa aku yang membuatnya, tapi Ayah yang memberikannya nama?" Abian protes tampak tidak terima.
Indira bisa melihat kekesalan wajah suaminya. "Abi, nanti nama anak kita yang ketiga kau lagi yang memberikannya nama." ucap Indira.
Wajah Abian yang redup seketika kembali cerah mendengarnya. Ia tersenyum senang, itu tandanya akan ada harapan lagi untuk Indira hamil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
San Private Music
Suamiku malaikatku ada versi audio gak ya?
2021-03-24
0
Green Garden
Permisi author dan para pembaca setia noveltoon.
Baca juga karya novel aku yang judulnya counting of love.
Tinggalkan komentar,like dan votenya juga ya...
2021-03-21
1
nhiena Ali
𝖆𝖘𝖙𝖆𝖌𝖆 𝖆𝖇𝖎𝖆𝖓 𝖐𝖒 𝖎𝖙 𝖑𝖚𝖈𝖚 𝖘𝖐𝖆𝖑𝖎 😂😂😂😂
𝖒𝖆𝖘𝖆𝖍 𝖞𝖌 𝖗𝖚 𝖑𝖆𝖍𝖎𝖗 𝖍𝖆𝖒𝖎𝖑 𝖑𝖌 🤣🤣🤣🤣
2021-03-08
0