Chapter 16. Balasan Yang Setimpal

Malam hari, Abian dan Indira turun kembali setelah beristirahat di kamar mereka cukup lama.

"Mah." panggil Rabian yang sudah duduk di kursi khusus miliknya untuk ikut bergabung makan malam.

"Sayang," sahut Indira tersenyum melihat semua yang sudah berkumpul di meja makan.

Gia juga ikut bergabung dengan mereka malam itu, meskipun langkahnya dengan Indira masih belum terlalu bisa cepat. Namun keduanya sangat merasa bosan dan tidak napsu makan jika makan di kamar.

Para pelayan menjaga Rafael dan Raina di kamar masing-masing.

"Bagaimana Gia, apa tidak kesulitan menjadi ibu?" tanya Indira yang baru bertemu dengan sekertarisnya itu.

"Sepertinya tidak terlalu Nyonya, karena Raina selalu tidur terus."

"Memang seperti itu kalau masih baru, nanti beberapa lama kau akan tahu saat mereka sudah mulai mengurangi waktu tidur." Nyonya Ningrum ikut menimpali pembicaraan.

"Sudah tidak usah mengambilkan aku makan. Kau diamlah biar aku saja." tutur Abian.

Bram juga ikut membantu Gia untuk mengambil makanan. Nyonya Ningrum hanya tersenyum melihat perlakuan dua suami manis itu.

Semua tampak menikmati makanan dengan lahapnya. "Bi, kita berkunjung ke rumah Ayah dan Ibu yuk." ajak Indira di sela-sela makannya.

Abian menghentikan makannya dan melirik wajah istrinya.

"Kau puasa dulu keluar, Sayang." sahutnya.

Indira sepertinya lupa jika dirinya masih baru saja keluar dari rumah sakit. "Iya, aku lupa." terang Indira.

***

Di kediaman Tuan Aditya, kini mereka semua sudah mendapatkan kabar tentang perkembangan kasus menantunya itu.

"Ayah sungguh tidak habis pikir, kamu haru sabar dan kuat, Fani." tutur Tuan Aditya dengan wajah lemasnya memikirkan perlakuan Ari.

"Fani juga tidak tahu Ayah, apa Fani masih bisa kuat saat ini." sahutnya lemas tak kalah dari Tuan Aditya.

Keduanya saling memijat keningnya yang sangat lelah memikirkan masalah mereka itu. Tiba-tiba saja suara mobil di halaman rumah terdengar mengejutkan Fani dan Tuan Aditya saat itu.

"Ayah, Fani." Suara ramai terdengar dari luar rumah itu ketika pintu mobil sudah terbuka.

"Siapa itu?" tanya pelan Fani pada Tuan Aditya.

"Ayah juga tidak tahu." jawab Tuan Aditya.

Ternyata mereka adalah Desi adik Fani dan Niko adik yang paling terakhir. Mereka datang bersama dengan suami istri mereka masing-masing.

"Kalian mengapa tidak mengatakan jika pulang?" tutur Tuan Aditya begitu kaget melihat kedatangan para anak dan menantunya.

"Kami sengaja, Ayah. Kalian pasti pusing memikirkan masalah Ari saat ini, kan?" sahut Desi tampak prihatin dengan rumah tangga Kakaknya.

Semuanya saling bersalaman dan bersapa pipi bergantian. Kini rumah Tuan Aditya tak lagi sepi.

Mereka duduk di sofa ruang keluarga, sementara beberapa pelayan sibuk mempersiapkan makan malam untuk keluarga besar itu.

"Kak Fani, kuatlah." ucap Ririn istri dari Niko.

"Kakak tidak apa-apa. Justru Kakak bersyukur sampai saat ini Kakak belum di karuniai anak dari pernikahan Kakak. Setidaknya tidak ada anak yang akan menjadi korban perceraian kami."

"Kak Fani benar ingin cerai?" tanya Rian suami dari Desi.

"Iya benar, Kakak sungguh malu memiliki suami seperti Ari. Selama ini Kakak berpikir terus mempertahankan pernikahan Kakak meski dia selalu bersikap kasar yang terpenting pernikahan kami tetap utuh. Dulu Kakak pernah berpikir suatu saat kesabaran Kakak akan berbuah bahagia. Nyatanya Kakak salah." ucap Fani tanpa sadar sudah meneteskan air matanya.

Bayangan tingkah kasar Ari begitu tanpa ampun memukul tubuhnya meski hanya masalah sepele. Tak jarang Ari juga juga melakukan kekerasan saat berhubungan di atas tempat tidur dengan Fani. Sama halnya yang pria itu lakukan dengan banyak wanita di luar sana termasuk Dita Kebs.

"Ayah, maafkan Fani. Ini semua tidak akan terjadi jika Fani menurut pada perkataan Ayah waktu dulu." Fani menangis berlutut dengan Tuan Aditya memohon ampun yang sedalam-dalamnya.

Tuan Aditya tak mampu bersuara lagi, air mata dari kedua kelopak mata yang keriput itu sudah nampak jelas jatuh bercucuran.

Tuan Aditya membungkukkan tubuhnya meraih kedua pundak Fani yang sudah berlutut di depannya saat ini.

"Ayah sudah memaafkan mu, Fani. Bangunlah anak Ayah, semua sudah terjadi. Ayah sungguh tidak tahu harus berbicara apa lagi saat ini. Ayah sedih, hati Ayah hancur melihat anak tertua Ayah mendapat perlakuan sangat tidak adil seperti ini. Mengapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya selama ini pada Ayah, Nak?"

Fani dan Tuan Aditya saling meneteskan air mata, begitu juga dengan keempat pasangan suami istri itu. Mereka turut merasakan kesedihan yang mendalam.

"Fani hanya malu pada Ayah, karena Fani yang meminta Ayah untuk percaya dengan Ari dan mau menerima meski Ayah berat untuk mengijinkan kami menikah, Ayah tetap berusaha mengikuti keinginan Fani. Fani sungguh malu Ayah. Tidak seharusnya Fani melawan Ayah saat itu."

"Kak Fani tenanglah. Semua sudah terjadi yang terpenting sekarang Kakak harus kuat dan bisa lebih mendengar apa yang Ayah katakan." tutur Niko.

"Iya Kak, Desi juga tidak bisa melihat Kakak dan Ayah sedih seperti ini."

Mereka saling merangkul dan berusaha memberikan Fani kekuatan.

Tuan Aditya hanya terdiam menggelengkan kepalanya. Sungguh hatinya bagaikan tersayat saat melihat kehancuran putri pertamanya itu.

"Selama ini Ayah selalu berlaku baik pada semua orang karena Ayah percaya apa yang kita lakukan itu juga yang kita dapatkan kelak. Tapi ternyata Ayah sadar mungkin ini semua bukan sekedar perlakuan baik akan mendapatkan balasan kebaikan. Tapi Tuhan memberikan ujian terberat pada keluarga kita agar kita bisa saling menguatkan sesama saudara."

Tuan Aditya tak hentinya menitihkan air matanya dengan tubuh yang sudah bergemetar. Fani, Desi dan Niko memeluk tubuh rapuh itu. Mereka bisa merasakan apa yang Tuan Aditya rasakan saat ini.

Cukup lama mereka saling melepaskan kesedihan itu sampai akhirnya Niko sebagai anak laki-laki satu-satunya segera melepaskan pelukannya.

"Ayo kita makan malam. Kamu sudah sangat kelaparan. Oh iya Bibi tolong bantu bawakan barang kami semua dari mobil yah." pintah Niko pada beberapa pelayan yang baru selesai menyiapkan makan malam itu.

"Kalian kapan keluar negeri lagi?" tanya Tuan Aditya.

"Untuk sementara kami memutuskan di sini dulu menemani Ayah karena di luar negeri sedang ada masalah, Ayah." tutur Niko.

"Apa virus Corona itu? oh iya apa benar virus itu ada?" Tuan Aditya teringat dengan berita yang ia dengar beberapa waktu belakangan ini.

"Iya Ayah, beruntung kamu sudah tiba di sini baru akses keluar di tutup. Kalau tidak kami semua akan terjebak di sana dan tidak bisa pulang." ucap Desi.

"Semoga saja mereka semua di sana bisa di berikan keselamatan." tutur Tuan Aditya.

Kini suasana sedih sudah berganti menjadi momen hangat keluarga besar itu. Mereka saling berbincang ringan sembari menikmati makan malam itu.

Berbeda dengan Ari yang saat ini sedang mendapat pukulan dari para anggota kepolisian di dalam sel itu.

"Ampun...saya tidak lagi melakukan hal itu."

Suara Ari terus memohon agar mereka menghentikan penyiksaan fisik itu padanya. Terlihat jelas beberapa bagian wajah yang sudah biru membengkak dan tampak tidak berbentuk wajah normal lagi.

"Kau pikir hanya dengan meminta maaf semua bisa selesai. Berapa wanita yang sudah kau rasakan? hah!" hardik salah satu anggota polisi itu dengan meraih rambut Ari menjambaknya hingga wajah pria itu tampak menengadah ke arahnya yang berdiri.

Sedangkan Ari saat ini sudah berbaring lemas di lantai.

"S-saya tidak tahu, Pak." ucap Ari.

"Kau ini sudah penikmat harta orang, ternyata juga penikmat wanita."

Kembali mereka menginjak-injak wajah dan menendang tubuh Ari hingga beberapa kali terlihat pria itu memuntahkan cairan berwarna merah dari mulutnya.

"Sekarang buka seluruh baju mu tanpa tersisa satu kain pun."

Ari menurut tanpa mau melawan, dia tahu jelas jika dirinya sampai berani melawan mungkin bukan muntah darah lagi yang ia alami tapi seluruh usus di perutnya akan keluar dengan keadaan hancur.

Semua tertawa melihat keadaan Ari yang bugil, tampak bagian badannya yang terlihat beberapa ukiran tato di sana.

"Wah wah ternyata nyali mu besar juga memakai tato seperti ini. Sepertinya aku ingin menambah tato sedikit saja."

Pria itu tampak menekan bara api yang menyala di rokoknya dan menggoreskan beberapa bagian di pinggir tato Ari.

Ari semakin berteriak kesakitan hingga tampak tubuhnya bergemetar. Keadaan dirinya yang tidak memakai sehelai kain pun sudah tidak lagi ia perdulikan saat ini. Yang ia terus pikiran waktu harus segera berakhir, ia sudah tidak sanggup mendapatkan siksaan itu.

Dita yang baru saja memberikan ketenangan pada kepolisian sudah di tuntun Luky menuju keluar kantor polisi dan mereka masuk ke dalam mobil Luky.

Tak ada percakapan yang terdengar di sana, hanya wajah sembab Dita yang terus mendengarkan suara sisa-sisa isak tangis yang sulit ia hentikan.

Terpopuler

Comments

bundan@ furqan<br />ika widya

bundan@ furqan
ika widya

lucky ma dita ja,, sprtiny lucky org yg baik

2021-09-05

0

s n d i

s n d i

,semoga mendapat ke bahagia buat Dita kebs

2021-03-16

0

Sri Hendrayani

Sri Hendrayani

ayo ditha sm lucky ada thor...

2021-03-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!