Chapter 15. Perlombaan Renang

Tak butuh waktu lama kini Luky sudah tiba di depan kantor polisi, langkahnya cepat berlari masuk tanpa memperdulikan pandangan orang sekitar. Ia sangat khawatir dengan keadaan Dita.

"Pak bisa saya menemui Dita Kebs? barusan saya mendapat telpon jika ia berada di sini menjalani pemeriksaan."

"Silahkan saya antar."

Luky mengikuti polisi di depannya yang berjalan tegap menuju sebuah ruangan yang tidak begitu jauh dari arah depan.

"Silahkan."

"Dita." Luky mendekat pada Dita yang tengah terbaring tak sadarkan diri.

"Apa yang terjadi?" tanya Luky lagi.

"Kamu hanya memberikan obat penenang karena sepertinya ada trauma berat yang ia alami dengan pelaku." terang salah satu polisi wanita.

Luky meraih lengan Dita dengan menggoyangkan perlahan.

"Dit, Dita bangun." panggil Luky.

"Sebaiknya anda tunggu saja, karena Nona Dita sedang berada di dalam pengaruh obat. Biarkan beberapa waktu dulu."

Luky menurut dan membiarkan Dita tetap tidur dengan tenang. Luky memilih duduk di pinggir kasur Dita sembari terus menatap Dita dalam. Sungguh malam nasib wanita itu, ia sama sekali tidak memiliki saudara mau pun kerabat selain Luky saat ini.

Cukup lama ia terdiam tanpa memalingkan pandangan sekali pun dari wajah Dita. Suasana ruangan sunyi hening tak ada yang bersuara selain bola mata yang terus menatap kesan kemari.

"Tidak tidak tolong jangan ganggu aku jangan ganggu aku." Dita tiba-tiba kembali bersuara dengan kepala yang terus bergerak ke kiri dan ke kanan tampak gelisah.

"Dita, hey." Luky menepuk-nepuk wajah Dita beberapa kali dengan pelan.

"Kak." Dita yang histeris ketika membuka kedua matanya segera bangun dari tidurnya dan memeluk tubuh Luky yang duduk di depannya.

Semua yang ada di ruangan itu hanya menatap wajah Dita dan Luky tanpa berani berbicara.

Luky membalas pelukan Dita dengan lembutnya. tangannya mengusap lembut kepala Dita.

"Hey Dita, tenang kau tidak akan kenapa-kenapa. Aku ada di sini bersamamu. Tenanglah." ucap Luky begitu lembut.

"Kak dia jahat, dia jahat padaku. Aku mohon tolong aku." tangis Dita terus membenamkan wajahnya pada tubuh Luky.

Cukup lama pelukan itu berlangsung hingga akhirnya Luky yang melepaskan pelukan dan menatap wajah Dita sembari mengusap lembut air mata itu.

"Tidak akan ada yang berani jahat pada mu lagi di sini. Ada mereka semua dan laki-laki itu sudah di jaga ketat Dita."

"Kak dia akan melakukan apa pun untuk bisa bersama ku." bantah Dita ketakutan.

"Hey ada aku disini." Luky kembali meyakinkan Dita.

Dita membawa dirinya ke dalam pelukan Luky lagi seakan dirinya sangat terlindungi jika berada di dalam pelukan itu.

Setelah yakin Dita jauh lebih tenang Luky mulai membujuk Dita agar bisa di ajak bekerja sama mengungkapkan kejahatan pria itu.

"Dita cerita kan semua yang dia lakukan padamu, dengan begitu dia akan di penjara lebih lama dan tidak akan bisa menemukan mu lagi." ujar Dita.

Luky menganggukkan kepala seolah mengajak Dita agar mau menuruti perkataannya.

"Ayo kata kan, aku akan memeluk mu tanpa melepaskan." bujuk Luky.

Dita kini sudah mulai semakin bisa mengontrol dirinya meski beberapa kali ia kembali ketakutan karena bayangan Ari selalu terlintas kembali di ingatannya.

Yang melakukan hubungan dengan terus memukuli tubuhnya hingga beberapa kali Dita juga mendapat perlakuan kotor yang disuruh melahap air ke**ingnya dan melakukannya dengan cambukan di tubuh Dita. Tak jarang juga bibir Dita luka-luka karena di gigit tanpa ampun oleh pria itu.

Kepemilikan Dita yang beberapa kali mengalami luka karena kekasaran Ari padanya membuat Dita hanya bisa pasrah jika dirinya akan mati di tangan pria baj*ngan itu.

Luky beberapa kali memejamkan matanya berusaha menahan diri meski ia benar tidak ikhlas mendengar semua perlakuan yang Dita dapat dari pria itu.

"Bukan Dita saja yang menangis, Luky juga beberapa kali meneteskan air mata sungguh tidak tega mendengar setiap kata yang Dita jawab dari pertanyaan polisi di depan mereka.

Kepala polisi wanita itu juga tampak menggelengkan beberapa kali, mereka sungguh tidak habis pikir mendengarnya. Karena yang mereka bayangkan hal itu hanya ada di dunia drama saja. Ternyata hal itu memang nyata, ada sebagian pria yang sangat menyukai kekerasan dalam berhubungan.

***

"Abi, sepertinya cuaca sangat enak untuk berenang." ajak Indira setelah mengantar kepergian Tuan Aditya dan yang lainnya keluar rumah itu dan melajukan mobilnya.

"Kau ingin berenang?" tanya Abian menatap Indira.

"Abi, mana bisa aku berenang keadaanku saja masih seperti ini. Itu Rabian ajak berenang kasihan dia selalu di tinggal sibuk Papahnya." pintah Indira.

"Rabian mau berenang sama Papah?" tanya Abian.

"Iya Pah, mau." seru Rabian.

Indira pun di dorong oleh Abian menuju tepi kolam renang untuk ikut menyaksikan pertunjukan dua pria itu.

"Papah sakit?" tanya Rabian saat berada di gendongan Abian.

"Oh tentu tidak sayang, Papah laki-laki kuat tidak mungkin sakit." tutur Abian dengan sombongnya.

Nyonya Ningrum yang menggendong Rafael ikut tersenyum melihat keseruan Abian dan Rabian berenang.

"Ayo Rabian atur nafas." pintah Abian yang mulai mengajarkan anaknya berenang.

Rabian beberapa kali merasa kesulitan, namun ia tidak mau menyerah. Rabian kembali menahan nafasnya fan menenggelamkan wajahnya di air kolam itu.

"Bi, jangan lama-lama tahan nafasnya." protes Indira tampak khawatir dengan Rabian yang masih kecil itu.

"Ayo lagi Rabian." pintah Abian.

"Bi...sudah kasihan dia."

"Sudah urusan ini kau tidak boleh protes." pekik Abian tanpa menatap wajah Indira yang sudah menekuk kesal.

"Mah, udah." bujuk Rabian yang kelelahan.

"Bi, sudah." teriak Indira.

Abian akhirnya mengalah dan membawa Rabian ke atas punggung lalu ia berenang kesana kemari dengan putranya yang hanya tertawa menikmati hari itu.

"Wah seru nih sepertinya." Gibran yang baru saja tiba akhirnya ikut bergabung atas perintah Abian.

"Apa yang kau lakukan di situ hanya berdiri?" tanya Abian menatap Gibran yang menikmati pemandangan Ayah dan anak itu.

"Em ti-dak Kakak ipar."

"Apa yang kau tunggu? cepat turun." pekik Abian.

Gibran hanya bisa pasrah sungguh kesalahan terbesar ia berani mendekat pada Abian. Akhirnya Gibran turun bergabung dengan Rabian dan Abian.

"Coba kalian uji kecepatan berenang." pintah Indira.

"Kau meragukan ku yah?" hardik Abian.

"Bisa di bilang begitu." ledek Indira.

"Rabian diam di sini yah." pintah Abian mendudukkan putranya di pinggir kolam dekat Indira duduk di kursi roda.

"Satu, dua, tigaaaa." teriak Rabian dengan antusiasnya saat menghitung lomba antara Papahnya dan unclenya.

Abian dan Gibran tidak membutuhkan waktu lama, "Ayo Pah ayo." seru Gibran yang bertepuk tangan begitu antusiasnya melihat perlombaan itu.

"Ayo Gibran, ayo jangan mau kalah." seru Indira seraya bertepuk tangan meriah.

Nyonya Ningrum hanya tertawa menikmati pertunjukan itu. Seisi rumah hanya berani mengintip dari kejauhan saja karena pembatas kolam itu dengan rumah hanya kaca transparan.

Suara Indira dan Rabian begitu hebohnya di pinggir kolam.

"Ye Papah menang Rabian." seru Abian yang memeluk tubuh mungil Rabian.

"Bagaimana kemampuan ku? apa kau masih meragukan suamimu ini?" hardik Abian.

Indira hanya tersenyum kagum sesekali ia menganggukkan kepalanya.

"Tadi kau tidak mendukung ku, kan?" hardik Abian.

"Aku tentu mendukungmu Bi." bantah Indira.

"Tidak, aku tahu kau mendukung adikmu. Ayo Rabian kita mandi." ajak Abian menggendong putranya meninggalkan Indira dan yang lainnya begitu acuh.

"Mam, lihatlah." Suara lemas Indira lelah menghadapi sikap Abian begitu kekanak-kanakannya.

"Mami tahu keinginan suamimu itu sayang, Dia selalu ingin menjadi yang utama untuk anak dan istrinya. Coba kau belajar memahami suamimu. Tidak ada suami yang seperti Abian di luar sana, yang selalu melakukan apa pun demi membahagiakan orang yang ia cintai."

"Iya Mami benar, baiklah Indira mungkin harus jauh belajar lebih banyak lagi untuk sabar."

Gibran segera mandi di kamar mandi yang di sediakan dekat kolam renang itu. Di sebelah, Abian dan Rabian baru selesai mandi dan memakai handuk kimono.

Rabian di gendong dan Abian segera melangkah ke kamar. "Biar Mami yang akan mendorong Indira." sahut Nyonya Ningrum.

"Baik Mami." jawab Abian dan berlalu pergi menuju lift.

Para pelayan di dalam rumah itu sudah nampak sibuk berlalu lalang untuk menyiapkan makan malam.

***

"Apa lagi yang harus ku lakukan demi masuk di kehidupan mereka? Abian sama sekali tidak memberikan ku celah untuk bekerja pun di kantornya, sial." pekik Afrah yang merasa geram dengan usahanya.

"Jika usaha halus tidak berhasil lihat saja, usaha kasar pun akan ku lakukan. Kau lihat Federic, aku sama sekali tidak akan main-main dengan pembalasan dendam ku ini."

Terpopuler

Comments

Yuni Ati

Yuni Ati

Jauh-jauhin tuh si ular cobra afrah Thor

2021-06-08

0

Aris Mamae Rakha

Aris Mamae Rakha

hiiii~iiiii si ular sanca mo berburu mangsa...😡😡😡😡😡😡😡😡😡

2021-03-16

0

Ningsih Ndraha

Ningsih Ndraha

kayaknya pelakor nggak kapok² ini..
hadeuhhh..🤭😴

lanjut thorr semangat 😁

2021-03-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!