"Kita buat yang banyak yah?" seru Abian.
Mata Indira memutar malas mendengar ucapan suaminya yang begitu bersemangat.
"Indira, kau ingin makan apa? biar nanti Ibu memasakkan di rumah." tanya Nyonya Veren.
"Indira belum ingin makan apa-apa, Bu. Lagi pula masa ngidam kemarin membuat Indira sudah sangat menikmati semua jenis makanan." tuturnya dengan tawa di wajahnya melirik sang suami.
"Nanti kalau hamil berikutnya apa kau akan ingin melakukan hal-hal seperti kemarin lagi?" tanya Abian.
"Tergantung," jawab Indira.
Abian mengernyitkan dahinya tak mengerti maksud Indira. "Abi, masa ngidam itu tidak selalu sama. Tergantung mau bayinya." terang Indira.
"Bagaimana Gia?" tanya Indira.
"Bayinya perempuan, kalian melahirkan dengan waktu yang bersamaan." ucap Abian.
"Hai Kak," sapa Gibran yang baru masuk bersama Maureen.
"Hai." balas Indira dengan suara yang masih belum bertenaga.
"Keponakan ku tampan sekali." puji Gibran yang mengusap lembut wajah Rabian.
"Ehem." Abian terdengar berdehem ia tampak memberi isyarat pada Gibran jika ketampanan itu adalah warisan darinya.
Gibran yang hanya tersenyum melihat tingkah kakak iparnya merasa geli. Mengapa Abian begitu eksis sekali.
"Kak Indira, selamat yah atas kelahiran bayi keduanya." Maureen menyapa Indira dan memberikan sebuah bunga yang sudah di rangkai indah.
"Terimakasih, sayang." sahut Indira.
"Sayang? Apa itu?"
Semua menatapnya dengan tatapan datar pada Abian. "Abi, hentikan pikiranmu itu." pintah Indira.
Abian masih tetap saja duduk di sebelah istrinya tanpa mau menjauh. "Indira, Ayah dan Ibu pulang dulu. Kau harus banyak istirahat yah." tutur Nyonya Veren.
"Iya, Ayah dan Ibu hati-hati." ucap Indira.
Kini tinggallah Maureen dan Gibran bersama pasangan suami istri itu, sedangkan para pelayan sudah kembali ke rumah.
"Abi, kapan aku bisa pulang?" tanya Indira.
"Masih empat hari lagi, mengapa? kau tidak betah aku menemanimu terus?" tanya Abian dengan sorot mata tajamnya.
Indira yang masih lemas ingin sekali rasanya mengunci rapat mulut suaminya agar tidak mengajaknya berdebat.
"Aku kepikiran dengan Rabian." ucap Indira.
"Kak, jangan khawatir Mami dan para pelayan sangat menjaganya. Lagi pula Rabian sudah bukan bayi lagi dia lebih aktif bermain tentu tidak akan bosan." terang Gibran.
"Iya adikmu benar, nanti aku akan pulang sebentar untuk menjenguk Rabian. Aku tidak mau anak kita di bawa ke sini kasihan dia." ucap Abian.
Indira pun hanya terdiam, pikirannya terus melayang pada putra tampannya itu. "Coba telpon rumah." pintahnya.
Abian meraih ponselnya dan menekan panggilan video pada nomor Bi Qila.
Di seberang sana Bi Qila segera mengangkat panggilan video itu. "Iya, Tuan." jawab Bi Qila.
"Apa yang terjadi, Bi?" tanya Abian syok melihat Bi Qila sudah kelelahan dan wajahnya berkeringat.
"Ini Tuan muda Rabian meminta Bibi dan Nyonya Ningrum untuk menjadi kuda, Tuan." terang Bi Qila dengan nafas yang memburu.
"Maafkan anak saya, Bi. Suruh pelayan pria saja yang melakukan hal itu." pintah Abian tidak tega.
"Tuan muda Rabian tidak mau, Tuan. Ini Tuan, Papah." Bi Qila menyodorkan ponselnya pada wajah Rabian yang tengah menikmati duduk di punggung Nyonya Ningrum.
Abian terkekeh melihat keaktifan Rabian di seberang sana.
"Ini anak kita baik-baik saja." tutur Abian pada Indira.
"Sayang," panggil Indira.
"Mah." Rabian menyapanya dengan wajah yang sudah tertawa.
Terlihat Nyonya Ningrum yang seperti kuda sedangkan Bi Qila memegangi tubuhnya agar tidak terjatuh.
Gibran yang mendapat ide segera berpamitan untuk pulang bersama Maureen.
"Kenapa buru-buru sekali?" tanya Maureen.
"Kita haru latihan." tutur Gibran seraya semakin menginjak gas mobilnya.
"Latihan?" tanya Maureen bingung.
"Latihan, iya latihan jaga anak kecil." ucap Gibran.
Maureen yang mendengarnya tersenyum malu-malu, ia paham dengan maksud perkataan Gibran.
"Apa Gibran akan segera mengajakku menikah?" gumam Maureen.
"Maureen, kau kenapa?" tanya Gibran.
"Hah tidak, aku tidak apa-apa." jawab Maureen.
***
Sementara di ruang rawat, Bram yang tampak sibuk dengan pekerjaannya di laptop segera bangun saat Gia memanggilnya.
"Ehem." panggilan Gia dengan berdehem tanpa mau menyebut Huby lagi.
Bram menoleh menatap sang istri. "Ada apa?" tanya Bram.
"Aku sepertinya ingin buang air kecil." tutur Gia.
"Hah? jadi bagaimana? apa bisa ke kamar mandi?" tanya Bram.
Gia menggelengkan kepalanya. "Ini masih sangat sakit aku tidak berani bergerak." ucap Gia.
Bram kasihan melihat keadaan istrinya kali ini. "Tadi Dokter memberikan pelapis kan?" tanya Bram.
Gia menganggukkan kepalanya. "Yasudah buang air kecil di situ saja, nanti biar aku yang menggantikannya lagi." ucap Bram.
Kaget mendengar usulan sang suami Gia hanya bisa meneguk kasar salivahnya.
"Aku sudah tidak tahan lagi." tutur Gia menggeliatkan tubuhnya. Bram mendekati Gia belum sempat ia melapisi tubuh istrinya lagi, Gia sudah terlanjur mengeluarkan cairan di bawah sana.
"Astaga, Bram tembus." tutur Gia yang mengejutkan suaminya.
Bram bukan hanya kaget melihat cairan yang di keluarkan istrinya begitu banyak, ia juga sangat terkejut mendengar Gia memanggilnya dengan sebutan nama.
"Tembus." ucap Gia begitu malu.
Ia tidak menyangka jika pembal*t yang ia pakai tidak bisa menampung seluruh cairan yang ia keluarkan.
"Mengapa kau menyebut namaku?" tanya Bram yang tidak menghiraukan tingkah Gia yang panik.
"Aku merasa ada yang aneh dengan panggilan sebelumnya. Aku lebih nyaman memanggil seperti itu." terang Gia.
Bram yang kini bergerak mengangkat sedikit tubuh Gia lalu membersihkan seluruh air yang membasahi tempat tidur itu menekuk wajahnya.
"Kau marah?" tanya Gia.
Bram hanya diam dengan telatennya ia terus membersihkan tubuh sang istri.
Tangan Gia meraih pergelangan tangan suaminya. "Jangan marah, seprtinya kemarin itu hanya bawaan bayi." ucapnya lirih.
"Kalau begitu panggil saja terus, sekarang kau tidak hamil kan?" ketus Bram.
"Tapi...aku..." Gia tampak ragu mengiyakan permintaan suaminya.
Rasanya sungguh menggelikkan memanggil Bram dengan sebutan Huby, sementara wajah Bram begitu kaku.
"Panggil aku seperti itu lagi, atau kau mau aku bikin hamil lagi sekarang!" Bram mengancam dengan raut wajah kesalnya.
Ia tidak terima jika Gia berubah tidak manja padanya. Mata Gia melotot mendengar ancaman Bram.
Mau menghamili katanya, jahitannya saja belum kering. Bahkan untuk bergerak saja Gia masih belum berani. Apa Bram ingin membunuhnya secara nikmat begitu? sungguh suami tidak beradab.
Gia meneguk kasar salivahnya, lalu menganggukkan kepalanya sekali. "Begitu kan manis." tutur Bram tersenyum puas lalu mendaratkan satu ciuman di kening Gia.
"Apa tidak jijik?" tanya Gia menatap suaminya yang berwajah datar saat membersihkan tubuh Gia yang basah itu.
"Untuk apa jijik? semua yang ada pada dirimu aku suka. Lagi pula ini juga proyek kita berdua kan?" tutur Bram.
"Proyek?" Gia bingung menatap sang suami penuh tanya.
"Proyek baby." bisik Bram.
Gia memutar matanya malas, lagi-lagi peribahasa suaminya sangat asing di telinganya.
"Kita belum memberikan nama untuk putri kita." lanjut Bram yang sudah tersenyum mengelus pipi bayi mungil itu yang sudah tertidur di tempatnya.
"Aku ingin nama panggilannya Raina." usul Gia.
Bram menganggukkan kepalanya setuju, nama yang indah. "Nama yang bagus, lalu berikutnya aku yang memberikan nama," Bram tampak berfikir lalu ia mengusulkan nama. "Valencia." ucapnya.
"Raina Valencia, cantik. Aku menyukai namanya." ucap Gia.
Keduanya tersenyum saling menatap dalam, "Terimakasih Gia." tutur Bram.
"Aku juga berterima kasih." seru Gia. Bram melangkah mendekati istrinya lalu keduanya berpelukan dengan hangat.
***
Kini seorang wanita cantik mengenakan heels tinggi berukuran dua belas sentimeter turun dari mobilnya lalu meletakkan kacamata hitam tepat di hidung mancungnya. Ia menggenggam sebuket bunga mawar putih lalu melangkahkan kakinya menuju satu ruang rawat di rumah sakit itu.
Langkah kaki jenjangnya kini sampai pada satu pintu ruang rawat yang tertutup sempurna.
Abian dan Indira menoleh bersamaan mendengar suara ketukan pintu. Knok pintu terbuka lalu ia menebar senyuman begitu lebar. Kaca mata yang ada di kedua matanya kini ia tarik ke atas kepala.
"Afrah." Suara Abian yang terkejut melihat kehadiran wanita itu lagi.
"Halo Tuan dan Nyonya Malik, selamat atas kelahiran putra kedua kalian. Saya mendengar dari berita dan kebetulan saya masih berada di Indonesia jadi saya menyempatkan untuk menjenguk putra tampan anda." tutur Afrah tersenyum tanpa bisa di artikan oleh Indira.
Abian masih diam tanpa mengatakan apa pun, ia tidak menyangka jika wanita itu masih saja ingin memasukkan dirinya di lingkungan Abian, setelah lamanya Abian tidak menerima permohonan Afrah untuk tenaga kerjanya.
"Abi," panggil Indira.
"Iya sayang." ucap Abian.
"Berikan kursi ini padanya." pintah Indira.
Abian berdiri dan memilih duduk di sofa sementara Afrah duduk di samping tempat tidur Indira.
"Nyonya Malik, anda benar-benar wanita yang beruntung bisa hidup dengan bahagia di dalam kekuasaan suami anda." puji Afrah dengan tersenyum tanpa menghentikan senyuman yang penuh makna itu.
Indira pun membalas senyuman itu juga. "Iya anda benar, Nona. Saya benar-benar beruntung selain kekuasaan suami saya, saya juga bisa menguasai hati saya. Sampai satu pun wanita yang ingin masuk ke dalam hidup kami selalu tidak bisa. Iya kan Bi?" Indira membalas ledekan Afrah dengan mengajak Abian meresponnya.
"Iya sayang." jawab Abian.
"Sayang, sebaiknya kau istirahatlah keadaanmu masih sangat lemah." pintah Abian.
Namun bukan Indira namanya jika bisa tenang sebelum membalaskan kekesalannya saat itu juga.
"Aku belum mau tidur, lagi pula kasihan ada tamu yang datang harus di tinggal tidur. Aku tidak akan tega, karena aku tahu suamiku ini tidak akan mau bicara pada wanita."
"Apa benar seperti itu, Nona?" tanya Afrah lagi.
"Tentu saja, kali itu ia mau bicara denganmu ternyata hanya ingin membuat diriku cemburu. Sungguh suamiku ini benar-benar mencintai istrinya bukan?"
Indira terus berbicara seolah memberi tahu pada wanita di hadapannya jika tidak akan ada cela untuknya bisa masuk ke dalam kehidupan mereka.
"Afrah, terimakasih atas kunjungan dan niat baikmu kemari. Tapi istriku sangat keras kepala jika ada kau. Aku khawatir dia akan drop nanti." terang Abian secara halus mengusir wanita itu.
"Baiklah kalau begitu saya permisi pulang dulu." Afrah melangkah keluar ruang rawat Indira lalu menutup pintu, sebelum pintu tertutup sempurna wajahnya sempat menyunggingkan senyuman licik pada Indira.
Bukannya marah, Indira justru tersenyum lembut membalas senyuman Afrah padanya.
"Berani sekali dia." gumam Afrah yang sangat geram dengan kelembutan Indira padanya.
"Sayang, sebaiknya kau tidak perlu bicara banyak padanya." pintah Abian.
"Aku tidak banyak bicara, Bi. Aku hanya memastikan pada semua wanita tidak ada celah untuk mereka masuk di kehidupan kita." bantah Indira.
Abian melangkah mendekati sang istri lalu memeluknya begitu erat. "Aku pastikan tidak akan ada wanita mana pun yang bisa masuk dalam kehidupan kita, Sayang." tutur Abian mendaratkan satu ciuman di bibir dan kening Indira bergantian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
nhiena Ali
𝖏𝖌𝖓 𝖆𝖉 𝖕𝖊𝖑𝖆𝖐𝖔𝖗 𝖉𝖑𝖒 𝖐𝖊𝖇𝖆𝖍𝖆𝖌𝖎𝖆𝖆𝖓 𝖎𝖓𝖉𝖎𝖗𝖆𝖆𝖇𝖎𝖆𝖓. 🙏❤
𝕾𝖆𝖒𝖆𝖜𝖆 𝕬𝖇𝖎𝖆𝖓𝕴𝖓𝖉𝖎𝖗𝖆 😍😍😍
𝖑𝖆𝖓𝖏𝖚𝖙 𝖙𝖍𝖔𝖗 🤗🤗🤗
2021-03-08
0
nhiena Ali
𝕶𝖔𝖈𝖆𝖐 𝖘𝖐𝖆𝖑𝖎 𝕭𝖗𝖆𝖒 𝖉𝖆𝖓 𝕲𝖎𝖆 🤣🤣🤣🤣
𝖔𝖍 𝖘𝖔 𝖘𝖜𝖊𝖊𝖙 𝕬𝖇𝖎𝖆𝖓 𝕴𝖓𝖉𝖎𝖗𝖆 😍😍😍😍
𝖇𝖆𝖍𝖆𝖌𝖎𝖆 𝖘𝖑𝖑𝖚 2 𝖕𝖆𝖘𝖆𝖓𝖌𝖆𝖓 𝖎𝖓 ❤❤❤
2021-03-08
0
AsKia Putri Salmani
Abian terdebest jadi suami
2021-03-04
0