Chapter 12. Perkelahian Tuan Dan Sekertaris

Gibran sudah menuju ke rumah kembali sementara Maureen kini memilih beristirahat di kamarnya.

Semenjak kemarahan Abian saat itu, Gibran sama sekali tidak berani menemui Dita sekali pun hanya menjenguk di tempat jualannya.

"Maafkan aki, Dita. Semoga kau bisa tetap semangat yah. Ini semua demi kau dan Kak Indira aku berusaha menuruti perintah Kakak ipar." ucap lirih Gibran dengan tetap fokus mengendarai mobilnya.

Di sisi lain, kini Dita yang tengah sibuk berjualan di kejutkan kembali dengan Luky.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara Luky terdengar di tengah-tengah keramaian para pembeli.

"Kak Luky." ucap Dita yang terkejut melihat kehadiran pria tampan itu.

"Ayo duduk Kak, biar Dita buatkan jus dan cemilan dulu yah." Belum sempat Dita beranjak pergi tangannya sudah di raih oleh pria itu.

"Biar aku membantu mu, Dita." ucapnya.

Dita tersenyum dan menganggukkan kepalanya setuju.

Keduanya tengah asyik berjualan dengan semangatnya.

Dari arah lain, kini Gibran yang melajukan mobilnya demi memastikan keadaan Dita baik-baik saja kini melihat sosok Dita yang tengah berdiri di samping pria dengan wajah cerianya.

"Dita? syukurlah sepertinya dia sudah tenang. Semoga kalian bisa bahagia kelak, siapa pun pria itu aku ikut senang." ucap Gibran dan segera pergi.

"Dita." panggil Luky yang melihat reaksi Dita menatap dalam kendaraan yang melintas di jalanan itu

"Dit, ada apa?" tanya Luky lagi.

"Hah? bu-kan apa-apa Kak. Ayo kita lanjut lagi." ucap Dita.

"Sepertinya mobil itu milik Gibran. Ah sudahlah tidak mungkin dia berani melakukan itu. Sadarlah Dita kau hanya terlalu berharap dengannya." gumam Dita yang menggelengkan kepala agar pikirannya bisa kembali fokus lagi.

"Kak Luky apaan sih?" seru Dita yang menutup wajahnya saat sadar dengan silaunya kamera.

"Cantik." ucap Luky.

Kini pembeli sudah mulai sepi, Dita yang ikut duduk bersama dengan Luky saling tersenyum kelelahan.

"Kak, terimakasih yah sudah bantu Dita. Apa Kakak tidak bekerja?" tanya Dita.

"Lagi belum ada kerjaan, yah sebenernya lagi butuh model sih. Ini lagi nyoba-nyoba." tutur Luky

Dita mengernyitkan dahinya bingung. "Nyoba?' tanyanya.

"Iya, aku lagi nyoba buat kamu jadi model aku lagi." jawab Luky.

"Ahahahahaha Kak, siapa yang bolehin? Dita sudah tidak akan bisa jadi model lagi bahkan kerjaan lainnya. Mereka semua sudah menutup akses buat Dita, Kak." ucapnya sembari terus terkekeh geli.

"Yah coba aja, Dita. Lagi pula ini kan bukan model untuk bisnis. Ini dalam ajang lomba yang bertemakan cara menanggulangi tingkat pengangguran dengan pengusaha kecil." terang Luky.

"Kak Luky sejak kapan ikut pekerjaan kecil seperti itu?" tanya Dita merasa aneh seorang fotografer Internasional mau memasuki area kerja yang sangat tidak berkelas seperti itu.

"Eits jangan bilang tidak berkelas, itu pekerjaan yang sangat keren. Manfaatnya bagus loh untuk negara kita biar di luar sana banyak yang mendapat motivasi untuk membangun usaha sendiri meski kecil dari pada menjadi tenaga kerja di bawah pimpinan negara asing." terang Luky

"Sebenarnya selain itu, juga demi kamu Dita." gumam Luky melanjutkan ucapannya tanpa memalingkan pandangan dari Dita

Di depannya Dita terlihat beberapa kali menganggukkan kepalanya mengerti.

***

"Bi, ini punya Rabian?" tanya Gibran heboh melihat banyaknya mainan yang masih terbungkus rapi di dalam rumah itu.

"Iya Tuan," jawab Bi Qila.

"Mami di mana, Bi?" tanya Gibran lagi.

"Nyonya Ningrum ada di kamar, Tuan. Beliau baru saja ke kamar sepertinya kelelahan setelah berkeliling mall tadi." terang Bi Qila.

Gibran yang tadinya ingin menemui Nyonya Ningrum terhenti karena mengetahui jika Maminya pasti sangat lelah.

Akhirnya Gibran duduk di sofa ruang tengah seraya menyandarkan kepalanya di sofa itu. Hari ini semua sengaja tidak ada yang bekerja karena menyambut kedatangan Indira.

"Nanti malam saja sebaiknya aku bicarakan ini." ucap Gibran.

Rumah kembali sunyi saat Rabian sudah masuk ke dalam kamar Indira. Bocah itu terlelap dalam usapan lembut yang di berikan sang Ibu.

"Mbem...mbem. Mamah Mbem." Suara Rabian tampak mengigau.

Di kamar itu hanya ada Indira, Rabian dan Rafael. Karena Abian sudah berada di ruang kerjanya.

"Sayang, kau ini bisanya mengigau? apa mau naik mobil?" Indira tampak menduga-duga.

Knock pintu tiba-tiba terdengar setelah beberapa kali di ketuk.

"Bibi." ucap Indira tersenyum.

"Nyonya, saya di perintahkan Tuan Abian untuk kemari." jawab Bi Qila cepat.

"Bi, apa Rabian tadi ingin naik mobil atau apa? soalnya baru saja dia mengigau seperti naik mobil." ucap Indira.

"Oh itu, tadi Tuan muda Rabian habis membeli mobil yang besar Nyonya." terang Bi Qila.

"Mobil-mobilan, Bi?" tanya Indira lagi.

"Iya Nyonya, mobil mainan tapi yang bisa di jalankan ukurannya bisa di masukkan Tuan muda Rabian."

"Kamu ini lucu sekali sih, Sayang." Indira beberapa kali mencium kening putranya yang terlelap itu.

"Bibi tiduran di sini saja sama kami." pintah Indira.

"Tidak Nyonya, jangan." bantah Bi Qila ragu.

"Ayolah Bi, tidak apa-apa tiduran di sini saja. Bibi pasti lelah menggendong Rabian terus tadi."

Akhirnya Bi Qila pun menuruti perintah Indira, dengan ragu ia mulai mendaratkan tubuhnya di kasur namun hanya duduk tanpa mau membaringkan tubuhnya.

Indira hanya tertawa lucu melihat kekakuan Bi Qila.

"Mengapa Bibi jadi lembut sekali seperti itu sekarang? padahal dulu pertama kali kita bertemu Bibi sangat menakutkan ku." tawa Indira pelan mengingat masa lalu mereka begitu kelam.

"Itu hanya Bibi lakukan seperti perintah Tuan, Nyonya. Bibi di suruh berekspresi menakutkan agar Nyonya merasa takut." terang Bi Qila.

"Oh jadi itu hanya setingan yah, Bi? astaga benar-benar Abian yah."

Keduanya saling berbagi cerita begitu asyiknya hingga Bi Qila yang tadi hanya duduk di pinggir perlahan naik semakin naik dan kini mereka sudah berbaring bersama saling berbagi cerita.

Bi Qila menceritakan semua masa kecil Abian yang benar-benar memprihatinkan.

Di kamar lain, Gia merasa bosan sekali terus berbaring tanpa keluar kamar. Anak bayi yang bersamanya juga masih tertidur lelap.

"Bangunlah sayang, Mamah bosan bosan sekali tidak ada teman bicara." tutur Gia.

Rutinitas yang selalu ia lakukan kini sudah tak lagi bisa ia lakukan untuk sementara waktu.

Sedangkan Bram yang sejak tadi merasa aneh dengan tatapan Abian tampak bingung. Ia sadar ada yang tidak beres namun ia tidak berani bersuara sebelum Abian yang mengajaknya bicara terlebih dulu.

"Ada apa lagi ini?" tanya Bram dalam hatinya.

Abian sudah tak tahan lagi untuk bisa tetap fokus bekerja. "Kita ke ruang olahraga sekarang." pintah Abian.

Bram tercengang mendengar perintah Abian. "Tuan." ucap Bram yang ingin bicara namun tidak di beri kesempatan oleh Abian.

Pria itu sudah berjalan lebih dulu menuju ruang yang sudah di beritahu pada Bram.

Bram melangkah mengikuti Tuannya dengan rasa penasaran yang terus membingungkannya.

Kini keduanya sudah berada di ruang olahraga itu, Bram yang di perintahkan memegangi samsak terus mendapatkan pukulan dari Abian beberapa kali. Pria itu begitu terlihat kesal pada sekertarisnya.

"Mampus aku Bram." pekik Abian yang beberapa melampiaskan kemarahannya pada samsak yang di pegang Bram.

Keringat di wajah Abian sudah nampak bercucuran. Ia menghentikan aktifitasnya dan segera membuka pakaiannya.

"Bram lepas bajumu, dan ambil itu." pintahnya agar Bram kini sudah menjadi lawan tinjunya.

Usai keduanya bersiap kini Abian dan Bram sudah saling memukul satu sama lain. Keahlian mereka sangatlah baik dalam hal ini. Namun kemarahan Abian sepertinya menghilangkan keseimbangannya dalam bertinju.

Hingga beberapa kali, Abian terkena pukulan dari sekertarisnya itu. Kemarahan Abian masih tidak jelas apakah tertuju dengan Bram atau justru tertuju dengan hasrat yang tak bisa tersalurkan.

"Maafkan saya, Tuan." Bram kembali bersuara saat wajah Abian terkena pukulannya lagi.

Namun Abian enggan bersuara, ia terus menyerang sekertarisnya itu.

Keduanya terus saling menyerang tanpa henti, sementara di lantai bawah ada keluarga dari Tuan Damar yang baru saja tiba.

Para pelayan menyambut hangat kedatangan mereka di ikuti dengan Gibran.

"Kakek." ucap Gibran sangat terkejut melihat kedatangan Tuan Aditya dan yang lainnya.

"Cucu Kakek sudah dewasa sekali yah. Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Tuan Aditya sembari menepuk punggung cucunya yang tampan itu.

"Gibran sangat baik, Kek. Oh iya ayo kita masuk semua. Bibi tolong beritahu yang lainnya ada Kakek datang." pintah Gibran.

"Baik, Tuan." jawab pelayan dan segera menuju ke kamar Nyonya Ningrum dan juga Indira.

Kebetulan sekali Tuan Aditya datang, Gibran jadi lebih muda untuk berbicara tentang rencana pernikahannya dengan Maureen.

Terpopuler

Comments

Putri Nazwa

Putri Nazwa

bram bonyok tuh sama abian😆

2021-03-13

0

AsKia Putri Salmani

AsKia Putri Salmani

Lanjut thor up nya

2021-03-12

1

Ningsih Ndraha

Ningsih Ndraha

lanjut thorr semangat 😁

2021-03-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!