Chapter 11. Muliakan Maureen

Abian yang baru saja sampai di rumah segera membawa Rabian menuju ke kamar.

"Tante, kami pulang dulu yah. Salam buat Indira." ucap Kayra yang segera kembali masuk ke mobil setelah mengantar Nyonya Ningrum dan Bi Qila ke pintu rumah.

Nyonya Ningrum hanya tersenyum. "Iya Kayra, Queensya kalian hati-hati yah. Nanti Tante sampaikan salam kalian." jawab Nyonya Ningrum.

Kedua wanita cantik itu segera pulang ke apartemen mereka.

"Ayo kita masuk, Bi." ajak Nyonya Ningrum dengan Bi Qila.

Keduanya masuk ke rumah dengan tangan yang sudah penuh beberapa tas belanjaan.

Nyonya Ningrum segera merebahkan tubuhnya di atas sofa yang empuk dan menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa itu.

"Kemari, Bi. Pasti Bibi juga lelah." sahut Nyonya Ningrum.

Bi Qila hanya menggelengkan kepalanya. "Saya biasa saja Nyonya. Tidak lelah sama sekali." ucapnya.

Nyonya Ningrum yang sadar dengan kemampuan fisik Bi Qila tersenyum malu. "Bi, lain kali ajari saya olahraga yah."

Mendengar permintaan Nyonya Ningrum, Bi Qila sedikit terkejut. Namun tentu ia tidak memiliki jawaban lain selain iya.

"Iya, Nyonya." jawab Bi Qila.

Para pelayan di rumah itu sudah mengeluarkan semua mainan Rabian dari mobil.

Tak lama kemudian, satu jasa pengantar barang juga tiba di kediaman itu. Dua orang pekerja turun dari mobil lalu mengangkatkan mobil milik Rabian.

Di kamar Indira yang sudah bersedekap dan kedua mata yang menatap tajam kedatangan dua pria itu.

"Mah." panggil Rabian.

"Sini sayang." ucap Indira mengulurkan kedua tangannya menyambut Rabian.

"Mengapa lama sekali?" tanya Indira.

"Nanti kau lihat saja mainan Rabian." jawab Abian enggan untuk menjelaskan apa pun karena perkataannya tentu tidak akan merubah pikiran Indira.

Abian yang ingin masuk ke kamar mandi segera di hentikan oleh Indira saat mendengar panggilannya.

"Abi." panggil Indira.

"Ada apa?" tanya Abian.

Indira hanya terdiam menatap suaminya dalam. Abian sangat paham tatapan apa itu yang ia dapatkan.

Ia tampak menghela nafasnya pelan. "Aku tidak bertemu dengannya, biarkan saja dia. Kamu takut?" tanya Abian.

"Syukurlah kalau mereka tidak bertemu. Awas saja kau wanita ular." pekik Indira dalam hati.

"Sayang." panggil Abian dengan melambaikan tangannya melihat tatapan istrinya yang kosong.

"I-iya, Bi. Aku tidak bertanya kok." jawab Indira berbohong dengan wajah yang berusaha tampak masa bodohnya.

Abian hanya pasrah mendengar perkataan istrinya. Ia kembali melanjutkan langkahnya ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Rabian terlihat baring di samping Indira dengan wajah lelahnya. Indira mengusap-usap kepala putranya selang beberapa waktu Rabian sudah terlelap.

"Sayang, kau cepatlah besar. Biar bisa melaporkan jika Papah mu nakal di luar yah." ucapnya.

Indira masih dalam posisi duduk bersandar di sana dengan kedua kaki yang ia selonjorkan karena kepemilikannya masih sakit.

Abian yang baru saja keluar dari kamar mandi begitu terlihat mempesona. Indira menatapnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan lagi.

"Sudah puas melihatnya?"

Indira tampak membuang wajahnya merasa kesal karena Abian begitu membuat dirinya malu.

Indira segera bangkit dari kasur hendak menurunkan kedua kakinya perlahan.

"Mau kemana?" tanya Abian.

"Mau menyiapkan pakaian untukmu." jawab Indira.

Abian tersenyum melihat perhatian Indira. Ia melangkah mendekati istrinya hingga Indira tak lagi melanjutkan langkahnya.

"Sudah tidak usah bergerak, aku bisa mengambilnya sendiri." ucap Abian.

Tangannya meraih kedua bahu Indira dan kini mereka sudah saling menatap. Tiba-tiba Abian mendaratkan satu ciuman di kening sang istri.

"Nanti malam aku memintanya yah." ucapnya setengah berbisik.

Kening Indira mengkerut tak mengerti mendengarnya.

"Minta apa?" tanya Indira.

"Minta hak Abian." jawabnya.

"Bi, bagaimana bisa kau memintanya? ini saja masih belum sembuh." jelas Indira.

Abian tiba-tiba melahap bibir Indira dengan rakusnya tanpa perduli pukulan Indira di dada bidangnya.

"Bi, kau ini kenapa?" pekik Indira yang terlihat kesulitan mengatur nafasnya.

"Gia saja sudah memberinya tadi." ucapnya.

"Gia? maksudmu Bram mengatakan itu?"

Abian menganggukan kepalanya dengan wajah polosnya.

"Oh jadi begini balas dendam mu sekertaris besi, kanebo kering? tunggu yah pembalasan ku." gumam Indira.

Wanita itu meraih ponsel miliknya tanpa perduli lagi dengan Abian yang berdiri di depannya menunggu jawaban setuju dari Indira.

Ia menatap wajah Indira bingung. "Siapa yang ingin dia hubungi?" gumam Abian penasaran.

Indira tampak mengetik sesuatu di ponselnya dan setelah beberapa saat ia menyerahkan pada Abian.

"Ini Bi, sebaiknya kau harus banyak membaca sekarang. Jangan bekerja terus, katamu kau tidak akan bisa bangkrut bukan?" tanya Indira.

Abian meraih ponsel lalu membaca hasil pencarian yang menunjukkan artikel tentang wanita setelah hamil.

Di sana tertulis jelas berapa lama masa nifas. Abian begitu antusias membacanya, Indira yang kesal akhirnya merebahkan tubuhnya kembali ke kasur meninggalkan Abian yang masih berdiri mematung.

Usai membaca artikel itu, kini Abian meletakkan ponsel istrinya lalu menuju ke ruang pakaiannya.

Abian terlihat menyedihkan jika bertingkah diam seperti itu. Indira yang menatap dari atas tempat tidur merasa tidak tega melihat suaminya yang mengambil pakaian sendiri.

"Apa sudah ketemu? aku membantu yah?" tanya Indira.

"Tidak usah, sayang." sahut Abian.

Tanpa ia lihat Indira sudah berdiri dari tempat tidurnya dengan langkah yang sangat pelan. Karena takut jika jahitannya sampai terluka.

"Hey, mengapa kau turun dari tempat tidur?"

Abian panik saat menyadari kehadiran istrinya di dekatnya.

"Sudah minggirlah, Abi. Biarkan aku yang mencarikan mu pakaian." pintahnya.

Abian yang berdiri di belakang Indira hanya menurut meski dirinya khawatir dengan keadaan Indira.

Pakaian lengkap sudah Indira genggam ia segera menghadap pada Abian dan membantunya memakai baju itu.

Abian yang menatap wajah Indira terus begitu terharu. Ia sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Segera pria itu memeluk tubuh Indira. "Aku mencintaimu, Sayang. Aku sangat mencintaimu." ucap Abian.

Indira hanya tersenyum membalas pelukan suaminya. "Iya Bi, aku juga sangat mencintai mu." sahut Indira.

"Ayo istirahatlah, aku harus ke ruang kerja setelah ini." ucap Abian.

Ia menggendong tubuh Indira dan membawanya ke atas kasur. "Aku ke ruang kerja dulu yah. Nanti Bi Qila akan ke sini." ucap Abian.

Indira hanya mengangguk saja menatap kepergian suaminya.

***

"Eh Gibran, ayo masuk." ucap Bu Desinta yang menyambut ramah kedatangan anaknya bersama Gibran.

"Iya Tante." sahut Gibran.

Maureen dan juga Gibran kini melangkah masuk ke rumah. Kali ini ketegangan Gibran tidak begitu terasa setelah ia mendengar dari Bu Desinta jika Ayah Fadil ternyata tidak ada di rumah.

Mereka bertiga duduk di ruang tamu, dan Gibran yang terlihat gugup sesekali meremas tangannya sendiri.

"Tante, em...Gibran ingin bicara sesuatu." ucapnya.

Bu Desinta tampak tersenyum lembut menunggu ucapan dari Gibran.

"Iya silahkan, Gibran. Mau bicara apa yah?" tanya Bu Desinta.

"Gibran, akan segera melanjutkan hubungan dengan Maureen ke jenjang yang lebih serius lagi. Jadi kedatangan Gibran kemari ingin memberi tahu Tante untuk Gibran akan datang kemari lagi bersama keluarga nanti." terangnya dengan wajah yang sudah berlumuran dengan keringat.

"Oh itu, syukurlah. Tante ikut senang mendengarnya. Baiklah nanti Tante akan sampaikan pada Ayah Maureen yah. Tapi sebelum itu, Tante ingin bicara pada Gibran dulu." ucap Bu Desinta kini sudah terlihat serius.

"Iya Tante, bicara apa yah?" tanya Gibran semakin bergemetar.

"Gibran serius mencintai Maureen?" tanya Bu Desinta.

"Iya Tante, Gibran sangat mencintai Maureen." jawabnya yakin.

Maureen hanya tersenyum tanpa henti melihat keyakinan Gibran padanya.

"Tante mohon Gibran berjanjilah sebagai pria, perlakuan Maureen dengan baik. Jangan pernah sedikit pun Gibran menggores hati Maureen. Jangan pernah Gibran lupakan sosok istri Gibran saat kemudian hari nanti hidup kalian sudah sukses."

Maureen yang tadinya tersenyum kini sudah tidak bisa menunjukkan senyuman itu lagi. Kedua mata indah itu sudah banjir dengan air mata mendengar pesan Ibunya.

"Tante jangan khawatir, Gibran mungkin tidak begitu banyak memberikan janji. Tapi Gibran akan melakukan semuanya Tante."

"Maureen sama sekali tidak pernah melukai bahkan membuat kami sedih sebagai orangtuanya, Gibran. Jadi perlakukanlah Maureen dengan baik seperti ia memperlakukan kami dengan baik yah."

"Iya Tante, Tante jangan khawatir untuk itu. Gibran juga memiliki kakak perempuan. Gibran tahu bagaimana sakitnya kakak Gibran jika terluka. Gibran tidak akan tega berlaku seperti itu pada Maureen, Tante."

Setelah percakapan panjang akhirnya Bu Desinta yakin dengan semua obrolan singkatnya dengan Gibran.

Kini moment tangis itu telah berganti menjadi bahagia. Bu Desinta merasa lega sekali setelah yakin dengan semua ucapan Gibran

Terpopuler

Comments

Putri Nazwa

Putri Nazwa

bram hati2 kau, besok ketemu indira habis luh😂😂,,semangat up💪❤❤

2021-03-13

0

Aris Mamae Rakha

Aris Mamae Rakha

tampol aja Indira...itu mulutnya si Bram, biar dia g sembarangan ngomong sebelum bertanya maksut sebenarnya 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣

2021-03-11

1

Salsabila Azahra

Salsabila Azahra

kayanya bram akan kena semprot nih😂😂

2021-03-11

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!