Chapter 9. Papahnya Gemesin

Mata Gia membulat sempurna karena terkejut, ia berusaha berucap namun Bram tak memberi Gia kesempatan berbicara.

Bram terus melancarkan aksinya sementara tangannya sudah berusaha menembus tubuh istrinya dari dalam pakaian.

"Jangan." pekik Gia yang mendorong kasar tubuh suaminya.

"Kau ini kenapa sih?" tanya Gia begitu syoknya.

"Aku menginginkannya, Gia." jawab Bram dengan tatapan sayupnya.

Sementara wajahnya sudah mulai mendekat lagi ke wajah Gia hendak melanjutkan aksinya.

"Masih belum boleh, masih sakit." ucap Gia.

"Tapi aku menginginkannya." bisik Bram.

Mendengar ucapan suaminya Gia merasa takut sendiri, sejak kapan Bram jadi seperti itu.

"Kau tidak ingat saat di rumah sakit? bagaimana Dokter menjahitnya?" tanya Gia mengingatkan momen menegangkan itu.

Bram yang sudah bertumpu dengan kedua sikunya di atas tubuh Gia kini merebahkan tubuh itu di samping sang istri. Wajahnya lemas mendengar penolakan sang istri.

Wajahnya terlihat kaku menahan malu karena penolakan itu. Baru kali ini Bram mendapatkan penolakan.

"Sial ini gara-gara bocah itu. Awas kalian." umpat kesal Bram.

***

Nyonya Ningrum dan yang lainnya kini sudah berada di mall. Rabian menangis dari gendongan Bi Qila.

"Ada apa, Tuan muda?" tanya Bi Qila.

"Tulun tulun?" rintih Rabian dengan tubuh yang terus berusaha memberontak dari gendongan Bi Qila.

"Cucu Oma kenapa sayang?" Nyonya Ningrum segera menghampiri cucunya itu.

"Tulun Oma tulun." bujuk Rabian terus meminta turun.

"Ayo cepatlah turun bocah sialan. Aku menunggumu." ucap Afrah dengan penuh keinginannya menunggu Rabian turun.

Namun sepertinya usahanya kali ini harus ia pendam saat Rabian beralih ke dalam gendongan Queensya.

"Sini sama aunty aja yah, Rabian mau beli mainan mobil-mobilan itu tidak?" tanya Queensya.

"Mau mau."

Mereka semua tersenyum puas saat mendengar Rabian menginginkan sebuah mobil remot yang bisa ia tumpangi.

"Hati-hati Queen." ucap Nyonya Ningrum.

Bi Qila yang begitu antusias menjaga Rabian tak sedikit pun bisa memberikan celah pada Afrah yang sudah sejak tadi mengintai Rabian.

"Tuan, sepertinya Nona Afrah memiliki rencana pada Tuan muda Rabian." ucap pengawal itu melalui sambungan telfon yang sudah terhubung dengan Abian.

"Ada apa, Bi?" tanya Indira cemas sembari mengusap lembut kening bayinya yang berada di dalam gendongannya.

"Awasi terus dan pastikan tidak terjadi apa-apa dengan Rabian." Abian segera mengakhiri panggilan telepon itu dan mendekat pada Indira.

"Dia ternyata mengikuti mereka ke mall." ucap Abian.

Indira yang tadinya duduk bersandar refleks bangun dari sandaran itu hingga hampir saja Rafael tersedak saat meneguk asi.

"Maafkan Mamah sayang." tutur Indira pada Rafael.

"Afrah, Bi?" tanya Indira mencari tahu lagi.

Abian menganggukan kepalanya. Indira tampak khawatir ia begitu takut jika putranya sampai kenapa-kenapa.

"Bi, kita kesana sekarang." ucap Indira.

"Hey...hey kau masih sakit sayang. Biarkan pengawal yang mengatasi semuanya. Apa kau lupa siapa Bi Qila?" tanya Abian.

"Iya aku tahu dan aku sangat ingat, tapi kalau sampai Rabian kenapa-kenapa bagaimana, Bi? aku takut ayo kita susul mereka sekarang." Indira terus melontarkan kekhawatirannya pada putra kesayangannya itu.

Abian sudah tidak bisa lagi meyakinkan Indira kali ini. "Iya sudah biarkan aku yang menyusul mereka yah, kau di rumah saja kasihan anak kita lagi pula tubuhmu juga masih belum pulih."

Indira menganggukan kepalanya setuju, Abian segera beranjak dari tempat tidur mengambil jas miliknya dan mencium kening Indira dan Rafael bergantian.

"Aku pergi dulu, istirahatlah di kamar tunggu kepulangan ku." ucap Abian.

Indira yang menunjukkan wajah cemasnya hanya bisa mengangguk saja mendengar perkataan sang suami.

Abian melangkah menuju pintu sebelum kakinya melangkah keluar Indira kembali bersuara. "Bi..." ucapnya lirih.

Abian berhenti melangkah dan menoleh ke arah Indira.

"Apa, Sayang?"

"Hati-hati." sahut Indira.

Abian tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Aku pergi dulu yah?"

"Bi..." Indira kembali memanggilnya saat Abian ingin melangkah lagi.

Pria itu tampak tersenyum kaku dan menatap wanita cantik yang tampil sangat natural di tempat tidur itu dengan rambut yang tergulung tinggi di kepalanya.

"Pergilah bersama Bram." pintah Indira begitu takut jika suaminya sampai terjerumus dengan wanita ular itu.

"Apa kau cemburu?" tanya Abian menggoda.

"Jangan menggodaku atau aku akan ikut pergi!" ancam Indira.

Abian begitu kaget mendengar ancaman istrinya. Sejak kapan Indira bisa mengancamnya seperti itu.

"Iya aku bersama Bram, sudah?" tanya Abian memastikan jika langkahnya tidak berhenti lagi.

Indira menganggukan kepalanya lalu Abian segera menutup perlahan pintu itu.

Beberapa kali ia menghubungi Bram namun tidak di jawab. "Sejak kapan Bram sulit di hubungi seperti ini?" pekik Abian.

Segera saja ia menuju ke lantai tempat Bram dan Gia tidur. Ia menekan tombol lift, kemudian lift pun terbuka setelah beberapa saat.

Di kamar Gia terdengar suara ketukan pintu dari luar.

"Siapa sih yang mengganggu?" ucap Bram kesal sembari memperbaiki jas miliknya yang dan kemeja yang menunjukkan beberapa kancing di sana sudah terbuka.

"Kemeja mu perbaiki dulu." pintah Gia.

"Tidak usah, biarkan saja aku meminta dengan orang yang mengetuk pintu itu." ketus Bram masa bodoh.

Gia hanya menggelengkan kepalanya, tanpa sengaja Gia melirik ponsel suaminya yang memperlihatkan panggilan tidak terjawab dari Abian.

"Astaga, Tuan." ucapnya.

Belum sempat Gia memanggil Bram di depan sana, pintu sudah lebih dulu terbuka.

Wajah Bram begitu terkejutnya melihat sosok Abian yang sama sekali tidak pernah menghampirinya ke depan kamar. Bukan tanpa sebab Abian melakukan hal itu, semua karena seorang Rabian.

Mata Abian menatap ke arah kemeja Bram yang berantakan. Ia terkejut menyaksikan penampilan Bram yang berantakan.

"Pantas saja aku menghubungi mu sulit sekali." ketus Abian.

Bram gugup mendengar perkataan Tuannya. Ini semua karena ulah Gibran yang membuat Bram begitu menginginkan hingga ia tidak memikirkan Abian yang sewaktu-waktu menghubungi dirinya.

"Astaga aku sampai lupa memeriksa ponselku yang sudah ku silent." gumam Bram.

"Bram seperti habis melakukan sesuatu." gumam Abian namun belum sempat ia melamun lebih jauh lagi Bram sudah membuyarkan lamunannya.

"Tuan, ada apa menghampiri saya kemari?" tanya Bram.

"Oh itu kita harus menyusul mereka di mall karena wanita itu sudah mengincar Rabian." terang Abian.

"Masih beraninya kau." pekik Bram dalam hatinya.

"Baik, Tuan. Mari kita berangkat." ajak Bram dengan cepatnya tanpa memperdulikan keadaan pakaiannya yang berantakan itu.

Gia di tinggal bersama putrinya di dalam kamar tanpa mengatakan apa pun.

Kedua pria yang bertubuh tegak tinggi itu kini sudah berjalan ke arah luar rumah setelah keluar dari lift.

"Silahkan, Tuan."

Abian masuk lalu di ikuti dengan Bram yang sudah duduk di kemudi mobil itu. Mobil pun melaju ke arah mall tempat Rabian memilih mainan.

"Tuan muda mau mainan yang mana?" tanya Bi Qila.

Rabian menunjuk beberapa mainan seperti bola basket lengkap dengan ringnya kemudian robot-robot dan masih banyak lagi.

"Bi, apa tidak apa-apa jika Rabian berbelanja sebanyak ini?" tanya Nyonya Ningrum khawatir jika Abian tidak menyukai.

"Nyonya tenang saja, Tuan Abian kalau pelit bukan Tuan Abian namanya tapi Tuan medit."

Semua terkekeh mendengar ucapan Bi Qila. "Lagi pula Tuan Abian juga sudah meminta Nyonya untuk berbelanja ini ada kartu kredit yang barusan Tuan berikan." terang Bi Qila.

"Tidak ah Bi, saya tidak mau belanja apa-apa." ucap Nyonya Ningrum.

Tak butuh waktu lama, Abian dan Bram kini sudah tiba dengan langkah cepatnya mereka menuju tempat yang sudah di beri tahu oleh pengawal.

"Mami belanja lah sana. Bi Qila bawa Mami belanja kebutuhannya biar Rabian bersamaku." pintah Abian yang mengejutkan semuanya.

"Abian," Suara Nyonya Ningrum.

"Tuan." Bi Qila juga terdengar bersuara.

"Ba-ik, Tuan." ucap Bi Qila segera memberikan Rabian.

Kayra dan Queensya tampak berlari cepat mengikuti Nyonya Ningrum dan Bi Qila.

Mereka enggan untuk bersama Rabian meski rasanya masih tidak rela jika meninggalkan anak itu. Tapi rasa takut lebih menguasai kedua sahabat Indira itu.

"Papah." ucap Rabian yang sudah mencium wajah Abian dengan penuh kasih sayang.

Abian tersenyum dan membalas ciuman putranya. "Anak pintar." sahut Abian.

"Abian? Mengapa dia bisa sampai ikut menyusul juga?" gumam Afrah yang masih berdiri di tempat yang sama seperti tadi.

"Mana lutut ku sudah sakit sekali lagi." ucapnya seraya memijat-mijat pelan lututnya karena ulah Rabian.

Abian yang menggendong putranya kini sudah menunjuk beberapa mainan yang di pilih anak kesayangannya itu. Bram yang sejak tadi masih mengekor di belakang mereka begitu membuat para pekerja wanita di toko mainan itu begitu tampak gugup.

Ketampanan Abian dan Bram begitu mencuri perhatian para kaum hawa yang bekerja di toko mainan.

"Duh gemesnya," ucap salah satu wanita itu.

"Pengen cubit pipinya." ucap salah satu wanita lainnya lagi.

"Perasaan dari tadi kau dekat dengan anak itu kenapa tidak mencubitnya?" tanyanya dengan penasaran.

"Bukan anak itu tapi pengen cubit Papahnya. Nggak kuat liatnya."

Mereka terus berbisik dengan suara yang tidak begitu jelas terdengar.

Bram yang memperhatikan sejak tadi hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.

Terpopuler

Comments

Sri Hendrayani

Sri Hendrayani

papah rabian emang gemesin.. 😍😍

2021-03-09

1

PratamaAkb

PratamaAkb

😘😘😘😘 buat author,,, lanjut kak

2021-03-09

0

AsKia Putri Salmani

AsKia Putri Salmani

Lanjut thor up nya

2021-03-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!