"Sayang, aku benar-benar berterimakasih padamu. Aku sudah menjadi seorang Ayah untuk dua anak kita." tutur Abian sembari mengusap kening Indira yang sudah bercucuran keringat.
"Abi," panggil Indira dengan suara lemasnya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Abian.
"Aku lapar." jawab Indira.
Abian menatap Indira dan Dokter bergantian. "Tuan, sepertinya istri anda kelaparan." jawab Dokter itu
"Benar kelaparan, Dok? bukan karena istri saya hamil lagi?" tanya Abian dengan wajah antusiasnya.
Wajah Dokter tercengang mendengar perkataan Abian, lalu segera ia menyadarkan dirinya. "Istri anda sudah melahirkan, Tuan." sahut Dokter itu.
"Bi...aku lapar." tutur Indira.
"Iya sayang, ayo aku suapi saja." ucap Abian.
Di pertengahan makan, Abian kembali bertanya pada sang istri. "Sayang, aku rasa kau hamil lagi." ucapnya.
Indira memilih diam enggan untuk menjelaskan apa pun pada suaminya. Hamil dari mana? melakukannya saja belum.
"Terserah kau saja lah, Bi. Aku lelah." gumam Indira yang kini sudah memejamkan matanya karena kelelahan dan sangat mengantuk.
Abian tersenyum dengan bangganya, ia keluar dari ruangan dan menemui Nyonya Ningrum dan kedua orang tua Indira.
"Bagaimana istrimu?" tanya Tuan Kriss cemas.
"Dia terlelap lagi, sepertinya masa ngidamnya kali ini akan membuatku lebih pusing, Ayah." tutur Abian dengan senyuman bahagianya.
"Ngidam?" semua bertanya serentak seolah kaget mendengar perkataan Abian.
"Iya, aku tahu Indira sedang ngidam. Tadi makannya sangat lahap seperti biasanya, namun sayang Dokter tidak mau memberitahukan pada ku. Sepertinya Indira ingin memberiku kejutan." serunya.
"Abian, Indira bukan ngidam. Itu memang wajar bagi ibu yang baru saja melahirkan dia pasti makan begitu lahap." terang Nyonya Ningrum dengan terkekeh seraya menggelengkan kepalanya.
Abian yang mendengar penjelasan dari Nyonya Ningrum dengan cepatnya merubah raut wajah bahagia itu.
"Berarti Indira tidak hamil, Mam?" tanya Abian.
"Hamil, apa kalian baru saja melakukannya di dalam? tidak kan?" tanya Nyonya Ningrum.
Abian menggelengkan kepala, "Itu tidak, lalu hamil dari mana?"
Semua terkekeh melihat kebodohan Abian. "Iya yah, ah bodoh sekali aku. Kalau pun dia hamil pasti sudah ikut keluar bersamaan dengan anakku tadi." gumam Abian yang menyadari kebodohannya.
"Yasudah lah, nanti bisa buat lagi kok." Abian tersenyun-senyum sendiri membayangkan anaknya yang begitu banyak.
Tampak Bram yang juga baru keluar dari ruang bersalin istrinya. Wajahnya begitu cerah hingga matanya terlihat bekas menangis.
"Tuan, di mana Nyonya?" tanya Bram.
Abian mengernyitkan dahinya mendengar perkataan sekertarisnya itu. "Berapa nyawamu berani menanyakan istriku?" pekik Abian.
Bram meneguk kasar salivahnya. "M-maksud saya, Nyonya Indira bagaimana? saya ingin mengucapkan terimakasih karena telah mempersatukan kami." terang Bram.
"Tidak perlu, berterimakasih saja padaku. Sama saja, kan." ketus Abian.
Belum selesai perdebatan keduanya, kini Gibran dan Maureen sudah mendekat ke arah mereka.
"Mami, bagaimana Kak Indira?" tanya Gibran.
"Kakakmu baik-baik saja. Bayinya lahir dengan selamat." tutur Nyonya Ningrum.
"Syukurlah." ucap Maureen seraya mengelus dadanya pelan.
"Tidak perlu lega terlalu berlebihan seperti itu, Gibran. Hanya suaminya yang boleh seperti itu. Apa kau tidak ingin tahu bagaimana rasanya bahagiaku saat ini?" Abian berbicara begitu percaya dirinya.
"Astaga Kak, suami malaikatmu ini memang benar-benar menyebalkan sekali. Untung dia mencintai mu. Kalau tidak sudah ku cincang-cincang bibirnya yang suka berbicara seenaknya itu." gumam Gibran.
"Sudahlah mengapa jadi ribut? Abian Mami dan Bi Qila haru kembali ke rumah menjaga Rabian. Kasihan pelayan di rumah. Kau jaga Indira yah." pintah Nyonya Ningrum.
"Iya, Mami minta antar supir." jawab Abian lalu ia kembali masuk ke ruang Indira.
Bram dan Abian kini masuk ke ruang bersalin istri mereka masing-masing. Tak lama setelah kedua istri mereka sadar, kini suster datang membantu mereka untuk pindah ke ruang rawat.
"Kau sudah menjadi ibu, Gia." tutur Bram dengan wajah harunya.
"Iya, kita memiliki anak. Terimakasih." tutur Gia.
"Jangan latihan bela diri lagi, itu tidak baik untuk seorang ibu." ucap Bram.
"Kau takut jika aku mengalahkan tenaga bela dirimu kan?" tanya Gia tampak paham dengan keraguan Bram.
"Ti-tidak, tentu saja tidak. Aku sangat ahli, kau tidak akan bisa mengalahkan ku." ucap Bram.
"Setidaknya jangan ada perang di antara kita lagi untuk membuat adiknya lagi." ucap Bram yang tanpa sadar terdengar oleh suster yang tengah membantu menggantung infusan Gia.
Wajah suster itu tersenyum nampak ia tengah bekerja keras menahan tawanya. "Hus jangan berisik." pekik Gia.
Pintu ruang rawat Gia terbuka dengan sempurna menyambut kehadiran bayi mereka yang sudah di bersihkan oleh suster.
"Selamat yah, Ibu Gia atas kelahiran putri anda." seru suster itu dengan tersenyun ramahnya.
Gia menyambut anaknya dengan sangat antusias. Matanya terus menatap pada bayi mungil itu. Bram ikut mendekat dan mengusap wajah lembut itu dengan punggung tangannya.
"Dia sangat cantik." tutur Gia.
"Iya, sama seperti mu." sahut Bram.
"Baru kali ini aku mendengar hal itu. Coba katakan lagi." pintah Gia.
"Dia sangat cantik, sama seperti mu." Bram mengulang perkataannya.
Tanpa sadar ternyata Gia tengah mengerjai suaminya. Di depan pintu sudah terlihat yang lainnya tertawa menatap Bram.
"Terimakasih Tuhan, sepertinya semuanya sudah baik-baik saja. Semoga Tuan Abian dan sekertaris Bram tidak lagi melanggar agama." gumam Bi Qila yang baru saja ingin berpamitan pulang setelah menjenguk Indira di ruang sebelah.
"Sekertaris Gia, kami pamit pulang dulu. Selamat atas kelahiran putri anda. Semoga cepat kembali ke rumah." tutur Nyonya Ningrum dengan tersenyum hangat.
"Terimakasih, Nyonya." sahut Gia menatap ke arah Nyonya Ningrum.
Tuan Kriss dan Nyonya Veren masih berada di ruang rawat Indira. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan syukur karena telah di beri cucu lagi yang sama tampannya dengan Rabian.
"Abi, ada apa?" tanya Indira yang melihat wajah lemas suaminya.
"Huh aku harus puasa lagi." ucapnya seraya berdecak kesal.
Mata Indira membulat mendengar keluhan suaminya yang juga terdengar oleh kedua orangtuanya.
"Kau ini." pekik Indira.
"Sabar, Abian. Itulah prosesnya, jadi harus sabar. Lagi pula Indira juga masih tidak kuat kan?" seri Nyonya Veren.
Wajah Indira memerah karena malu, bagaimana suaminya bisa curhat tentang kegalauannya dengan kedua orangtuanya itu.
"Jadi siapa nama anak kalian?" tanya Tuan Kriss.
"Kami belum memikirkannya, Ayah." sahut Indira.
"Apa Ayah boleh memberikannya nama?" tanya Tuan Kriss dengan wajah memohonnya.
Abian terkejut belum sempat ia menolak, Indira sudah mengiyakannya. "Iya tentu saja boleh, Ayah."
"Rafael Malik." tutur Tuan Kriss.
"Nama yang tampan." ucap Indira tersenyum senang.
"Bagaimana bisa aku yang membuatnya, tapi Ayah yang memberikannya nama?" Abian protes tampak tidak terima.
Indira bisa melihat kekesalan wajah suaminya. "Abi, nanti nama anak kita yang ketiga kau lagi yang memberikannya nama." ucap Indira.
Wajah Abian yang redup seketika kembali cerah mendengarnya. Ia tersenyum senang, itu tandanya akan ada harapan lagi untuk Indira hamil.
"Kita buat yang banyak yah?" seru Abian.
Mata Indira memutar malas mendengar ucapan suaminya yang begitu bersemangat.
"Indira, kau ingin makan apa? biar nanti Ibu memasakkan di rumah." tanya Nyonya Veren.
"Indira belum ingin makan apa-apa, Bu. Lagi pula masa ngidam kemarin membuat Indira sudah sangat menikmati semua jenis makanan." tuturnya dengan tawa di wajahnya melirik sang suami.
"Nanti kalau hamil berikutnya apa kau akan ingin melakukan hal-hal seperti kemarin lagi?" tanya Abian.
"Tergantung," jawab Indira.
Abian mengernyitkan dahinya tak mengerti maksud Indira. "Abi, masa ngidam itu tidak selalu sama. Tergantung mau bayinya." terang Indira.
"Bagaimana Gia?" tanya Indira.
"Bayinya perempuan, kalian melahirkan dengan waktu yang bersamaan." ucap Abian.
"Hai Kak," sapa Gibran yang baru masuk bersama Maureen.
"Hai." balas Indira dengan suara yang masih belum bertenaga.
"Keponakan ku tampan sekali." puji Gibran yang mengusap lembut wajah Rabian.
"Ehem." Abian terdengar berdehem ia tampak memberi isyarat pada Gibran jika ketampanan itu adalah warisan darinya.
Gibran yang hanya tersenyum melihat tingkah kakak iparnya merasa geli. Mengapa Abian begitu eksis sekali.
"Kak Indira, selamat yah atas kelahiran bayi keduanya." Maureen menyapa Indira dan memberikan sebuah bunga yang sudah di rangkai indah.
"Terimakasih, sayang." sahut Indira.
"Sayang? Apa itu?"
Semua menatapnya dengan tatapan datar pada Abian. "Abi, hentikan pikiranmu itu." pintah Indira.
Abian masih tetap saja duduk di sebelah istrinya tanpa mau menjauh. "Indira, Ayah dan Ibu pulang dulu. Kau harus banyak istirahat yah." tutur Nyonya Veren.
"Iya, Ayah dan Ibu hati-hati." ucap Indira.
Kini tinggallah Maureen dan Gibran bersama pasangan suami istri itu, sedangkan para pelayan sudah kembali ke rumah.
"Abi, kapan aku bisa pulang?" tanya Indira.
"Masih empat hari lagi, mengapa? kau tidak betah aku menemanimu terus?" tanya Abian dengan sorot mata tajamnya.
Indira yang masih lemas ingin sekali rasanya mengunci rapat mulut suaminya agar tidak mengajaknya berdebat.
"Aku kepikiran dengan Rabian." ucap Indira.
"Kak, jangan khawatir Mami dan para pelayan sangat menjaganya. Lagi pula Rabian sudah bukan bayi lagi dia lebih aktif bermain tentu tidak akan bosan." terang Gibran.
"Iya adikmu benar, nanti aku akan pulang sebentar untuk menjenguk Rabian. Aku tidak mau anak kita di bawa ke sini kasihan dia." ucap Abian.
Indira pun hanya terdiam, pikirannya terus melayang pada putra tampannya itu. "Coba telpon rumah." pintahnya.
Abian meraih ponselnya dan menekan panggilan video pada nomor Bi Qila.
Di seberang sana Bi Qila segera mengangkat panggilan video itu. "Iya, Tuan." jawab Bi Qila.
"Apa yang terjadi, Bi?" tanya Abian syok melihat Bi Qila sudah kelelahan dan wajahnya berkeringat.
"Ini Tuan muda Rabian meminta Bibi dan Nyonya Ningrum untuk menjadi kuda, Tuan." terang Bi Qila dengan nafas yang memburu.
"Maafkan anak saya, Bi. Suruh pelayan pria saja yang melakukan hal itu." pintah Abian tidak tega.
"Tuan muda Rabian tidak mau, Tuan. Ini Tuan, Papah." Bi Qila menyodorkan ponselnya pada wajah Rabian yang tengah menikmati duduk di punggung Nyonya Ningrum.
Abian terkekeh melihat keaktifan Rabian di seberang sana.
"Ini anak kita baik-baik saja." tutur Abian pada Indira.
"Sayang," panggil Indira.
"Mah." Rabian menyapanya dengan wajah yang sudah tertawa.
Terlihat Nyonya Ningrum yang seperti kuda sedangkan Bi Qila memegangi tubuhnya agar tidak terjatuh.
Gibran yang mendapat ide segera berpamitan untuk pulang bersama Maureen.
"Kenapa buru-buru sekali?" tanya Maureen.
"Kita haru latihan." tutur Gibran seraya semakin menginjak gas mobilnya.
"Latihan?" tanya Maureen bingung.
"Latihan, iya latihan jaga anak kecil." ucap Gibran.
Maureen yang mendengarnya tersenyum malu-malu, ia paham dengan maksud perkataan Gibran.
"Apa Gibran akan segera mengajakku menikah?" gumam Maureen.
"Maureen, kau kenapa?" tanya Gibran.
"Hah tidak, aku tidak apa-apa." jawab Maureen.
***
Sementara di ruang rawat, Bram yang tampak sibuk dengan pekerjaannya di laptop segera bangun saat Gia memanggilnya.
"Ehem." panggilan Gia dengan berdehem tanpa mau menyebut Huby lagi.
Bram menoleh menatap sang istri. "Ada apa?" tanya Bram.
"Aku sepertinya ingin buang air kecil." tutur Gia.
"Hah? jadi bagaimana? apa bisa ke kamar mandi?" tanya Bram.
Gia menggelengkan kepalanya. "Ini masih sangat sakit aku tidak berani bergerak." ucap Gia.
Bram kasihan melihat keadaan istrinya kali ini. "Tadi Dokter memberikan pelapis kan?" tanya Bram.
Gia menganggukkan kepalanya. "Yasudah buang air kecil di situ saja, nanti biar aku yang menggantikannya lagi." ucap Bram.
Kaget mendengar usulan sang suami Gia hanya bisa meneguk kasar salivahnya.
"Aku sudah tidak tahan lagi." tutur Gia menggeliatkan tubuhnya. Bram mendekati Gia belum sempat ia melapisi tubuh istrinya lagi, Gia sudah terlanjur mengeluarkan cairan di bawah sana.
"Astaga, Bram tembus." tutur Gia yang mengejutkan suaminya.
Bram bukan hanya kaget melihat cairan yang di keluarkan istrinya begitu banyak, ia juga sangat terkejut mendengar Gia memanggilnya dengan sebutan nama.
"Tembus." ucap Gia begitu malu.
Ia tidak menyangka jika pembal*t yang ia pakai tidak bisa menampung seluruh cairan yang ia keluarkan.
"Mengapa kau menyebut namaku?" tanya Bram yang tidak menghiraukan tingkah Gia yang panik.
"Aku merasa ada yang aneh dengan panggilan sebelumnya. Aku lebih nyaman memanggil seperti itu." terang Gia.
Bram yang kini bergerak mengangkat sedikit tubuh Gia lalu membersihkan seluruh air yang membasahi tempat tidur itu menekuk wajahnya.
"Kau marah?" tanya Gia.
Bram hanya diam dengan telatennya ia terus membersihkan tubuh sang istri.
Tangan Gia meraih pergelangan tangan suaminya. "Jangan marah, seprtinya kemarin itu hanya bawaan bayi." ucapnya lirih.
"Kalau begitu panggil saja terus, sekarang kau tidak hamil kan?" ketus Bram.
"Tapi...aku..." Gia tampak ragu mengiyakan permintaan suaminya.
Rasanya sungguh menggelikkan memanggil Bram dengan sebutan Huby, sementara wajah Bram begitu kaku.
"Panggil aku seperti itu lagi, atau kau mau aku bikin hamil lagi sekarang!" Bram mengancam dengan raut wajah kesalnya.
Ia tidak terima jika Gia berubah tidak manja padanya. Mata Gia melotot mendengar ancaman Bram.
Mau menghamili katanya, jahitannya saja belum kering. Bahkan untuk bergerak saja Gia masih belum berani. Apa Bram ingin membunuhnya secara nikmat begitu? sungguh suami tidak beradab.
Gia meneguk kasar salivahnya, lalu menganggukkan kepalanya sekali. "Begitu kan manis." tutur Bram tersenyum puas lalu mendaratkan satu ciuman di kening Gia.
"Apa tidak jijik?" tanya Gia menatap suaminya yang berwajah datar saat membersihkan tubuh Gia yang basah itu.
"Untuk apa jijik? semua yang ada pada dirimu aku suka. Lagi pula ini juga proyek kita berdua kan?" tutur Bram.
"Proyek?" Gia bingung menatap sang suami penuh tanya.
"Proyek baby." bisik Bram.
Gia memutar matanya malas, lagi-lagi peribahasa suaminya sangat asing di telinganya.
"Kita belum memberikan nama untuk putri kita." lanjut Bram yang sudah tersenyum mengelus pipi bayi mungil itu yang sudah tertidur di tempatnya.
"Aku ingin nama panggilannya Raina." usul Gia.
Bram menganggukkan kepalanya setuju, nama yang indah. "Nama yang bagus, lalu berikutnya aku yang memberikan nama," Bram tampak berfikir lalu ia mengusulkan nama. "Valencia." ucapnya.
"Raina Valencia, cantik. Aku menyukai namanya." ucap Gia.
Keduanya tersenyum saling menatap dalam, "Terimakasih Gia." tutur Bram.
"Aku juga berterima kasih." seru Gia. Bram melangkah mendekati istrinya lalu keduanya berpelukan dengan hangat.
***
Kini seorang wanita cantik mengenakan heels tinggi berukuran dua belas sentimeter turun dari mobilnya lalu meletakkan kacamata hitam tepat di hidung mancungnya. Ia menggenggam sebuket bunga mawar putih lalu melangkahkan kakinya menuju satu ruang rawat di rumah sakit itu.
Langkah kaki jenjangnya kini sampai pada satu pintu ruang rawat yang tertutup sempurna.
Abian dan Indira menoleh bersamaan mendengar suara ketukan pintu. Knok pintu terbuka lalu ia menebar senyuman begitu lebar. Kaca mata yang ada di kedua matanya kini ia tarik ke atas kepala.
"Afrah." Suara Abian yang terkejut melihat kehadiran wanita itu lagi.
"Halo Tuan dan Nyonya Malik, selamat atas kelahiran putra kedua kalian. Saya mendengar dari berita dan kebetulan saya masih berada di Indonesia jadi saya menyempatkan untuk menjenguk putra tampan anda." tutur Afrah tersenyum tanpa bisa di artikan oleh Indira.
Abian masih diam tanpa mengatakan apa pun, ia tidak menyangka jika wanita itu masih saja ingin memasukkan dirinya di lingkungan Abian, setelah lamanya Abian tidak menerima permohonan Afrah untuk tenaga kerjanya.
"Abi," panggil Indira.
"Iya sayang." ucap Abian.
"Berikan kursi ini padanya." pintah Indira.
Abian berdiri dan memilih duduk di sofa sementara Afrah duduk di samping tempat tidur Indira.
"Nyonya Malik, anda benar-benar wanita yang beruntung bisa hidup dengan bahagia di dalam kekuasaan suami anda." puji Afrah dengan tersenyum tanpa menghentikan senyuman yang penuh makna itu.
Indira pun membalas senyuman itu juga. "Iya anda benar, Nona. Saya benar-benar beruntung selain kekuasaan suami saya, saya juga bisa menguasai hati saya. Sampai satu pun wanita yang ingin masuk ke dalam hidup kami selalu tidak bisa. Iya kan Bi?" Indira membalas ledekan Afrah dengan mengajak Abian meresponnya.
"Iya sayang." jawab Abian.
"Sayang, sebaiknya kau istirahatlah keadaanmu masih sangat lemah." pintah Abian.
Namun bukan Indira namanya jika bisa tenang sebelum membalaskan kekesalannya saat itu juga.
"Aku belum mau tidur, lagi pula kasihan ada tamu yang datang harus di tinggal tidur. Aku tidak akan tega, karena aku tahu suamiku ini tidak akan mau bicara pada wanita."
"Apa benar seperti itu, Nona?" tanya Afrah lagi.
"Tentu saja, kali itu ia mau bicara denganmu ternyata hanya ingin membuat diriku cemburu. Sungguh suamiku ini benar-benar mencintai istrinya bukan?"
Indira terus berbicara seolah memberi tahu pada wanita di hadapannya jika tidak akan ada cela untuknya bisa masuk ke dalam kehidupan mereka.
"Afrah, terimakasih atas kunjungan dan niat baikmu kemari. Tapi istriku sangat keras kepala jika ada kau. Aku khawatir dia akan drop nanti." terang Abian secara halus mengusir wanita itu.
"Baiklah kalau begitu saya permisi pulang dulu." Afrah melangkah keluar ruang rawat Indira lalu menutup pintu, sebelum pintu tertutup sempurna wajahnya sempat menyunggingkan senyuman licik pada Indira.
Bukannya marah, Indira justru tersenyum lembut membalas senyuman Afrah padanya.
"Berani sekali dia." gumam Afrah yang sangat geram dengan kelembutan Indira padanya.
"Sayang, sebaiknya kau tidak perlu bicara banyak padanya." pintah Abian.
"Aku tidak banyak bicara, Bi. Aku hanya memastikan pada semua wanita tidak ada celah untuk mereka masuk di kehidupan kita." bantah Indira.
Abian melangkah mendekati sang istri lalu memeluknya begitu erat. "Aku pastikan tidak akan ada wanita mana pun yang bisa masuk dalam kehidupan kita, Sayang." tutur Abian mendaratkan satu ciuman di bibir dan kening Indira bergantian.
Abian yang menatap dalam wajah istrinya perlahan mulai mendekatkan wajahnya dengan lembutnya. Hembusan nafas keduanya saling bertemu di sana. Indira yang beberapa kali menatap wajah dan bibir sang suami merasa ada yang tidak beres akan terjadi.
Belum sempat Indira mencegahnya, tiba-tiba suara ketukan pintu ruangan itu terdengar dari luar. Knok pintu terputar dan seketika menghentikan aksi Abian yang baru saja ingin melepaskan kerinduannya pada Indira.
Abian berdecak kesal merasa kesempatan untuknya hilang kali ini, sementara Indira sudah terkekeh melihat kekesalan suaminya.
"Syukurlah setidaknya aku tidak perlu berdebat panjang dengannya." gumam Indira tersenyum lebar.
Mata Abian menatap tajam dengan kedatangan dua sahabat istrinya itu. "Indira." Suara Kayra dan Queensya berhambur memeluk tubuh sahabatnya itu dengan menyenggol sedikit tubuh Abian.
"Sial, berani sekali mereka menyingkirkan aku dari istriku." pekik Abian dalam hatinya.
"Kalian datang ternyata." ucap Indira.
"Iya, maafkan kami selama kehamilanmu tidak bisa menjenguk karena kami sedang kembali ke Iran ada banyak pekerjaan di sana dengan rekan kerja kita." terang Kayra.
"Tidak apa-apa yang penting kalian sudah kembali lagi." sahut Indira.
Abian dengan cepatnya menduduki kursi di samping tempat tidur istrinya agar ia tidak tersingkirkan nantinya. Melihat tingkah labil Abian, Indira melirik paham jika Abian tidak akan memberi kesempatan dua sahabatnya menggantikan posisinya di sebelah Indira saat ini.
"Bi..." tegur Indira lembut dengan menatap suaminya.
Wajah Abian sudah cemberut menandakan jika ia tidak ingin di pisahkan kali ini. Abian berdecak kesal lalu memberikan kursi itu pada Kayra untuk duduk.
"Aku keluar." Suara Abian dengan wajah menekuknya melangkah meninggalkan istrinya di dalam ruangan itu bersama dua sahabatnya.
Di luar ruangan Abian merasa bosan tidak ada yang menemani dirinya. Tangannya meraih ponsel miliknya dan menghubungi Bram.
"Iya Tuan." sahut Bram.
"Keluar." pintah Abian.
"Gia, aku bertemu dengan Tuan dulu." ucap Bram dengan mendaratkan bibirnya lembut di kening Gia.
Gia tersenyum saat bibir sang suami menempel sempurna di keningnya, ia merasakan perlakuan Bram benar-benar menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Seakan membawa ketenangan tersendiri baginya.
Bram keluar di antar dengan senyuman manis Gia, ia menutup pintu pelan agar putrinya tidak terbangun. Bram melihat sosok Abian yang duduk dengan wajah menekuknya di kursi itu.
"Bram, apa-apaan dua wanita itu datang dengan enaknya menyingkirkan aku. Mengapa tidak datang saat Indira hamil saja biar mereka yang kebingungan menghadapi ngidam istriku?"
Wajah Bram bingung mendengar apa yang Tuannya katakan, "Astaga jadi Tuan memanggilku kemari hanya untuk mendengarkan keluhannya yang seperti ini?" gumam Bram yang memutar matanya malas.
"Tapi, Tuan-" (ucapan Bram yang ingin membela Kayra dan Queensya terhenti saat mendapat tatapan tajam dari pria tampan itu).
"Kau tidak boleh membelanya, mereka salah datang di waktu enaknya saja." ancam Abian.
"Tuan, memangnya yang membuat anak itu siapa? mereka? tidak kan? lalu mengapa anda harus meminta mereka datang saat Nyonya hamil sih?" Bram hanya berani melontarkan kata-kata itu dalam hatinya menahan kekesalan pada Abian.
"Iya Tuan." jawab Bram cepat setelah dirinya sibuk menghakimi Abian dalam hatinya.
Bram yang hanya berdiri di samping Abian di tatapnya tajam. "Mengapa kau hanya berdiri?"
Segera Bram pun duduk tidak begitu berdekatan dengan Abian. "Wanita itu datang lagi." ucap Abian.
"Wanita itu? siapa Tuan?" tanya Bram penasaran.
"Kau ini benar-benar yah, belum satu hari memiliki anak sudah melupakan aku." pekik Abian.
Bram hanya berusaha sabar lagi mendengar perkataan Abian. "Maafkan saya, Tuan." ucap Bram.
"Afrah." jawab Abian tanpa mau memandang wajah sekertarisnya.
Bram sudah menduga hal ini cepat atau lambat akan terjadi, seperti dugaannya Afrah akan memaksa masuk ke dalam kehidupan Tuan dan Nyonya Malik.
"Biarkan saya melakukan sesuatu, Tuan." tutur Bram.
"Tidak, aku ingin membiarkannya dulu. Sampai sejauh mana usaha wanita itu, Bram. Biarkan saja dulu. Setelah itu aku tidak akan memberinya ampun sama seperti Dita." tutur Abian.
"Baik, Tuan. Tapi mengenai keselamatan keluarga anda ijinkan saya untuk tetap memantau pergerakannya." tutur Bram.
Abian mengangguk lalu menyunggingkan senyuman menyeringai, kedua pria itu sangatlah suka bermain game seperti ini. Sayang sekali di luar sana masih banyak sekali yang meragukan kekompakan dua pria kaku itu.
Di dalam ruang rawat Indira tampak melamun, kedua sahabatnya saling melempar tatapan. "Ra, ada apa?" tanya Kayra yang sambil menggoyang tubuhnya karena menggendong keponakan tampannya yang terlelap itu.
"Iya dari tadi kau melamun seperti ada yang kau fikirkan?" tambah Queensya.
"Tadi ada wanita datang kemari, aku tidak tahu apa tujuannya tapi yang jelas aku merasa wanita itu seperti ada niat tidak baik padaku dan Abi." terang Indira.
"Lalu tanggapan Abian bagaimana?" tanya Kayra antusias.
"Dia hanya bilang tidak akan membiarkan semuanya dengan mudah wanita itu lakukan jika berniat tidak baik pada kami." tutur Indira.
"Sudah kau jangan khawatir, itu artinya Abian akan selalu ada di sisimu. Lagi pula siapa yang tidak tahu dengan suami malaikatmu itu. Selalu berperilaku benar-benar menyeramkan, aku jadi penasaran wanita mana lagi yang berani menyodorkan nasibnya pada suamimu selain Dita?" seru Queensya.
"Iya Ra, kau tidak perlu khawatir. Suamimu itu tidak akan bisa lepas darimu. Lihatlah sedetik saja ia tidak melihatmu pasti hidupnya sudah mau mati." Kayra tertawa terkekeh hingga wajahnya memerah karena membayangkan Abian yang tadi menekuk kesal wajahnya karena di ganggu dua sahabatnya itu.
Suara tawa di ruangan itu tiba-tiba terhenti saat wajah tampan Abian terlihat menyelinap masuk ke ruang Indira. "Abi." ucap Indira terkejut saat ia tengah tertawa dengan ketiga sahabatnya.
Suasana mendadak hening, tidak ada lagi yang berani berbicara. "Lanjutlah, aku hanya ingin melihatmu saja." ucap Abian kembali menutup pintu ruangan.
Kayra dan Queensya serentak tertawa begitu juga dengan Indira, "Tuh kan benar, suamimu itu bucin akut, Ra." ledek Kayra.
"Kalian ini, kalau sampai suamiku tahu mampus kalian." ucap Indira.
"Jadi sekarang kau tidak perlu khawatir, kan? sedetik saja suamimu tidak melihatmu dia akan mati. Jadi aku rasa wanita mana pun tidak akan bisa menghapus jejakmu di hati Abian." terang Queensya.
"Iya kalian benar." jawab Indira.
"Siapa namanya, Ra?" tanya Kayra lagi.
"Rafael Malik." jawab Indira.
"Wah nama yang tampan. Wajahmu sangat mirip dengan Kakakmu." tutur Kayra sembari beberapa kali mendaratkan ciuman di wajah bayi mungil itu.
Ketiga wanita itu tengah asyik menikmati waktu temu kangen mereka hingga tidak memperdulikan nasib Abian yang begitu gelisahnya di luar.
Bram hanya memperhatikan gerak gerik Abian yang sejak tadi sudah melangkah bolak balik di depan Bram menunggu pintu ruangan itu terbuka. Namun sampai hari sudah gelap pintu masih saja belum terbuka.
"Tuan, anda bisa gila lama-lama seperti ini." gumam Bram menggelengkan kepalanya.
"Mengapa mereka lama sekali sih? aku sudah sangat merindukan istriku." umpat kesal Abian sembari meremas ujung jas miliknya itu.
"Bram, lakukan sesuatu." pintah Abian.
"Saya akan memberi tahu mereka Tuan untuk pulang." ucap Bram segera berdiri hendak membuka pintu ruang rawat Indira namun Abian menarik jas Bram.
"Tuan." ucap Bram yang terkejut saat keduanya bertabrakan tanpa sengaja. Kini Abian masih mencengkram kera jas milik Bram sementara tangannya sudah menahan tangan Bram yang hendak jatuh.
Dari kejauhan tampak Bi Qila yang terdiam mematung kembali menutup mulutnya. "Apa ini tandanya masih berlangsung?" gumam Bi Qila seraya menggelengkan kepalanya sementara mulutnya yang tercengang ia bungkam dengan cepat.
"Jangan mengusir mereka, suruh saja Dokter atau siapa pun untuk meminta istriku istirahat." pintah Abian pelan.
Bram segera pergi menemui salah satu tenaga medis untuk meminta bantuan, "Bi Qila." sapa Bram yang menatap datar pada wanita yang ia temui saat ini.
Bi Qila menatap Bram dengan raut wajah kebingungan dan syok. "I-iya sekertaris Bram, permisi." Ia berlari kecil menghindari tatapan Bram yang begitu tajam.
Meski Bram tidak sedang marah, entah pikiran Bi Qila mungkin sudah terlalu jauh berkelana hingga tubuhnya selalu merinding menatap wajah pria itu.
Bram menggelengkan kepala menatap kepergian Bi Qila. "Tuan, ini saya bawakan makan untuk anda dan Nyonya." tutur Bi Qila.
"Terimakasih, Bi. Bibi dengan siapa kemari?" tanya Abian.
"Dengan supir, Tuan." jawab Bi Qila.
Abian mengangguk lalu Bi Qila bergegas ke ruang rawat Gia, ia mengetuk pintu lalu membuka pintu itu. "Sekertaris Gia, saya membawakan makanan untuk anda dan sekertaris Bram."
"Terimakasih yah, Bi." jawab Gia.
"Baik sekertaris, Gia. Bibi pamit pulang dulu, selamat untuk kelahiran putri pertama anda." ucap Bi Qila.
Gia tersenyum lalu Bi Qila keluar dari ruangan, ia menatap Abian yang sudah duduk kembali di kursi tunggu itu. "Tuan, saya permisi pulang dulu." ucapnya.
"Iya Bi, hati-hati." sahut Abian.
Bi Qila berlalu dari pandangan Abian, ia melangkah menuju ke mobil yang sudah siap mengantarnya pulang. Selama perjalan Bi Qila beberapa kali mengedipkan matanya memijat keningnya agar pikiran buruknya itu bisa hilang.
"Mengapa sih selalu aku yang mendapatkan pemandangan aneh seperti itu? aku sungguh takut melihatnya." gumam Bi Qila yang frustasi.
Sedangkan Bram yang sudah datang bersama salah satu Dokter merasa lega, setidaknya jika Abian masuk ia tidak perlu menemani lagi pria itu di luar dengan semua keluhan tidak masuk akalnya itu.
"Tuan, ini Dokternya." ucap Bram.
"Dok, saya minta anda menyuruh istri saya untuk istirahat agar tamunya bisa pulang." pintah Abian.
"Tapi, Tuan-" (Belum sempat Dokter itu mengatakan pendapatnya Abian sudah menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya sendiri).
"Dokter tidak perlu menjawab atau menjelaskan apa pun, cukup lakukan apa yang saya mau. Cepat Dok, saya sudah sangat merindukan istri saya. Mereka itu apa tidak tahu rasanya diriku ini jika jauh dari istriku?" Abian menggerutu dengan bibir yang sedikit maju layaknya anak kecil.
Tanpa sadar perkataannya itu membuat Dokter tercengang lalu menggelengkan kepalanya, ia terkekeh dalam hatinya. Ia fikir karena kekhawatiran seorang Abian pada istrinya yang membuatnya harus meminta pasien itu istirahat, ternyata hanya karena rasa rindu yang tidak bisa terpendam walau hanya beberapa menit saja.
"Sungguh beruntung sekali Nyonya Malik mendapatkan suami seperti Tuan Abian." gumam Dokter itu dengan penuh kekagumannya.
Dokter pun masuk ke ruangan itu, di sana nampak Indira dan dua wanita cantik berwajah asing itu tengah tertawa begitu asyiknya.
"Selamat malam, Nyonya. Saya ingin memeriksa keadaan anda dulu yah." tutur Dokter dengan basa basi.
Setelah selesai melakukan pemeriksaan, Dokter itu meminta Indira agar beristirahat dulu. Akhirnya Kayra dan Queensya pun segera pamit dengan Indira.
"Ra, kamu istirahat yah, kita balik dulu. Nanti kabari lagi kalau sudah mau pulang ke rumah. Biar kami akan menjengukmu di rumah sekalian ketemu dengan Rabian." tutur Kayra.
"Iya, kalian hati-hati yah. Aku masih sangat merindukan kalian." ucap Indira.
Ketiga wanita itu saling berpelukan dan menempelkan pipi mereka bergantian. Dokter tersenyum seraya menatap dalam. "Anda merindukan kedua sahabat anda, Nyonya. Sampai anda tidak tahu suami anda di luar sudah seperti kebakaran jenggot saja." gumam Dokter itu terkekeh dalam hatinya lalu beranjak keluar ruang rawat.
"Sudah, Dok?" tanya Abian begitu tidak sabarannya.
Belum sempat Dokter menjawabnya, kini Kayra dan Queensya sudah ikut keluar di belakang Dokter.
"Kami pulang dulu, jaga sahabat kita." ucap Kayra.
Abian hanya mengangguk kemdian ia segera masuk ke ruang rawat Indira, Bram juga segera masuk ke ruang rawat istrinya. Gia yang menatap kehadiran sang suami tampak cemberut.
"Dari mana saja? aku fikir sudah lupa jika aku di sini?" ketus Gia.
Bram menggaruk kasar kepalanya. "Di ruang Nyonya, Tuan yang gelisah sekarang giliran gelisahnya sudah hilang aku lagi yang kena semprot oleh Gia." gumam Bram menghela nafasnya kasar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!