Chapter 5. Mencintai Dengan Dalam

Bram sadar keadaan saat ini tidaklah baik, wajah yang penuh tanda badai itu telah hilang seiring turunnya hujan yang yang mendinginkan siapa pun.

Seperti ABian yang sudah selalu tenang ketika Indira hadir dalam hidupnya menghiasi setiap harinya. Baik untuk nasib Bram namun tidak baik untuk nasib perusahaan.

Hari sudah semakin siang, Bram yang sadar akan keterlambatannya segera mempersilahkan Abian untuk segera menuju ke mobil.

"Bram, tunggu dulu." ucap Abian.

"Ada apa, Tuan?" tanya Bram.

"Di mana Mami? tidak ada yang menjaga istriku." terang Abian.

Bram segera melangkah menuju ruang rawat istrinya dan memberi tahu tentang keberangkatan ia dan Abian ke kantor. Akhirnya Nyonya Ningrum pun memilih untuk menemani Gia sedangkan Nyonya Veren dan Maureen menemani Indira.

"Biar istrimu kami yang jaga." ucap Nyonya Veren pada Abian.

"Terimakasih, Bu." sahut Abian seraya melangkahkan kakinya bersama dengan Bram menuju ke mobilnya.

Di perjalanan Abian hanya terus menebar senyuman tampannya itu sembari menikmati setiap titik area yang ia lewati itu.

"Bram, andai aku bisa memutar waktu secepat mungkin rasanya aku ingin terus menghentikan waktu tiap kali aku bersama istriku. Dan aku bisa memutar waktu cepat saat aku jauh darinya. Rasanya detakan jantungku begitu lemah tiap berada jauh darinya. Ada perasaan yang tidak bisa ku jelaskan. Andai setiap hembusan nafasku ini bisa ku bagi dengannya aku rela jika sekali pun aku berhenti bernafas karenanya." tutur Abian.

Bram yang mendengar kata-kata puitis Tuannya sungguh ingin muntah. "Sayangnya nafas anda bisa membuat Nyonya muntah Tuan." ucap Bram dalam hati tanpa berani mengatakan yang sejujurnya.

Tak lama kemudian mobil mereka pun tiba di kantor, beberapa karyawan terlihat antusias segera duduk di tempat kerja mereka masing-masingg saat mendengar alarm bunyi.

Seperti yang sudah Bram pesan pada keamanan di kantor itu untuk memasang alarm tiap kali Abian tiba. Semua berlari kesana kemari saat sadar jika keberadaannya tidak berada di ruang kerjanya.

"Silahkan, Tuan." ucap Bram yang mempersilahkan Abian untuk turun dari mobil.

Pria itu tampak menarik jasnya agar rapi dan segera melangkah menuju lift yang akan mengantarkannya ke ruang kerjanya. Bram ikut bersamanya dengan wajah datar keduanya.

Dari seberang jalan ada sebuah mobil yang terparkir, wanita cantik yang menggunakan kaca mata hitamnya tersenyum licik memandang kantor yang menjulang tinggi itu.

"Pengkhianatan harus di bayar pengkhianatan, Indira." ucap Afrah yang kembali menutup kaca mobil itu dan meminta supir untuk melajukan mobilnya.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan gedung yang mewah itu, tatapan wanita itu tampak penuh dengan kebencian. Tanpa ia sadari sejak tadi sudah ada beberapa pengawal yang mengikutinya tanpa bisa ia ketahui.

Pengawalan yang Bram berikan sungguh luar biasa, mereka tidak hanya bergerak di satu titik saja, ada beberapa orang yang berada di titik lain dan saling terhubung. Demi memastikan keberadaan wanita itu dua puluh empat jam.

Bram tidak ingin jika keberadaan wanita itu sampai membahayakan nyawa Indira atau pun keluarga Abian.

"Bagaimana?" tanya Bram yang baru saja mendapatkan telpon dari salah satu pekerjanya.

Abian tampak antusias menunggu Bram menceritakan padanya.

Bram terlihat menganggukan kepalanya mengerti apa yang ia dapatkan dari informasi itu. Terlihat tatapannya sesekali melirik ke arah Abian.

"Bagus, ikuti terus." pintah Bram.

Sambungan telfon pun terputus, Bram mendekati Abian di meja kerjanya. "Dia baru saja tadi singgah di depan kantor, Tuan." ucap Bram.

"Sepertinya semakin kesini wanita itu semakin nekat, Bram." tutur Abian.

"Biarkan dulu, kita lihat sampai sejauh mana permainannya."

"Baik, Tuan."

Abian dan Bram kembali fokus dengan kerjanya.

***

Di kediaman Malik, tampak Bi Qila yang tengah bermain dengan Rabian di taman yang terlindung dengan pepohonan itu.

"Aduh Tuan muda, jangan berlari terus Bibi lelah sekali." ucap Bi Qila yang merasa tubuhnya sudah sangat kelelahan.

"Pak Mail, kemari." panggil Bi Qila.

"Ada apa?" Pak Mail pun segera mendekati mereka dengan langkah sedikit berlari kecil.

"Bantuin jaga Tuan muda, aku tidak kuat lagi sudah." ucap Bi Qila tampak ngos-ngosan.

"Sepertinya nafas mu sudah mau habis yah. Itu pertanda kau sudah tua sekali." ejek Pak Mail.

"Jangan mengejek, atau kau mau ku tinju!" pekik Bi Qila.

Pak Mail yang hanya berdecak kesal akhirnya menemani Bi Qila bermain dengan Rabian. Keduanya berlari menendang bola kesana kemari dengan tawa bahagianya.

Sementara Indira yang merasa gelisah di rumah sakit terus memikirkan putranya.

"Ibu, Indira ingin segera pulang. Apa tidak bisa di percepat pulang ke rumahnya?" tanya Indira.

"Jangan sayang, suami mu yang melarangnya. Apa kau mau Ibu menghubungi Bi Qila saja?" tanya Nyonya Veren.

Indira tersenyum lalu menganggukan kepalanya setuju. Nyonya Veren mencoba melakukan panggilan video dan dengan segera Bi Qila mengangkatnya.

"Bibi, di mana Rabian?" tanya Indira.

Bi Qila yang memperlihatkan wajah penuh keringat itu membuat Indira semakin antusias mencari putranya.

"Ini Nyonya, Tuan muda Rabian meminta bermain bola di taman." ucap Bi Qila seraya menyodorkan layar ponselnya pada arah Rabian yang sedang bermain bola dengan Pak Mail.

"Kasihan sekali anak Mamah, maaf yah sayang ulangtahun mu jadi di tunda. Semoga Mamah cepat pulang dan segera merayakan ulangtahun Rabian." gumam Indira menatap penuh kerinduan pada putranya.

"Mamah...Mamah." panggil Rabian sembari terus berjalan beberapa kali ia terjatuh di taman yang di penuhi rumput itu.

Indira tertawa melihat Rabian bermain dengan Pak Mail, "Bibi." panggilnya lagi.

"Iya, Nyonya." sahut Bi Qila.

"Terimakasih yah sudah membantu saya menjaga Rabian. Maafkan saya Bi, secepatnya saya akan segera pulang." ucap Indira merasa tidak enak hati karena telah merepotkan banyak orang terlebih lagi ia melihat kelelahan di wajah Bi Qila dan Pak Mail.

"Tidak apa-apa Nyonya, jangan mengatakan terimakasih atau maaf. Tuan muda Rabian sangat menyenangkan kami sudah seharusnya menjaganya dengan baik.

Indira tersenyum haru pada ucapan Bi Qila, dan mereka pun segera menyudahi panggilan itu. "Sayang, jangan bersedih. Kau sudah menjadi ibu dari dua anak jadi harus lebih kuat. Rabian baik-baik saja di sana. Lagi pula Ibu rasa dengan kehadiran Rabian di antara Bi Qila dan Pak Mail bisa membuat keduanya timbul benih cinta nantinya." tutur Nyonya Veren.

Indira yang tadinya sedih kini tersenyum senang, "Iya, Ibu benar. Indira jadi setuju kalau seperti ini Indira paling suka namanya jadi tim sukses untuk orang." seru Indira.

Nyonya Veren dan Maureen terkekeh mendengar perkataan Indira. Tak lama setelahnya ponsel Indira berdering di atas meja.

"Ibu angkatkan?" tanya Nyonya Veren pada Indira.

"Terimakasih, Bu." ucap Indira saat meraih ponsel miliknya dari tangan Nyonya Veren.

"Hai, kalian." ucap Indira dengan semangatnya saat melihat fotografer dan beberapa kru lainnya di layar telpon itu.

"Nyonya, kami bolehkah datang menjenguk anda?" tanya mereka.

"Tentu saja boleh, memangnya ada yang melarang?" seru Indira.

Ekspresi mereka semua terlihat kaku, Indira sangat paham mereka pasti meragukan ijin dari suaminya. "Tidak apa-apa, kalian semua kan wanita lagi pula suamiku sedang tidak ada di sini." ucap Indira.

"Baiklah kami kesana sekarang, Nyonya." ucapnya serentak dan langsung mengakhiri panggilan itu. Berharap semua sesuai rencana mereka bisa menghabiskan waktu bermain dengan baby Indira sebelum Abian datang.

Belum sempat ponsel Indira ia letakkan, kini benda tipis itu kembali berdering. "Abi." ucapnya dan segera mengangkat panggilan vidoe itu.

"Sayang, kau sedang apa?" tanya Abian.

"Hanya berbicara pada Ibu dan Maureen, Abi." sahut Indira.

"Apa kau tidak merindukan suamimu ini?"

Mendengar pertanyaan itu Indira hanya tersenyum, ia tahu jawaban apa yang suaminya ingin dengarkan terus. "Tentu saja, aku sangat merindukanmu." jawab Indira.

Wajah datar Abian kini berubah menjadi tersenyum. "Bram, kau dengar?"

Nyonya Veren dan Maureen terkekeh mendengar suara di seberang telpon itu. Begitu juga dengan Indira ia hanya bisa menghela nafasnya kasar.

"Iya, Tuan." sahut Bram tampak malas.

Suara atau pujian sekali pun yang di lontarkan wanita kesayanganya tentu akan terasa bagai mendapat harta karun, seperti itulah yang  Abian rasakan saat ini. Meski mereka sudah memiliki dua anak, namun cintanya begitu besar pada Indira.

Mencintai dengan dalam adalah cara yang paling sempurna untuk memulai hubungan. Jangan pernah jatuh cinta karena mengagumi seseorang, sejatinya cinta bukanlah karena mengagumi namun berkomitmen untuk selalu membahagiakannya.

Karena ketika rasa kagum itu punah saat mendapat satu titik yang menodainya seketika itu juga tidak hanya sati insan yang terluka karena kecewa, namun ada banyak insan yang terluka karena memiliki harapan besar itu.

Terpopuler

Comments

Retno Marsudi

Retno Marsudi

bucinnya dikau tuan abiannnnnn

2021-06-30

0

nhiena Ali

nhiena Ali

𝕬𝖇𝖎𝖆𝖓 𝖙𝖆𝖒𝖇𝖆𝖍 𝖇𝖚𝖈𝖎𝖓 😍
𝖉𝖆𝖘𝖆𝖗 𝖆𝖋𝖎𝖋𝖆𝖍 𝖆𝖕 𝖒𝖆𝖚𝖓𝖞𝖆 😡
𝖙𝖚𝖓𝖌𝖌𝖚 𝖆𝖏 𝖕𝖊𝖗𝖒𝖆𝖎𝖓𝖆𝖓 𝕬𝖇𝖎𝖆𝖓 𝖉𝖆𝖓 𝕭𝖗𝖆𝖒..𝖏𝖌𝖓 𝖍𝖗𝖕 𝖐𝖒 𝖇𝖎𝖘𝖆 𝖒𝖘𝖐 𝖐 𝖉𝖑𝖒 𝖗𝖒𝖍 𝖙𝖆𝖓𝖌𝖌𝖆 𝖐𝖊𝖇𝖆𝖍𝖆𝖌𝖎𝖆𝖆𝖓 𝕬𝖇𝖎𝖆𝖓𝕴𝖓𝖉𝖎𝖗𝖆

2021-03-08

1

nhiena Ali

nhiena Ali

𝕬𝖐𝖚 𝖕𝖆𝖉𝖆𝖒𝖚 𝕬𝖇𝖎𝖆𝖓 𝕸𝖆𝖑𝖎𝖐 ❤
𝖘𝖚𝖆𝖒𝖎 𝖒𝖆𝖑𝖆𝖎𝖐𝖆𝖙 & 𝖘𝖚𝖆𝖒𝖎 𝖎𝖉𝖆𝖒𝖆𝖓 𝕴𝖓𝖉𝖎𝖗𝖆 𝕸𝖆𝖍𝖊𝖘𝖆 😍
𝖕𝖆𝖕𝖆𝖍 𝖐𝖊𝖇𝖆𝖓𝖌𝖌𝖆𝖓 𝕽𝖆𝖇𝖎𝖆𝖓_𝕽𝖆𝖋𝖆𝖊𝖑 😍❤

2021-03-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!