Part 16

Sebuah rumah mewah terletak di dalam hutan belantara seorang pria sedang memandangi wajah cantik wanita idamannya karena latar belakang yang berbeda dengan berat hati merelakan idaman hatinya bersama orang lain, sejak itu dia memilih sendiri di dalam rumah mewahnya dalam hutan teriakan seorang wanita membuyarkan lamunannya segera berjalan menuju ruang bawah tanah dengan membawa sebuah pisau.

"Kau ini sangat berisik." Ucapnya berjalan menuju halaman bawah tanahnya.

"Dasar lelaki bajingan apa yang akan kau lakukan dengan ku hah." Bentak wanita itu.

"Kau tidak usah berteriak seperti itu, sebentar lagi kau akan mengetahuinya." Pria itu mengasah pisaunya di depan wanita itu.

Artis papan atas itu mulai ketakutan dengan senyuman iblis pria itu dan mulai gemetaran berusaha melepaskan dirinya, pria itu berjalan mendekati wanita itu dan tertawa lepas melihat ekspresi wajah wanita cantik yang terkenal se-Indonesia.

"Aku mohon tolong lepaskan aku." Wanita itu memohon sambil menangis agar di lepaskan.

"Kau tetaplah di sini menemani ku seperti mereka." Pria itu melirik ke sebuah lemari es transparan.

Wanita itu melirik arah pandangan matanya dan tersentak melihat beberapa wanita tak bernyawa dengan luka sekujur tubuhnya." Tidak aku tidak mau seperti mereka ampuni saya tuan tolong." Teriak wanita itu menggema satu ruangan.

"Dasar wanita bodoh tidak ada yang bisa mendengar jeritan kau itu dan bersiaplah kita akan mulai sekarang." Aura wajah membunuhnya pun kelihatan dari Sorok matanya.

Satu pukulan di wajah cantiknya melesat jauh hingga membuat pipinya lebam dengan pukulan mautnya, wanita itu mulai menangis tersedu-sedu mendapat luka yang begitu sangat di rasakannya dia pun mengitari meja dan membela sedikit baju wanita itu hingga lepas dari tubuhnya kini tubuh polosnya tanpa seikat benang terpampang nyata di depan matanya, pria itu mulai mencekiknya hingga kehabisan nafas lalu asatu-persatu luka sobekan pisau menusuk kulit mulusnya hingga mengeluarkan cairan merah segar wanita itu hanya bisa pasrah dan meratapi nasibnya yang akan menunggu kematian yang sangat mengerikan. Suasana ruangan mulai mengcengkram ketika seluruh tubuh gadis itu penuh dengan luka sobekan pisau dari pria itu sesekali pria itu mengecup bibir manis gadis yang tak bernyawa itu dan menghirup setiap aroma tubuhnya, kini saatnya semua organ tubuhnya keluar dari dalam tubuhnya dan di letakkan dalam lemari es yang tak jauh dari mejanya kini wanita itu tak bernyawa lagi dan seluruh tubuhnya penuh luka.

Di Jakarta Rinjani mendapatkan informasi kalau artis papan atas Indonesia itu telah meninggal dunia di dalam villanya dengan luka sekujur tubuhnya dan juga jari-jarinya berada di depan villanya, Rinjani segera bergerak bersama timnya menelusuri kasus pertamanya sebagai jaksa Rinjani menatap wajah wanita itu dengan seksama dan mengingat kembali kejadian di mana dirinya bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu dan sekarang dia telah meninggal dunia dengan tidak wajar. Sekitar dua jam lamanya Rinjani tiba di sebuah villa mewah dengan halaman yang bersih Rinjani turun dari dalam mobilnya berjalan masuk ke dalam villa, Ken yang mendapat tugas dari atasannya untuk mengusut kasus ini berada di sana lebih dulu Rinjani memperhatikan setiap potongan jari yang begitu rapih dan korban dengan luka sekujur tubuhnya.

"Ken." Sapa Rinjani berjalan masuk ke dalam kamar.

"Hai Rinjani sedang apa kau di sini." Ucap Ken berbalik badan.

"Aku di tugaskan untuk mencari tahu penyebab kematian wanita itu." Rinjani berjalan-jalan melihat-lihat seluruh kamar." Bagaimana hasil otopsinya apa ada hal yang aneh dengan hasilnya." Sambungnya menatap Ken.

"Dari hasil otopsi korban mengalami luka sekujur tubuhnya dan ada hal aneh dalam kasus ini." Suara Ken mulai terdengar serius.

"Aneh bagaimana."

"Dari hasil visum korban mengalami benturan benda tumpul di bagian pipinya dan beberapa organ tubuhnya hilang, dan yang anehnya pelaku memotong semua jari tangannya dan menyimpannya di depan villanya, dan satu lagi kaki korban di tutup menggunakan plastik hitam." Ken memperlihatkan semua hasil visum dan juga otopsinya.

Rinjani terdiam dengan semua penjelasan Ken dan mengingat kembali gadis yang di bawa di dalam rumah mewah di dalam hutan, Ken bingung dengan reaksi Rinjani yang begitu di luar ekspektasinya.

"Ada apa Rinjani apa kau tahu sesuatu."

"Nga aku cuman lagi mikir aja motif dari pelaku ini apa dan kenapa dia selalu memotong jari setiap korbannya."

"Kau benar ini kasus yang sangat aneh."

Mereka berjalan keluar kamar setelah mendapat beberapa bukti dan kesaksian penjaga villa yang berada di sana dan akan kembali memeriksa tempat ini kalau saja ada hal yang janggal dalam kasus ini, Rinjani memperhatikan setiap sudut ruangan yang terpasang cctv dan meminta agar penjaga villa itu mengirim setiap rekaman cctv di hari kejadian meninggalnya nona Clara artis papan atas Indonesia. Rinjani bersama timnya berjalan keluar villa masuk ke dalam mobil melesat jauh dari sana Rinjani menatap kosong keluar jendela memikirkan kasus ini, Beni yang merasa kalau saja atasannya ini melamun segera membuyarkan lamunannya.

"Jangan ke banyakan melamun nanti kesambet Lohh." Ledek Beni melirik Rinjani.

"Fokus aja nyetirnya nga usah balik ke belakang nanti gua colok mata Lohh." Hardik Rinjani menatap tajam Beni.

"Galak bener." Ketus Beni kembali fokus.

Rinjani terfokus dengan jalanan yang mereka lewati pandangannya teralihkan melihat beberapa orang tengah berkumpul di bawah pohon dan melihat sesuatu, Beni menepikan mobilnya segera turun dari dalam mobil menerobos kerumunan warga yang sedang melihat sesuatu. Rinjani keluar dari dalam mobil berjalan mendekati mereka namun langkahnya terhenti melihat Beni berjalan menuju kearahnya dengan wajah yang sangat pucat.

"Masuk Rinjani masuk." Ucap Beni memaksa Rinjani untuk masuk.

"Ada apaan sihh Ben kenapa mereka berkerumun seperti itu apa yang mereka lihat." Tanya Rinjani menghentikan langkahnya.

"Nga ada apa-apa mereka cuman lihat anak kambing melahirkan." Elak Beni menarik Rinjani masuk ke dalam mobil.

Salah satu warga mulai pergi dengan ketakutan dari wajahnya Rinjani mulai curiga segera melepas tangan Beni dan memastikan ucapannya, belum dekat langkah Rinjani salah satu warga pingsan tak sadarkan diri di hadapannya membuat semua orang ketakutan dan berlari dari sana mata Rinjani menemukan sosok wanita tak menggunakan satu benang menutupi dirinya berada di bawah pohon rindang tak bernyawa dengan aroma busuk dari tubuhnya. Rinjani memuntahkan seluruh isi perutnya berlari menjauh dari lokasi kejadian dan merasa pusing ketika melihat jasad wanita itu yang sangat mengerikan, Beni menyodorkan sebotol air kepadanya dan segera meminumnya hingga habis tak tersisa Rinjani mengambil ponselnya berada di dalam mobil segera menghubungi Ken agar memeriksa penyebab kematian wanita itu.

Deringan pertama tidak ada jawaban Rinjani mencoba kembali deringan kedua Ken mengambil ponselnya menekan tombol hijau.

"Halo ada apa Rinjani." Suara Ken terdengar dari sebrang sana.

"Halo Ken Lohh bisa ke sini nga sekarang." Ucap Emeli dengan panik.

"Lohh kenapa apa yang terjadi." Ken mulai panik dengan situasi Rinjani.

"Gua nga sengaja nemuin mayat tidak jauh dari lokasi Clara tubuhnya sangat mengerikan, Lohh bisa kan ke sini sebentar."

"Iya ok gua ke sana sekarang jangan coba-coba mendekati wanita itu." Ken mematikan sambungan teleponnya.

Rinjani kembali masuk ke dalam mobil menyusul Beni yang sudah lebih dulu berada di sana Rinjani mulai ketakutan dengan kejadian yang aneh ini seakan-akan wanita itu di bunuh dengan cara tidak manusiawi, Beni mencoba menenangkan Rinjani yang mulai keringat dingin dengan situasi yang mengcengkram ini, tak berselang lama mobil Ken berada di depan mobilnya Ken segera turun dari dalam mobil menghampiri Rinjani yang sedang berdiri gemetaran di depan mobilnya.

"Lohh nga usah panik semuanya baik-baik saja ok." Ken menenangkan Rinjani dalam pelukannya.

"Gua takut liat itu semua." Rinjani mulai meneteskan air matanya.

"Dengerin gua sekarang Lohh masuk ke dalam mobil biar gua yang periksa jasad itu." Ken membawa Rinjani masuk ke dalam mobilnya.

Ken mengambil masker dan mendekati tubuh wanita itu penuh luka dengan aroma tubuh yang sangat busuk hingga menembus masuk ke dalam hidungnya, Ken mengambil sedikit Sempel darah dan menghubungi rekannya untuk membawa mayat ini untuk otopsi agar mengetahui penyebab kematian wanita itu. Tiga puluh menit berlalu tim Ken beserta ambulans tiba dan segera membawa jasadnya masuk ke dalam mobil melesat jauh dari lokasi, Ken berjalan menuju mobil Rinjani tersenyum manis dan menyuruhnya untuk segera kembali ke kantor Rinjani segera masuk ke dalam mobil melaju dengan kecepatan tinggi.

"Sumpah dehh Rinjani wanita itu sangat menyedihkan mana dia nga pakai baju lagi."

"Lohh nga usah omongin dia nanti malah arwahnya gentayangan mengganggu Lohh gimana."

"Bisa aja Lohh mana ada yang seperti itu ngaco aja."

"Dihh liat aja entar malem dia itu bakal gangguin Lohh sampai ngompol di celana." Ucap Rinjani sambil tertawa.

Beni memanyunkan bibirnya sedikit kedepan merasa kesal dengan ledekan Rinjani yang selalu membuat pipinya merah merona dengan ulahnya, beberapa jam berlalu Rinjani bersama Beni sampai di depan kantor kejaksaan kota di mana mereka bekerja Rinjani menatap sosok pria tampan sedang menunggu kedatangannya sambil membawa sesuatu di tangannya. Rinjani berjalan keluar dari dalam mobil menuju lobi kantor dan bertemu dengan kekasihnya yang sangat tampan dengan seragam kepolisiaanya, David memeluk sejenak tubuh Rinjani yang di rindukan selama berada di Semarang untuk bertugas.

"Sejak kapan kamu di sini." Ucap Rinjani melepas pelukannya.

"Baru sekitar lima belas menitan sihh." Ucap David mengusap lembut rambutnya.

"Kalau gitu gua masuk duluan ya soalnya takut jadi nyamuk." Goda Beni berjalan meninggalkan mereka.

Rinjani dan David hanya tertawa dengan tingkah Beni yang selalu saja membuat mereka tertawa mereka berjalan menuju ruangan Rinjani yang tidak jauh dari lobi, Rinjani membuka pintu ruangannya duduk di atas sofa David mengeluarkan makan siang mereka untuk di santap.

"Ngapain repot-repot segala bawain makan siang ke sini."

"Aku nga repot kalau buat pacar sendiri."

"Duhh romantis banget pacar aku." Rinjani sedikit mencubit pipi David.

"Gimana kerjaan kamu." Tanya David mengunyah makanannya.

"Semuanya berjalan lancar kok, oh iya kamu betah kan di semarang."

"Betah nga betah sihh soalnya nga ada kamu." David mulai menggoda Rinjani.

"Nga usah mulai udah habisin makanannya." Rinjani tertawa kecil dan kembali menyantap makan siang mereka.

Mereka begitu menikmati makan siangnya yang khusus dibuat untuk Rinjani setelah menghabiskan makanannya mereka mengobrol tentang pekerjaan mereka masing-masing, di sela-sela percakapan mereka Beni masuk ke dalam ruangan Rinjani begitu saja tanpa permisi membawakan sebuah berkas penting untuk segera di periksa.

"Bisa nga Lohh masuk ketuk pintu dulu." Kesal Rinjani berjalan duduk di kursi kebesarannya.

"Iya maaf soalnya gua buru-buru ngasih berkas ini sama Lohh." Beni menyodorkan sebuah berkas.

"Berkas apaan sihh keliatannya Lohh serius banget." Rinjani mengambil berkas yang di berikan Beni.

"Lohh baca aja dulu itu dari Ken." Beni berjalan duduk di sebelah David.

Rinjani membuka amplop yang berisikan berkas penting dari hasil pemeriksaan jasad wanita itu Rinjani membacanya secara detail tanpa ada yang terlewatkan, lagi-lagi Rinjani menemukan keanehan dari hasil otopsi yang di lakukan Ken kali ini bagian leher wanita itu sengaja di ikat dengan tali untuk menggantungnya di atas pohon, Rinjani juga menemukan kejanggalan kematian wanita itu semua organ vital dan juga paru-parunya tidak berfungsi dengan norma seperti mati di dalam sebuah lemari dengan kehabisan nafas.

"Ini hasil udah benar ben." Rinjani berjalan menuju mereka.

"Mana gua tau yang periksa kan sih Ken, kenapa Lohh nanya gua aneh." Ketus Beni.

"Lohh ini gimana sihh makanya kalau bawa berkas itu di cek dulu kebenarannya jangan asal bawa aja." Kesal Rinjani.

"Ya udah gua balik ke ruangan dulu takut ganggu dahh." Beni berjalan keluar ruangan Rinjani dengan tawa lepasnya.

David tertawa geli dan memperhatikan wajah Rinjani yang mulai berubah." Kenapa dengan hasilnya apa ada yang aneh." Tanya David mengambil berkas itu.

"Banyak kejanggalan dalam kematian wanita itu dan juga nona Clara semuanya tewas kehabisan nafas seperti masuk ke dalam lemari." Ucap Rinjani memikirkan sesuatu.

"Maksud kamu pelaku dengan sengaja mengurung korban di dalam lemari sebelum di eksekusi." Tebak David.

"Mungkin saja seperti itu." Rinjani mengusap kepalanya.

David menenangkan Rinjani dalam pelukannya dan berusaha berpikir positif dengan kasus yang baru saja mereka lihat, di sisi lain Ken merasa kasihan dengan para korban yang tewas begitu sangat mengerikan Ken berjalan keluar ruangan menemui Brama yang berada di dalam ruangannya sedang memeriksa beberapa berkas yang akan sidang besok hari.

"Serius banget keliatannya." Ken berjalan masuk duduk di atas sofa.

"Iya gua lagi menyelesaikan berkas yang akan menjalani sidang besok." Ucap Brama fokus dengan berkas.

"Oh iya luhh merasa aneh nga sihh dengan kasus ini pelaku seolah-olah menyimpan para korban dalam sebuah lemari dingin." Ucapan Ken mulai serius.

"Gua rasa juga gitu sihh, tapi pelaku ini sebenarnya mengincar apa dari para wanita itu." Tanya Brama berjalan duduk di sebelah Sahabatnya.

"Sejauh ini motif pelaku belum bisa kita simpulkan sebab pelakunya belum tertangkap juga kan." Ken merebahkan tubuhnya.

Brama mengganggukkan kepalanya kembali mengerjakan tugas yang belum selesai dan kembali fokus dengan berkasnya, David yang baru saja selesai bertemu dengan Rinjani pamit untuk segera pergi kembali ke Semarang Rinjani melepas Kerinduannya kepada David yang akan kembali ke Semarang David mengecup puncak kening Rinjani berjalan keluar ruangan Rinjani menuju lobi. Rinjani berjalan menuju sofa merebahkan tubuhnya rasa kantuk menyerang kepalanya dan mulai terlelap dalam tidurnya.

Rinjani membuka matanya begitu melihat sebuah cahaya lampu menerangi ruangan di mana tempatnya berada, Rinjani membuka matanya secara perlahan mengedipkan matanya beberapa kali dan kembali mengedarkan pandangannya menelusuri ruangan yang begitu luas dan lengkap dengan alat-alat untuk memotong hewan. Rinjani berjalan menuju keluar ruangan dan mendengar jeritan seorang gadis yang berasal dari ruangan tamu, Rinjani segera berlari menuju ruangan tamu rumah mewah itu dan melihat seorang pria bertopeng menarik paksa tangan gadis cantik yang begitu gemetaran melihat sosok pria itu Rinjani mulai panik akan sesuatu terjadi pada wanita itu dan berusaha menolongnya. Namun tangannya tidak mampu membantu gadis itu dan kembali teringat kalau sekarang dia berada di alam bawa sadarnya dan hanya bisa menyaksikan gadis itu dia di seret masuk ke dalam ruangan bawah tanah, Rinjani menangis dengan kejadian itu dan berusaha terbangun dari mimpi buruknya Rinjani terbangun dengan keringat sekujur tubuhnya mengingat mimpinya yang sangat mengerikan dan segera mengeringkan tubuhnya.

Deringan ponsel membuat Rinjani tersadar dan segera menekan tombol hijau melihat nama Ken berada di depan layar ponselnya.

"Ada apa Ken." Ucap Rinjani sedingin mungkin.

"Lohh di mana sekarang."

"Gua lagi di kantor ada apa."

"Bisa ke keruangan gua nga sekarang ada yang mau gua omongin."

"Baiklah gua ke sana sekarang."

Rinjani mematikan sambungan teleponnya segera beranjak masuk ke dalam kamar mandi membasuh wajahnya dan menggosok giginya, setelah rapih Rinjani berjalan keluar ruangan menuju ruangan Ken yang cukup jauh dari ruangannya Rinjani terus berjalan tanpa sengaja menabrak seseorang hingga terjatuh ke lantai.

"Aduhh." Rintihan wanita itu.

"Ya ampun sorry gua nga sengaja." Kata Rinjani membantunya berdiri.

"Iya nggak papa kok lagian ini salah gua nga liat-liat kalau jalan." Wanita itu tersenyum manis.

Kilasan kejadian di rumah mewah itu terlintas di depan mata Rinjani ketika melihat wajah yang sama seperti di dalam mimpinya, Rinjani mengucek-kucek matanya memperhatikan setiap inci wajah wanita itu dan terkejut dengan apa yang di lihatnya di dalam mimpi dan sama di dalam duani nyata, wanita itu merasa aneh dengan tatapan Rinjani dan segera berjalan melewati Rinjani yang hanya bengong saja melihat Kepergiannya.

"Astaga bukankah dia orangnya." Lirih Rinjani berlari mengerjakannya namun tidak menemukan wanita itu.

"Sialan kemana larinya wanita itu, kenapa cepat banget ya." Ucap Rinjani ngos-ngosan.

Rinjani kembali mencari-cari namun tidak menemukannya dan kembali berjalan menuju ruangan Ken dengan pikiran yang menghantuinya, Rinjani masuk ke dalam ruangan Ken yang terus bengong, isi kepala Rinjani hanya di penuhi dengan wanita yang baru saja bertemu dengannya dan merasa khawatir dengan keselamatannya. Ken memperhatikan Rinjani yang sejak masuk hanya bengong tanpa menjawab pertanyaannya dan menggelengkan kepalanya berjalan duduk di sebelahnya.

"Lama ya nunggunya." Ucap Ken berjalan kearahnya.

"Nga juga gua baru aja duduk." Jawab Rinjani dengan santai.

"Oh iya nihh luhh liat hasilnya." Ken memberikan berkas hasil otopsi semua korban.

"Hasilnya udah akurat kan nga ada yang salah kan dari hasil pemeriksaannya." Tanya Rinjani membuka amplopnya.

"Iya itu udah akurat banget Lohh tinggal baca aja." Ketus Ken.

Rinjani segara membuka amplopnya dan membaca hasil otopsi semua korban yang mereka temui di beberapa lokasi yang berbeda, namun luka dan hasil otopsinya sama hanya tempat yang membedakan mereka.

"Kok aneh ya semua lokasi yang ada di hasil pemeriksaan, semuanya berbeda lokasi tapi luka yang mereka dapatkan kok bisa sama ya."

"Makanya gua juga heran dengan kasus ini."

"Ya udah gua bawa dulu hasilnya besok kita ke tempat lokasi kejadian untuk mencari petunjuk siapa tau kita menemukan sesuatu yang penting."

"Ya udah Lohh baik-baik di jalan." Ken beranjak dari duduknya.

Rinjani berjalan keluar parkiran mobil masuk ke dalam mobilnya melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata meninggalkan kantor Ken menuju apartemennya, Rinjani fokus dengan jalanan yang di lewatinya tanpa mencurigai setiap orang yang berada di belakangnya Rinjani semakin menambah laju mobilnya ketika mobil yang berada di belakangnya terus saja mengikutinya, Rinjani segara membawa mobilnya Dengan kecepatan tinggi meninggalkan beberapa mobil yang mengikutinya Rinjani terus melajukan mobilnya hingga sampai di depan parkiran apartemennya. Rinjani bernafas lega setelah sampai di dalam kamarnya dan mengatur nafasnya yang begitu memburu, Rinjani memikirkan orang-orang yang baru saja mengikutinya sampai di depan apartemennya Rinjani merogoh kocek tasnya mengambil ponselnya segera menghubungi Beni.

"Beni segera menekan tombol hijau melihat telpon dari Rinjani." Tumben nelfon gua ada apa nihh."

"Nga usah kepedean dulu gua nelpon Lohh cuman mau bilang besok Lohh jemput gua." Kesal Rinjani.

"Emang mobil Lohh kenapa bukanya tadi baik-baik aja kan, kok sekarang rusak sih." Beni mulai merasa curiga.

"Ya ampun nyesel gua nelpon Lohh, gua tadi di ikutin orang makanya gua nelfon Lohh untuk jemput gua itu aja."

"Di ikutin orang? Tapi kau baik-baik aja kan nga ada yang luka kan." Beni mulai panik.

"Tenang aja gua selamat kok nga usah khawatir besok jangan lupa jemput gua di depan lobi awas kalau telat." Rinjani mematikan sambungan teleponnya sebelum mendengar suara Beni.

"Astaga nihh orang main matiin aja dasar nyebelin." Guman Beni dalam hatinya.

Rinjani berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajah dan juga menggosok giginya, sepuluh menit berlalu Rinjani keluar kamar mandi dengan piyama kesukaannya segera berjalan menuju tempat tidurnya merebahkan tubuhnya terlelap dalam tidurnya.

Di Bandung Rani Baru saja pulang dari kantornya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya, jalanan yang mulai di guyur hujan dan nampak sepi menambah suasana yang mengcengkram melewati jalanan ini Rani berusaha tenang dan terus waspada dengan jalanan yang di lewatinya. Beberapa geng motor mulai berada di belakang mobilnya membuat Rani semakin takut dan menambah laju mobilnya di atas rata-rata, beberapa pria itu mulai tertarik dengan mobil Rani dan segera menyusul mobil Rani yang berada jauh dari posisi mereka.

Rani mengambil ponselnya segera menghubungi Dimas untuk menolong dari kejaran para geng motor yang mengikutinya, Dimas yang baru saja kelar dari meeting merogoh kocek saku celananya mengambil ponselnya menekan tombol hijau melihat nama Rani di layar ponselnya.

"Halo nona Rani."

"Halo mas Dimas lagi di mana." Suara Rani terdengar panik.

"Nona Rani kenapa." Dimas segera berjalan menuju lobi kantor.

"Mas tolongin Rani Beberapa geng motor mulai mengikuti Rani, aku jadi takut mas mana lagi jalannya sepi."

"Nona tenang jangan panik sekarang saya ke sana tetap dalam keadaan tenang ya jangan panik." Dimas mematikan ponselnya.

Rani berusaha tenang dan menambah laju mobilnya menunju kediamannya namun hal tak terduga menghampirinya salah satu dari mereka berhasil menghadang mobilnya di tengah jalan yang sepi dan di guyur hujan, Rani mulai ketakutan melihat semua pria itu mengetuk-ketuk kaca mobilnya Rani terus menghubungi Dimas yang tak kunjung datang menolongnya, mereka terus menggedor-gedor kaca mobil Rani dengan terpaksa membuka dan keluar dari dalam mobil berusaha tenang dan waspada dengan mereka. Salah satu dari mereka berusaha menarik tangan Rani namun berhasil di tepis olehnya dan perkelahian pun tak terelakkan, kini Rani melawan mereka satu-persatu agar bisa lolos dari mereka Rani terus menepis bogem mentah yang ingin menyentuh wajah cantiknya Rani mengatur nafasnya menghadapi mereka semua yang jumlah mereka lumayan banyak. Rani berusaha menghindari serangan mereka yang tertuju padanya dan membuat salah satu mereka tersungkur ke bawah meringis kesakitan, serangan demi serangan berhasil di tepis oleh Rani dan melayangkan bogem mentahnya beberapa kali pada mereka hingga jatuh ke bawah.

Dimas yang baru saja sampai segera keluar dari dalam mobil berjalan menuju arahnya Rani mulai jengah dan kehabisan tenang menghadapi mereka satu bogem mentah melesat cepat ke wajahnya namun masih bisa di tepis oleh Dimas, Rani menutup matanya kali saja bogem itu mengenai wajahnya namun mereka malah semakin meringis kesakitan dengan bogem Dimas yang melayang di wajah mereka. Rani membuka matanya secara perlahan menatap Dimas yang ngos-ngosan menghadapi mereka, Rani takjub dengan keahlian bela diri Dimas yang bisa mengalahkan mereka semua hingga tak sadarkan diri habis dapat bogem mentah dari asisten pribadi kakeknya.

"Wahh mas Dimas keren banget." Lirih Rani tanpa berkedip.

"Nona nga papa kan." Tanya Dimas melihat Rani.

Rani diam saja menatap wajah tampan Dimas yang mampu mengalahkan semua geng motor yang berusaha menghadangnya, Dimas mulai merasa risih dengan tatapan Rani yang begitu berarti baginya dan menepuk pundak Rani hingga salah tingkah dibuatnya.

"Nona baik-baik saja kan." Tanya Dimas sekali lagi.

"Iya aku baik-baik aja kok mas, oh iya makasih udah mau nolongin aku." Rona pipi mulai nampan di wajah Rani.

"Ini sudah kewajiban saya untuk menjaga nona, sekarang Anda masuk ke dalam mobil biar saya antar sampai rumah tuan Arya." Dimas menarik lembut tangan Rani.

Rani tidak menjawab pertanyaan Dimas dan hanya mengikutinya masuk ke dalam mobil dan segera melesat pergi dari sana, Rani mulai sadar dan kembali bersikap normal dan tertawa geli dengan tingkahnya yang malu-maluin. Sepanjang perjalanan mereka hanya menatap kosong ke depan melihat jalanan yang mulai renggang, perut keroncongan Rani mulai terdengar di telinga Dimas yang sedang fokus menyetir Rani mulai malu dengan suara perut yang terus saja bunyi untuk segera isi.

"Sialan ngapain nihh perut malah bunyi segala malu-maluin gua aja." Guman Rinjani dalam hati.

"Nona lapar." Tanya Dimas tanpa melirik.

"Iya aku lapar banget bisa singgah nga mas kalau liat penjual nasi goreng.," Ucap Rani cegegesan.

"Baiklah." Dimas menambah laju mobilnya mencari penjual nasi goreng.

Pandangan Dimas terus mencari penjual nasi goreng yang masih buka di tengah malam seperti ini mereka terus mencari dan memperhatikan setiap jalan yang mereka lewati, hampir setengah jam mereka mencari akhirnya penjual yang mereka cari ketemu juga dan segera menepikan mobilnya keluar dari dalam mobil Rani berjalan menuju kursi yang masih kosong dan memesan nasi untuk dua orang.

"Nona kenapa mesennya dua nasi goreng kan yang lapar nona emang habis dua porsi sendiri."

"Yang ngalah mas satunya lagi buat mas kita makan bareng."

"Ya ampun nona nga usah saya akan segera pergi."

"Jangan nolak dong kan udah di pesan gimana sih." Kesal Rani mengalihkan pandangannya.

Dimas merasa tidak enak hati menolak ajakan Rani dan tetap duduk berdua sampai makanan mereka datang mereka menikmati suasana malam berdua seperti pasangan kekasih banyak mata tertuju pada mereka, membuat Dimas salah tingkah dengan tatapan semua orang yang seolah-olah memandang bersama kekasihnya Rani tertawa kecil dia tahu bagaimana tatapan semua orang kepada mereka dan hanya bersikap santai hingga makanan mereka habis. Rani mengeluarkan dompetnya mengambil selembar uang merah dan memberikannya kepada pelayan di sana, namun Dimas lebih dulu membayar makanan mereka.

"Biar saya yang bayar nona."

"Kenapa harus mas yang bayar kan aku yang ajak makan jadi aku yang bayar." Rani memberikan kembali uangnya.

"Jangan nona biar saya yang bayar." Dimas kembali mengasih pelayanannya.

Pelayanannya mulai geram dengan tingkah Rani dan Dimas dan segera mengambil kedua uangnya." Biar saya ambil semua dan tunggu kembaliannya." Ketus pelayan itu berjalan pergi.

"Tuhh kan mas gimana dong kan udah aku bilang biar aku yang bayar kenapa mas keras kepala banget." Rani memanyunkan bibirnya sedikit kedepan.

Dimas tersenyum manis dengan sikap manja Rani yang baru kali ini di lihatnya tak berselang lama pelayan itu kembali membawakan uang kembalian mereka dan beranjak dari duduknya, Rani berjalan pergi dengan wajah masamnya masuk ke dalam mobilnya Dimas segera menyusul langkah Rani masuk ke dalam mobil melesat jauh dari sana. Rani terus fokus menyetir hingga sampai di depan halaman kediaman kakeknya, Rani memparkirkan mobilnya ke dalam garasi berjalan keluar mobil menghampiri Dimas yang berada di luar halaman rumahnya dengan wajah yang masih kesal dengannya.

"Aku masuk dulu makasih udah bantuin aku, udah sana pulang udah malam juga." Ketus Rani berjalan masuk namun kakinya tersandung dan hampir jatuh.

Dengan sigap Dimas menangkap tubuh mungil Rani di dalam pelukannya hingga mereka saling berpandangan satu sama lain, hal aneh merasuki jantung mereka satu sama lain membuatnya malu dan salah tingkah dan segera bersikap biasa-biasa saja.

"Nona hati-hati kalau jalan dong kalau jatuh gimana."

"Iya maaf bawel amat sih mas."

"Ya udah saya pulang dulu udah malam nga enak sama tuan besar."

Rani hanya mengganggukkan kepalanya berjalan masuk dan keduanya terlihat tersenyum dengan tingkah mereka berdua dan segera masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang sangat senang, begitu pun dengan Dimas yang merasa senang bisa berpandangan dan juga makan bareng bersama Rani berdua, dimas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju apartemen miliknya yang tidak begitu jauh dari perumahan elit milik tiang Arya. Dimas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menelusuri jalanan yang mulai sepi dengan kendaraan dan mulai memasuki halaman parkiran apartemen miliknya, Dimas keluar dari dalam mobil setelah memparkirkan mobilnya dan berjalan keluar masuk ke dalam lobi apartemennya awalnya langkahnya baik-baik saja namun ketika masuk ke dalam lift seorang wanita bertubuh mungil menabrak dirinya hingga jatuh bersamaan. Dimas segera berdiri dan membantunya berdiri bersikap sedingin mungkin dan menekan tombol lantai dua puluh lima, wanita itu terus memandangi wajah tampan Dimas yang begitu sangat tampan membuatnya jadi salah tingkah Dimas terus menatap keluar lift setelah berbunyi Ting lift terbuka dan Dimas keluar dari sana berjalan menuju kamarnya wanita itu merasa kesal dengan sikap dingin Dimas yang tidak sama sekali memandangnya hingga mereka keluar dari lift.

"Ya ampun ganteng sihh tapi dingin banget seperti es balok." Ucapnya berjalan di belakangnya.

Dimas terus berjalan hingga masuk ke dalam kamarnya menutupnya dengan pelan dan segera berjalan masuk ke dalam kamarnya, wanita itu tersenyum manis melihat Dimas masuk ke dalam kamarnya karena kamar mereka bersampingan dan lebih mudah untuk bertemu atau pun sekedar menyapa, Dimas berjalan masuk ke dalam kamar mandi membasuh wajah dan menggosok giginya menatap wajahnya dari pantulan cermin dan tersenyum manis mengingat momen kebersamaan bersama Rani yang baru saja mereka lakukan.

"Kenapa dia begitu cantik kalau sedang marah ya." Ucap Dimas tersenyum manis.

Dimas terus menerus memikirkan Rani setiap pikirannya hingga selalu tersenyum sendiri seperti orang gila, Dimas berjalan keluar kamar mandi berjalan menuju tempat tidurnya merebahkan tubuhnya menatap langit-langit kamarnya memejamkan matanya terlelap dalam tidurnya, di kediaman tuan Arya Rani sedang gembira mengingat wajah tampan Dimas yang lagi bertatapan dengannya hingga lupa bagaimana caranya menggosok giginya Rani tertawa dengan tingkahnya yang seperti baru jatuh cinta dengan seseorang padahal hatinya sudah di miliki oleh Brama namun mereka harus berpisah dengan pekerjaan masing-masing. Rani berjalan keluar kamar menuju tempat tidurnya duduk di tepi ranjang memandangi ponselnya dan menunggu kabar dari mantan kekasihnya namun tidak pernah terwujud, Rani meletakkan ponselnya di atas nakas segera merebahkan tubuhnya menatap langit-langit kamarnya memikirkan hubungannya bersama Brama yang mulai renggang sebab jarak mereka yang sudah menjauh satu sama lain. Air mata yang mulai terbendung mulai mengalir seperti air membasahi pipinya yang mulus dan segera menyekanya memejamkan matanya hingga terlelap dalam tidurnya.

Mentari pagi menyinari kamar wanita cantik yang sedang bersiap-siap dengan seragam kerjanya yang selalu menjadi kebanggaannya dan keluarganya, Rinjani tersenyum manis melihat pantulan dirinya yang begitu rapih di depan cermin usai bersiap-siap Rinjani berjalan keluar kamar menuju dapur untuk membuat sarapan untuk dirinya sendiri, sejak tinggal di apartemen ini Rinjani mulai terbiasa sarapan sendiri dan juga masak sendiri untuk mengurus semua kebutuhannya sendiri dan menjadi aktivitasnya sebelum berangkat ke kantor. Dari kecil Rinjani selalu memasak atau menyiapkan makanan untuk keluarganya membantu mamanya kalau sedang sibu di dapur, untuk itu Rinjani selalu terbiasa dengan semua pekerjaan dapur dan merasa senang ketika masak dan menyiapkan makan sendiri. Setelah semua telah matang Rinjani duduk dan menyantap makanannya begitu lahap dan terus memantau ponselnya memeriksa berkas yang belum sempat di kerjakan di kantornya, selintas bayangan laki-laki jatuh dari jurang melintas di pikirannya membuat kepalanya pusing dan menghentikan sarapannya.

Rinjani segera mengambil air minum dan meminumnya hingga habis menenangkan kepalanya yang semakin sakit, bayangan itu semakin nyata dan berada di sebuah jalan yang penuh dengan jurang menatap mobil yang tidak asing baginya jatuh dari atas ke bawah jurang yang dalam.

"Arrkkkhhh." Rinjani teriak sekeras mungkin memengangi kepalanya.

Rinjani mulai tenang setelah berteriak seperti itu dan kembali mengingat kejadian yang baru saja di lihatnya sepagi ini." Siapa lelaki itu kenapa mobilnya seperti tidak asing bagi ku." Ucap Rinjani memijit-mijit kepalanya yang terasa berat.

Rinjani melanjutkan sarapannya hingga habis dan segera beranjak berjalan keluar kamarnya menuju lift, di depan lift sudah banyak penghuni apartemen yang siap-siap masuk ke dalam Rinjani berdiri paling depan menekan tombol lantai satu sambil memainkan ponselnya. Deringan ponsel membuat semua orang tertuju padanya dan segera menekan tombol hijau.

"Hali Brama ada apa." Ucap Rinjani.

"Halo Lohh di mana sekarang." Tanya Brama buru-buru.

"Masih di apartemen emang ada apa kok kedengarannya Lohh buru-buru gitu." Tanya Rinjani berjalan keluar lift.

"Gawat kasus yang kita usut itu secara tiba-tiba di tutup oleh kepala kepolisian, menurut mereka kasus itu tidak seharusnya di selidiki."

"Kenapa." Teriak Rinjani sedikit meninggi hingga menjadi pusat perhatian semua orang." Kurang ajar kenapa dia seenak jidat menutup begitu aja Lohh tunggu gua sekarang ke sana." Rinjani menutup sambungan teleponnya.

Rinjani berjalan tergesa-gesa melewati orang-orang yang berada di depan lobi apartemen dan berjalan masuk ke dalam mobilnya tanpa menunggu Beni yang belum juga datang, melesat jauh menuju kantornya Rinjani terus memikirkan kasus yang baru-baru saja di beritakan oleh media sosial bahwa kasus itu resmi di tutup oleh kepala kepolisian karena melanggar peraturan pemerintah. Rinjani menambhakan laju mobilnya dan semakin emosi ingin secepatnya sampai di kantornya di persimpangan jalan lampu merah menandakan semua orang berhenti namun Rinjani menancap gasnya melewati lampu merah membuat semua orang tercengang dengan laju kendaraannya, emosi terus mengisi pikiran Rinjani saat ini hingga tiba di depan parkiran kantornya dengan kecepatan di atas rata-rata membuat Ken dan Brama yang berada di luar kantor terkejut. Rinjani keluar dari dalam mobil berjalan menuju arah Brama dan Ken yang masih terpaku dengan aksi Rinjani yang sangat berbahaya baginya dan orang lain, Rinjani menatap mereka setajam silet hingga Brama tersadar dari lamunannya menatap mata Rinjani yang tidak biasanya.

"Lohh ini bisa nga sihh bawa mobilnya pelan-pelan aja kalau kau celaka atau orang lain gimana." Ucap Brama mengalihkan pandangannya.

"Di mana dia sekarang." Ucap Rinjani penuh emosi.

"Tenangin diri Lohh dulu orang yang kita cari sedang tugas diluar kota." Sahut Ken menepuk pundak Rinjani.

"Apa dia sudah tidak waras menutup kasus begitu saja, bagiamana pun caranya kasus ini harus tetap kita selidiki meski harus bertentangan dengannya." Rinjani berjalan masuk ke dalam kantor.

Ken memburu langkah Rinjani yang sudah lebih jauh darinya mencegah tangannya." Jangan gegabah dalam kasus ini Rinjani kita sedang melawan orang yang tidak biasa, kau tau kan kepala kepolisian itu seperti apa jangan membahayakan diri Lohh sendiri." Ucap Ken dengan cemas.

"Lohh nga usah khawatir kalau kalian nga mau ikut selidiki kasus ini biar gua sendiri yang cari tahu." Rinjani melepas tangannya dengan kasar.

Rinjani terus berjalan menuju ruangannya meninggalkan Ken dan Brama yang semakin khawatir dengan keadaan Rinjani yang akan tetap menyelidiki kasus ini.

"Astaga Ken ini gimana Rinjani itu keras kepala bukan kalau di kenapa-kenapa bagaimana."

"Gua juga bingung kita harus bagaimana sekarang, mencegah Rinjani itu sangat sulit."

"Ya udah kita lanjutkan saja penyelidikan ini lagian kepala kepolisian kan lagi nga ada sini."

"Nanti gua pikirin sekarang kembali bekerja sana." Ken berjalan meninggalkan Brama.

Rinjani masuk ke dalam ruangannya bayangan itu kembali melintasi pikirannya hingga membuatnya tersungkur kebawah lantai hingga menjatuhkan vas bunga pecah lebur membuat semua orang terkejut melihatnya, Ken segera masuk ketika melihat kerumunan di depan ruangan kerja Rinjani dan mendapati Rinjani tersungkur ke bawah memenangi kepalanya yang terasa sangat sakit.

"Rinjani Lohh kenapa." Ken mulai panik melihat wajah pucat Rinjani.

"Kepala gua sakit banget Ken." Rinjani mulai tak sadarkan diri.

"Bertahan kita ke rumah sakit sekarang." Ken membawa Rinjani dalam pelukannya berlari keluar ruangan.

Pandangan Rinjani mulai kabur hingga tak sadarkan diri di pelukan Ken yang sedang membawanya menuju parkiran mobil, Brama yang tidak sengaja bertemu dengan mereka sempat tercengang dengan tingkah Ken yang membawa Rinjani dengan keadaan pingsan.

"Rinjani kenapa Ken." Teriak Brama.

"Dia pingsan gua mau bawa ke rumah sakit tolong selesaikan berkas yang ada di dalam ruangan gua ya." Teriak Ken kembali berjalan.

Ken membawa Rinjani masuk ke dalam mobilnya dengan perlahan lalu mengitari mobilnya dan duduk di kursi kemudi, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat dari kantor mereka Ken semakin cemas dengan kondisi Rinjani yang tidak kunjung sadar dari pingsannya dan menambah laju mobilnya, dua puluh menit berlalu Ken tiba di depan rumah sakit terdekat dari kantornya segera turun dari dalam mobilnya membawa Rinjani masuk dengan ala bridal style membuat para wanita iri dengan Rinjani yang di bawa dengan pria tampan. Seorang dokter cantik menghampiri mereka sambil membawa bangkar dan meletakkan Rinjani di atasnya lalu mereka membawa Rinjani masuk ke dalam ruangan UGD untuk segera di berikan pertolongan pertama, Ken terus memandangi kamar UGD yang belum juga kunjung terbuka dari sejak mereka kemari tak beberapa lama dokter cantik keluar dari dalam kamar UGD sambil tersenyum manis kepada Ken.

"Dokter bagaimana keadaan teman saya." Ken terlihat sangat khawatir.

"Teman kamu baik-baik saja kamu tidak usah khawatir." Ucap dokter itu.

"Syukurlah terus apa dia akan di rawat di sini."

"Sepertinya nga perlu karena dia hanya syok saja makanya tak kunjung sadar dari pingsannya, saya akan memberikan obat penenang agar dia merasa tenang kalau sakitnya kembali menyerang."

"Baik terima kasih dokter."

Dokter itu pun pamit untuk segera kembali ke dalam ruangannya Ken segera berlari masuk ke dalam kamar Rinjani dengan perasaan lega melihat Rinjani sudah tersadar dari pingsannya.

"Lohh usah sadar gimana udah baikan nga."

"Udah kok apa kita boleh pulang sekarang."

"Boleh tunggu sebentar lagi dokternya lagi nulis resep yang harus Lohh minum nantinya."

"Nga usah gua udah enakan kok jadi nga usah minum obat segala." Rinjani berjalan turun dari tempat tidurnya.

"Astaga Rinjani nga usah keras kepala gitu Lohh duduk dulu kita tunggu dokternya kembali." Ucap Ken dengan kesal kembali membawa Rinjani di atas tempat tidurnya.

Rinjani berdengus kesal dan kembali duduk di tempat tidurnya menenangkan perasaannya dan mengatur nafasnya yang sedang tidak karuan, dua puluh menit berlalu dokter cantik bersama suster memasuki kamar sambil tersenyum manis kepada mereka, Rinjani diam saja menatap mereka dan turun dari atas tempat tidur sambil menunggu Ken berbicara dengan dokter cantik itu Ken yang merasa Rinjani jengah dengan mereka segera berpamitan pulang untuk segera menebus resep obat yang mereka berikan. Ken menarik tangan Rinjani dengan lembut keluar dari dalam kamar menuju apotek rumah sakit yang tidak jauh dari kamar UGD, Rinjani terus mengikuti Ken yang menariknya seperti sapi dan memasang wajah masamnya hingga mereka sampai di depan apotek rumah sakit dan segera menebus obat yang di perlukan Rinjani.

"Gua kan udah bilang nga usah Nebus obatnya, lagian gua baik-baik aja kok." Ketus Rinjani melepas tangannya.

"Nga usah banyak omong ikutin aja saran dokternya, emang Lohh mau sakit kepala Mulu." Ken mengambil obat yang di berikan susternya.

"Terserah Lohh aja lahh." Rinjani berjalan menuju lobi rumah sakit.

Ken hanya diam dan mengikuti langkah Rinjani menuju lobi rumah sakit mereka berjalan menuju parkiran rumah sakit dan mendapati keributan di luar rumah sakit dengan beberapa warga berdemo di halaman rumah sakit, Rinjani bingung dengan beberapa warga yang berdemo meminta pertanggung jawaban atas dokter malpraktek yang terjadi di rumah sakit ini. Pria paruh baya keluar tergesa-gesa menuju halaman rumah sakit melewati Rinjani dan Ken yang memperhatikan mereka sedang berdemo, pria itu berdiri di hadapan mereka semua yang tengah berteriak-teriak meminta pertanggung jawaban mereka atas meninggalnya salah satu warga mereka yang di jadikan kelinci percobaan.

"Kalian harus bertanggung jawab atas meninggalnya keluarga kami yang anda jadikan sebagai kelinci percobaan." Ucap salah satu dari mereka dengan penuh emosi.

"Saya harap kalian tenang dulu kita bisa bicarakan ini semua dengan baik-baik." Pria itu berusaha tenang menghadapi mereka.

"Apa anda tidak mempunyai hati nurani ayah saya meninggal setelah kalian melakukan operasi, dengan dokter malpraktek yang membuat ayah saya harus meninggalkan saya dan keluarga saya."

"Saya mengerti dengan perasaan kalian tapi tolong jangan berteriak seperti itu."

Mereka terus menerus berteriak di depan halaman rumah sakit untuk membuat dokter yang membuat keluarga mereka meninggal dunia karena kelalaiannya, Rinjani terus menyaksikan para petinggi rumah sakit yang terlihat santai dengan kejadian ini dan memanggil beberapa satpam yang berada di halaman rumah sakit untuk mengusir mereka semua, mereka terus mendesak pihak rumah sakit untuk bertanggung jawab dengan masalah ini dan akan terus kembali ke rumah sakit ini. Rinjani mulai geram dengan sikap para petinggi rumah sakit yang terus menyuruh orang-orang bawahannya mengusir para pedemo, mata Rinjani teralihkan dengan salah satu dokter yang berdiri sejak para warga itu berdemo dan terlihat sangat santai bahkan tertawa dengan semua masalah ini.

"Tunggu." Teriak Rinjani menghentikan para satpam yang berusaha mengusir para pendemo.

Rinjani berjalan menuju para warga meninggalkan Ken yang bengong melihat tingkah Rinjani yang begitu berani ikut campur dengan Masalah mereka.

"Rinjani kau mau ke mana jangan ikut campur dengan masalah mereka." Ucap Ken menahan tangan Rinjani.

"Terus kita hanya diam saja melihat mereka semua di tindas dengan mereka semua hah." Bentak Rinjani melirik semua orang.

Ken melepas genggamannya Rinjani melanjutkan langkahnya menuju para pendemo menatap satu-persatu warga yang terlihat kacau dan sedih dengan kejadian ini, Rinjani menarik salah satu warga itu menjauh dari mereka untuk berbicara empat mata dengannya membuat semua orang bingung dengan tingkah Rinjani yang menarik salah satu dari mereka.

"Anda siapa dan kenapa kita harus menjauh dari mereka."

"Nama saya Rinjani kepala kejaksaan Jakarta." Ucap Rinjani memperkenalkan dirinya.

"Anda seorang jaksa." Tanya pria itu dengan antusias.

"Iya saya seorang jaksa ada masalah apa anda dengan pihak rumah sakit." Rinjani mulai terdengar serius.

"Beberapa Minggu yang lalu ayah saya di bawa ke rumah sakit ini untuk menjalani operasi gagal ginjal, awalnya saya tidak yakin dengan kinerja dokter yang akan menangani operasi ayah saya hingga akhirnya mereka melakukan tindakan di luar prosedur rumah sakit membuat ayah saya mengalami gagal jantung, dan akhirnya meninggal dunia." Jelasnya menangis tersedu-sedu.

Rinjani mulai tersentuh dengan cerita pria itu yang terlihat sangat kecewa dengan pihak rumah sakit yang melakukan tindakan di luar prosedur rumah sakit dan memperkerjakan dokter yang tidak berkompeten dalam menjalankan tugasnya.

"Anda sebaiknya kembali biar saya yang mengusut tuntas kasus ini."

"Apakah anda yakin dengan ucapan anda."

"Kau bisa percaya dengan ku ambil ini hubungi saya kalau kasus ini sudah selesai." Rinjani memberikan kartu namanya.

"Baiklah terima kasih saya tidak tahu dengan cara apa saya membalasnya." Pria itu menundukkan kepalanya.

"Anda tidak usah membayarnya saya melakukan ini ikhlas kok." Ucap Rinjani tersenyum manis.

Mereka terus berbincang dan menemui titik terang dan segera kembali ke halaman rumah sakit pria itu tersenyum ramah dan memerintahkan semua kerabatnya meninggalkan rumah sakit ini tanpa menanyakan alasannya, Rinjani kembali menemui Ken yang masih saja bengong di tempatnya dan menarik tangannya untuk segera kembali ke kantornya. Namun belum langkah mereka menjauh salah satu dokter dari rumah sakit menemui mereka dan menatap tajam arah mata Rinjani yang terlihat santai bertemu dengannya.

"Siapa kau dan apa yang kau bicarakan dengan mereka." Ucapnya berjalan menuju arahnya.

"Kau tidak usah ikut campur dengan urusan kami, sebaiknya anda bekerja lebih baik jangan sampai kinerja anda tercoreng dari rumah sakit ini." Ucap Rinjani dengan tegas.

"Berani sekali kau berbicara seperti itu dengan ku kau belum tau siapa saya hah." Bentak Bimo dengan penuh amarah.

"Siapapun anda itu bukan urusan saya dan sebaiknya kalian berhati-hati, kalau saja ada kejanggalan dari operasi pasien anda jangan salahkan saya kalau rumah sakit ini akan segera di tutup." Rinjani tersenyum licik berjalan meninggalkan mereka.

Ken segera masuk ke dalam mobilnya melesat jauh meninggalkan area rumah sakit Bimo terus memandangi mobil Ken yang mulai hilang dengan kerumunan mobil-mobil yang berada di jalan raya, pria paruh baya itu menarik tangan Bimo dengan kasar untuk segera masuk ke dalam ruangannya semua para petinggi rumah sakit mulai curiga dengan kinerja Bimo yang terkenal sangat ungal-ungalan dalam menjalankan operasi kepada pasiennya. Ayah Bimo menghempaskan genggamannya hingga hampir membuat Bimo tersungkur ke lantai kalau saja dia tidak bisa mengimbangi tubuhnya, dan menatap tajam arah mata ayahnya dengan penuh emosi di kepalanya.

"Apa-apaan ini ayah kenapa kau bersikap seperti ini." Bentak Bimo tersulut emosi.

"Apa kau bodoh bisa-bisanya kau menantang jaksa Rinjani di depan semua orang." Ayah Bimo tak kalah emosi.

"Apa ayah bilang jaksa." Tanya Bimo tidak percaya.

"Iya yang baru saja kau hadapi itu kepala jaksa penuntut umum, kalau mereka menyelidiki kasus ini kau akan dalam masalah kau tau itu."

"Ayah tidak usah khawatir dengan semua itu karen mereka tidak akan menemukan bukti apapun." Ucapnya dengan santai.

"Jangan pernah kau meremehkan kinerja jaksa Rinjani yang akan membuat mu menyesal dengan mencari gara-gara dengannya."

Bimo mulai waspada dengan ucapan ayahnya dan keluar dari ruangan ayahnya berjalan menuju ruangannya dengan wajah masamnya dan membuka pintu ruangannya dengan kasar, Bimo tidak percaya kalau dia sedang berhadapan dengan seorang jaksa yang terkenal dengan kinerja yang bagus dan mampu menyelesaikan semua kasus dengan mudah.

"Sialan kalau mereka bisa mendapatkan bukti dari kasus ini bakalan habis gua." Bimo mengebrak mejanya.

Di sisi lain Ken terus menerus melirik Rinjani yang terdiam setelah bertememu dengan dokter Bimo anak pemilik rumah sakit terbesar di Jakarta yang terkenal dengan kesombongannya dalam menjalankan tindakan operasinya, Rinjani menatap luar jendela mengingat ucapan pria itu yang sangat mengganggunya dan terus berdiam diri hingga mereka tiba di depan kantornya. Ken berjalan mengitari mobilnya membuka pintu mobil Rinjani yang masih saja bengong dengan semua pikirannya yang menghantuinya.

"Rinjani ayo turun." Ucap Ken membuyarkan lamunan Rinjani.

"Iya sorry kita udah sampai rupanya." Rinjani berjalan keluar mobil.

"Ada apa dengan mu apa kau masih memikirkan kasus yang di rumah sakit." Tanya Ken berjalan bersama Rinjani.

"Iya sepertinya ada kejanggalan dari kasus itu yang harus kita ungkap." Suara Rinjani terdengar serius.

"Apa Lohh yakin mau ikut campur dengan urusan mereka, dia itu anak pemilik rumah sakit nga mudah untuk menjatuhkan mereka Rinjani." Ken menghentikan langkahnya.

"Siapapun dia apapun yang terjadi gua harus mengungkapkan kasus ini di depan semua orang." Tegas Rinjani berjalan menuju ruangannya.

"Dasar keras kepala." Lirih Ken berjalan mengikuti Rinjani.

Rinjani berjalan masuk ke dalam ruangannya tak lupa menghubungi Beni untuk segera menemuinya di dalam ruangannya, Rinjani mencari tahu data diri Bimo dengan lengkap dan mencari tahu apa-apa saja kasus yang pernah di lakukannya, Rinjani tersenyum puas mendapatkan informasi yang penting baginya dan segera menghubungi Ken dan Brama untuk bertemu di dalam ruangannya Ken dan Brama berjalan bersama menuju ruangan Rinjani, Ken membuka pintu Rinjani masuk ke dalam ruangannya mendapati Rinjani bersama Beni tengah membahas kasus yang mereka selidiki beberapa hari yang lalu.

"Lohh di sini juga Ben." Ucap Brama duduk di sebelahnya.

"Rinjani kan rekan kerja gua jadi nga masalah dong kalau gua ikut gabung." Ketus Beni.

"Astaga biasa aja kali." Kesal Brama menatap Beni.

Mereka kembali membahas kasus yang mereka lakukan beberapa minggu yang lalu dan mendapatkan sedikit petunjuk siapa pelakunya, Ken dan Brama tidak yakin dengan petunjuk yang di dapatkan Rinjani.

"Lohh yakin kalau ini petunjuk pelakunya." Tanya Ken memperhatikan berkas di depan matanya.

"Sejauh ini gua belum yakin tapi kita harus cari tahu dari petunjuk ini bukan." Ucap Rinjani menyakinkan dirinya.

"Kalau petunjuknya malah jadi perangkap untuk kita gimana, ini bukan kasus yang bisa kita anggap remeh." Sahut Brama tidak yakin dengan Rinjani.

"Kalau kau ragu untuk mengikuti ku nga usah ningbrung sana keluar." Kesal Rinjani menatap tajam Brama.

"Astaga Rinjani gua cuman ngasih saran ngapa Lohh jadi marah gitu."

"Sudahlah jangan ribut-ribut mending kita cari tahu besok saja lagian ini sudah mau menjelang petang." Timpal Beni menenangkan Brama dan Rinjani.

"Ya udah besok kita cari tahu kalau ada yang nga mau ikut nga usah lagian dia juga nga penting." Sindiran Rinjani membuat Brama kesal setengah mati.

Setelah berbincang panjang lebar dan menyusun rencananya dengan baik Beni dan yang lainya berpamitan untuk segera pulang, Rinjani mengganggukkan kepalanya mereka berjalan keluar ruangan Rinjani menuju parkiran mobil Rinjani memeriksa sekali lagi berkas yang akan mereka usut esok hari sebelum memasukkannya ke dalam brankas miliknya, Rinjani bersiap-siap untuk segera pulang dan mengambil ponsel dan tasnya segera pergi dari sana mengunci ruangannya mengunakan sidik jarinya dan tidak mudah untuk membukanya. Dari jauh satu pasang mata memperhatikan Rinjani dengan seksama dan berjalan mengikuti Rinjani berjalan menuju parkiran mobil yang terlihat sepi dan lampu mulai redup ketika melewati lobi, Rinjani mulai waspada ketika melihat bayangan seseorang mengikutinya dari belakang dan menambah langkah kakinya agar segera masuk ke dalam mobilnya namun tiba-tiba sebuah tangan mencegahnya dengan sigap Rinjani mengelintir tangan pria itu hingga tersungkur ke bawah.

Rinjani mulai mengepalkan tangannya pria itu bangkit dari duduknya kembali menyerang Rinjani di halaman parkiran mobil kantornya, Rinjani berusaha menepis tangan pria itu hingga perkelahian antara mereka tak terelakkan lagi Rinjani sedikit memberi bogem ke wajah pria itu yang menggunakan topeng wajah. Rinjani kembali menyerang memberikan satu tendangan tepat di perutnya hingga terpental jauh dari posisinya berdiri, Rinjani berusaha mengatur nafasnya dan berjalan menuju arah pria itu namun pria itu beranjak dan berlari meninggalkan Rinjani di parkiran mobil seorang diri.

"Sialan heii mau ke mana Lohh." Teriak Rinjani mengejarnya.

Rinjani terus mengejarnya sampai hilang jejak entah ke mana Rinjani terus mengedarkan pandangannya mencari-cari keberadaan pria itu namun tidak menemukannya di mana pun, Rinjani mulai kebingungan dan kembali berjalan menuju mobilnya sebelum masuk Rinjani mengambil sepucuk kertas berada di depan mobilnya dan membacanya dengan seksama.

"Siapa dia sebenarnya dan kenapa dia malah menyuruh ku untuk tidak ikut campur dengan urusannya, apa hubungannya dengan kasus ini." Lirih Rinjani berjalan masuk ke dalam mobilnya.

Pria itu memperlihatkan Rinjani dari jarak jauh dan pergi meninggalkan parkiran kantornya menuju arah apartemen miliknya, pria itu merogoh kocek saku celananya mengambil ponselnya menghubungi seseorang.

"Halo gua mau kalian mencari tahu siapa wanita ini sebenarnya." Ucap pria itu mematikan ponselnya.

Pria itu mematikan ponselnya mengirimkan pesan singkat tentang data diri Rinjani dan segera masuk ke dalam mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan kantor Rinjani.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!