Dari penulis :
Ini adalah novel bergenre Thriller - Romance 21+ (adult-romance)
Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.
Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.
...____________________...
"Kamu liat dulu dong fotonya, masa belum apa-apa udah bilang ga mau." Seorang wanita berumur lebih dari 60 tahun dengan rambut tergulung di atas tengkuknya mengangsurkan sebuah foto pada Saddam, putra bungsu dan satu-satunya di keluarga.
"Ya udah, ni Saddam liat biar Ibu seneng," Tangan Saddam memegang selembar foto wanita tampak setengah badan dan mengamatinya sekilas kemudian meletakkannya di sebelah piring makan.
"Kamu udah 29 tahun. Mbak Citra anaknya udah gede, masa kamu ga pengen punya keluarga sendiri." sang Ibu mengomel.
"Please deh Bu, masih pagi gini udah ngomel-ngomel. Saddam mau sarapan dulu."
"Ga pernah denger kalo Ibunya ngomong. Percuma kamu punya perusahaan besar, rumah besar, kalo hidup kamu tuh masih keluyuran terus. Wanitanya ganti-ganti ga ada yang bener." Ternyata Ibu Saddam benar-benar melanjutkan omelannya.
"Saddam juga perlu waktu Bu.." Saddam meletakkan sendok dan menatap Ibunya.
"Waktu apa? Mau nyari yang gimana? Kamu udah dikenalin dengan banyak wanita tapi ngomongnya selalu ga pernah cocok. Orangnya beginilah, begitulah. Ntar kamu disangka gay Dam!"
"Bu, apaan sih? Saddam normal, sehat. Emang belum ketemu aja yang sreg."
"Kali ini kamu harus coba deketin gadis itu. Ibu bukan jodohin kamu, Ibu mau kamu kenalan dulu. Deketin, diuber. Dia anak dari keluarga baik-baik." Ibu Saddam menumpuk piring kotor di depannya.
"Iya Bu.. Ibu tenang aja. Nanti Saddam bakal kasi berita baik"
"Ayahmu udah ga ada Dam.. Ibu cuma sendirian membesarkan Mba Citra dan Saddam. Ibu udah tua, ga bakal ada terus untuk Saddam dan Mba Citra." Ibunya menatap matanya lurus.
"Iya Bu, tapi gimana kalo Saddam emang ga dapet chemistry dengan gadis-gadis yang ibu rekomendasikan itu?" Saddam menggenggam tangan Ibunya berusaha membujuk untuk memahami dirinya yang belum mau menikah.
"Kamu harus bisa deketin gadis itu. Ibu tunggu kamu bawa dia ke rumah ini untuk dikenalin ke Ibu. Jangan jagonya cuma ngerayu gadis-gadis di club terus dibawa bermalam." sang Ibu menarik tangannya yang digenggam Saddam dengan wajah kesal.
"Bu!" Saddam mendelik
"Kenapa? Kamu marah karna kata-kata Ibu salah? Atau karna kata-kata Ibu benar? Selama ini Ibu ga pernah minta apa-apa ke kamu. Ibu cuma mau kamu hidup yang bener. Pergi pagi untuk kerja, dan nyampe ke rumah malem dari kantor. Bukan keluar-masuk club. Bermalam di hotel-hotel. Kamu masih punya Ibu yang nunggu kamu di rumah. Kalo seorang Ibu ga bisa buat kamu betah di rumah, kamu harus punya istri, punya anak" Ibunya menarik nafas panjang kemudian menatap Saddam.
"Saddam sekarang belum bisa bu,"
"Sampai kapan kamu mau nginget Rossa terus? Dia juga ga akan tenang di alam sana kalo ngeliat hidup kamu hancur dan berantakan setelah dia ga ada. Dam, kamu juga punya kehidupan sendiri. Jaga Rossa dalam pikiran kamu sebagai motivasi untuk hidup lebih baik. Kamu masih inget kan apa pesannya sebelum meninggal?" Sorot mata Ibunya melembut.
Saddam hanya diam mematung. Membayangkan wajah pucat Rossa di hari terakhir kehidupannya dengan berbaring di ranjang rumah sakit dengan tangan dingin yang selalu berada di genggaman Saddam.
Sudah 3 tahun berlalu dan dirinya memang belum bisa melepaskan gadis itu dari pikirannya. Gadis yang dipacarinya lebih dari 5 tahun sejak masa kuliah dan harus berpisah karena Rossa direnggut oleh pneumonia.
"Gimana kalo Saddam emang ga pengen nikah Bu?" Suaranya setengah tercekat.
"Apa?! Ngaco kamu! Menurut kamu Ibu nyuruh kamu nikah karna benci ama Rossa? Ibu sayang kalian Dam, Ibu juga maunya kalian itu menikah dan memiliki keluarga. Tapi Tuhan udah ambil Rossa. Kamu harus terima kenyataan. Benahi hidupmu." Ibunya hampir menangis saat menghardik Saddam dengan putus asa. Wanita itu kemudian berdiri dan meninggalkan meja makan.
Lagi-lagi Saddam bertengkar dengan Ibunya karena masalah yang sama. Ibunya bersikukuh ingin dirinya segera menikah dan berkali-kali mengatur perkenalan dengan anak perempuan para kenalannya.
Saddam masih duduk mematung menatap sarapan yang baru disuapnya dua sendok. Merasa kehilangan selera, dirinya bangkit menyambar tas kerjanya dan menuju ke garasi tempat mobilnya terparkir.
Meski kepergian Rossa sudah cukup lama, tapi itu tak pernah mudah bagi Saddam. Wanita yang telah menyusun rencana untuk hidup bersamanya pergi untuk selamanya hanya dengan melalui sakit yang tak lama. Rossa hanya berada di rumah sakit selama 4 hari, dan di hari kedua di rumah sakit Rossa koma dan tak pernah terbangun lagi.
Saddam benar-benar hancur karena merasa tak bisa menjaga wanita pertama yang begitu dicintai dan diinginkannya. Sepeninggalan Rossa, Saddam seperti kehilangan tujuan hidupnya yang semula sudah tersusun rapi. Berulang kali dia bertemu dengan wanita yang dikiranya bisa menjadi pengganti Rossa, tapi kesemua hubungan itu hanya berakhir di ranjang dan sejumlah uang. Wanita-wanita itu tak menginginkan cintanya, mereka hanya memandang apa yang dimiliki oleh Saddam saat ini.
Saddam menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah besar yang hanya ditinggalinya bersama sang Ibu dengan wajah suram. Bisa dipastikan jika malam ini dia tak akan pulang ke rumah. Seperti kata Ibunya, dia akan masuk ke club mencari wanita dan mengajaknya bermalam di hotel.
...--oOo--...
"Hari ini cepat banget nyampe kantor Pak" Eko berkata sambil membukakan pintu mobil Saddam.
"Biasalah, kena omel gua." Saddam mencampakkan kunci mobilnya kepada Eko.
"Ibunya Pak Saddam tau kalo Bapak pulang subuh?" Eko menjajari langkah bosnya.
"Ah pusing gua Ko! Saban hari disuruh kawin." Saddam mendengus.
"Ibunya Pak Saddam ga salah. Dan maksudnya memang baik. Saya aja setelah menikah, jadi buncit gini." Eko yang telah menjadi asisten Saddam lebih dari 4 tahun sudah benar-benar mengerti watak bosnya yang tiga tahun belakangan menjadi bad boy setelah pacarnya meninggal.
"Kamu keluar dulu Ko, panggilin Agnes suruh masuk." Saddam memghempaskan tubuhnya di kursi empuk Direktur.
Di usianya yang baru 29 tahun, Saddam adalah Direktur Utama dari tiga perusahaan yang didirikannya sendiri. Awal usia 20-an Saddam mendirikan sebuah perusahaan ekspor yang bekerja sama dengan para UKM.
Saddam pergi ke pelosok-pelosok daerah untuk mencari kerajinan produk masyarakat yang kurang dilirik di dalam negeri dan membantu untuk memasarkannya ke luar negeri.
Sukses dengan bisnis ekspornya, dalam dua tahun Saddam mendirikan sebuah perusahaan ekspedisi yang menangani seluruh kegiatan ekspornya. Saddam yang merasa tergantung dengan perusahaan ekspedisi merasa gemas dengan pelayanan dan waktu sampainya barang di negara tujuan ekspornya yang sering terlambat.
Ketimbang menghadapi masalah yang itu-itu saja, Saddam memutuskan membuka perusahaan ekspedisi sendiri.
Dan sekarang, di usianya yang ke 29 tahun Saddam telah menambah satu jenis perusahaannya yang bergerak dalam bidang IT. Perusahaan itu menangani klien yang masih minim pengalaman dan belum memiliki website resmi.
Saddam membantu para pengusaha mau pun pengrajin menengah ke bawah agar produknya bisa lebih dikenal di pasar internasional. Semua yang dimilikinya sekarang adalah hasil dari kejeniusan dan kerja kerasnya.
Saddam dan Kakaknya hanya dibesarkan oleh Ibu mereka sejak dirinya masih duduk di bangku SMP. Ayahnya meninggal karena sebuah kecelakaan di jalan tol.
Sejak itu, Ibunya tak pernah menikah lagi dan membesarkan kedua anaknya dengan harta peninggalan sang Ayah yang memang cukup banyak.
Dalam kehidupannya, Saddam tak pernah merasakan yang namanya kesulitan keuangan. Ibunya selalu memanjakan mereka, kedua anaknya dengan kasih sayang dan kebutuhan yang terpenuhi lebih dari cukup.
"Ya Pak? Manggil saya?" Agnes sekretaris Saddam yang berusia 27 tahun masuk dengan mengenakan rok super pendek dan heels yang benar-benar tinggi.
"Yap. Kemarin sore kamu nelfon bilang ada yang cari saya. Saya kurang jelas dengan pembicaraan kita kemarin"
Bagaimana Saddam mau mendengar apa yang dikatakan sekretarisnya kalau saat itu dia sedang berada di sebuah karaoke room bersama teman-temannya ditemani para strippers dalam keadaan mabuk.
"Ada wanita muda nyari Bapak. Rambutnya pirang gitu, cantik banget. Minta nomor ponsel Bapak, tapi ga saya kasi." Agnes berbicara sambil duduk dan menyilangkan kaki di depan bosnya.
Mata coklat muda Saddam memandang kaki Agnes yang jenjang dan putih mulus. Sesaat kemudian pandangannya naik ke pakaian sekretarisnya yang sangat ketat dan menonjolkan dadanya yang besar.
"Bagus kalo kamu ga kasi. Siapa pun itu, kamu jangan sembarangan kasi nomor pribadi saya." Saddam memutar dari balik meja kerjanya dan duduk di sudut meja memandang sekretarisnya yang memandangnya dengan pandangan menggoda.
"Itu aja Pak?" Agnes memutar kursinya menghadap ke arah Saddam.
"Ini kantor. Tempatnya kerja. Kalo kamu pengen diapa-apain nanti sore ikut saya. Sekarang keluar, kerjain kerjaan kamu." Saddam bangkit dan berjalan kembali ke balik mejanya.
Agnes hanya mengiyakan perkataan bosnya pelan kemudian pergi berlalu menutup pintu ruangan Saddam dengan suara yang sedikit keras dari biasanya.
Ketukan di pintu mengalihkan pandangan Saddam dari tumpukan map yang sedang dibukanya satu-persatu.
"Ya," Saddam menatap pintu.
"Pak, ada wanita datang mencari Bapak." Eko berdiri tak jauh dari pintu ruangan.
"Rambut pirang?"
"Bukan Pak, hitam rambutnya."
"Kalo bukan untuk urusan pekerjaan, suruh pergi aja. Kalo ga mau pergi, minta bantuan keamanan. Seret keluar." Saddam mengomel.
"Baik Pak, tapi apa ga seharusnya Bapak liat dulu?" Eko bertanya dengan mimik sungkan.
"Ga perlu Ko, gua lagi pusing hari ini." Saddam kembali mengalihkan pandangannya pada tumpukan map.
"Baik Pak" Eko sedikit membungkuk.
"Eh Ko, nanti sore kita ke tempat biasa. Telfon istri kamu kabari kalo bakal telat pulang." Saddam berencana akan menghabiskan malamnya kembali di sebuah club favoritnya.
"Nanti Ibu bisa.."
"Itu bukan urusan kamu." Saddam menyela omongan Eko yang langsung terdiam dan mengangguk.
Pria berkulit putih berpostur tubuh tinggi langsing yang memiliki bola mata berwarna coklat muda itu kemudian mengangguk kepada asistennya menandakan bahwa percakapan mereka telah selesai. Eko kemudian keluar ruangan dan menutup pintu di belakangnya.
...***...
...Mohon dukung karyaku dengan like, comment atau vote...
Pintu ruang karaoke terbuka dan Agnes masuk ke dalam. Masih mengenakan pakaian yang sama seperti dikenakannya di kantor tadi.
Lewat jam 7 malam Saddam menelepon dan memintanya datang ke sebuah karaoke yang menyatu dengan tempat SPA dan Club.
Saat itu Saddam sudah setengah mabuk bersama ketiga orang temannya yang telah ditemani beberapa orang wanita setengah telanj*ng yang sedang asik memberikan pelayanan sambil bernyanyi mengikuti teks di layar.
"Eko di mana Pak?" Agnes menyapa Saddam dan duduk di sebelahnya.
Pandangan Saddam buram dan kepalanya terasa terayun-ayun. Dia tak mengerti apa yang baru saja dikatakan Agnes barusan.
"Saya bilang tadi, kamu boleh menolak untuk ga dateng ke sini. Kalo kamu dateng, kamu udah bakal tau bakal gimana." Saddam mencoba menuangkan Jack Daniels ke gelasnya yang nyaris kosong.
Agnes meraih botol dan menuangkannya untuk Saddam.
"Ga masalah Pak, santai aja. Saya juga anggap ini cuma entertainment aja kok," Agnes melirik bosnya sambil membakar sebatang rokok.
Saddam terpana sesaat melihat tingkah asli sekretarisnya. Tapi Saddam merasa tidak begitu heran mengingat Agnes adalah tipikal perempuan berani yang sangat profesional dalam pekerjaannya.
Saddam kembali melihat paha Agnes yang begitu dekat dengan kakinya. Sejurus kemudian Saddam menarik Sekretarisnya dan mencium bibir wanita itu.
Tangannya masuk ke dalam rok pendek Agnes dan jari-jarinya berhasil menyusup ke lipatan paha yang membuat wanita itu harus merenggangkan kakinya.
Terdengar nafas dan suara Agnes yang menikmati keahlian tangan Saddam di antara kedua pah*nya.
Musik dalam ruangan kini telah berganti tak lagi diisi orang bernyanyi yang diiringi lagu-lagu santai. Kendali musik telah diserahkan kepada operator yang menyambungkan musik yang sedang di putar di club ke dalam ruangan itu.
Semua orang di dalam ruangan KTV VIP itu tak ada lagi yang berbicara. Semua hanyut dalam pengaruh minuman keras dan narkob*.
Hampir jam 1 dini hari, dan Agnes sudah menelan 2 butir pil ekst*si. Dia tak merasa harus buru-buru pulang malam itu karena dirinya mengingat bahwa esok adalah hari sabtu.
Dalam redup cahaya ruangan yang diselingi lampu warna warni berkedip-kedip Agnes menari di depan bosnya yang duduk di sofa dengan mata sayu karena mabuk alkohol.
Agnes menyapukan pandangan buramnya ke seisi ruangan yang penghuninya sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Sekilas dilihatnya seorang pria di sudut ruangan sudah menurunkan resleting celananya dan menikmati aktifitas wanita yang berjongkok di kakinya.
Kemeja yang dikenakan Agnes sendiri sudah terbuka beberapa kancing karena Bosnya tadi sempat bermain-main dengan dadanya saat mereka berciuman di sofa.
Agnes tak mengharapkan hal lebih dari Saddam, dua tahun menjadi Sekretaris pria itu cukup baginya mengenal bosnya itu sosok pria seperti apa.
Tak terhitung banyaknya wanita yang dikencaninya dengan bermodal wajah tampan ala timur tengah dan kekayaan yang dimilikinya.
Bagi Agnes yang memang tak menginginkan suatu hubungan dan hanya terobsesi pada tubuh seksi seorang pria, menikmati sentuhan sensual serta bercinta semalam suntuk bersama Saddam sudah cukup memuaskan hatinya.
Jam menunjukkan hampir pukul 4 pagi ketika dirinya dan Saddam terseok-seok memasuki sebuah kamar hotel.
Saddam telah meminta Eko untuk membawa pulang mobilnya setelah mengantarkan mereka ke sebuah hotel bintang lima tak jauh dari club.
Pengaruh ekst*si yang mulai berkurang membuat Agnes sadar saat melucuti pakaiannya sendiri dan mulai menunggangi bosnya disertai desahan-desahan.
Bercinta dengan kondisi setengah fly membuat stamina Agnes menjadi berkali-kali lipat.
Tak terhitung banyaknya dia merasakan puncak kenikmatan yang diberi Saddam malam itu.
Hingga yang semula dikiranya dia akan diminta pergi keesokan harinya ternyata Saddam masih menahan dirinya untuk tetap menemani pria itu hingga hari minggu.
Dua hari bersama Bosnya di sebuah kamar suite hotel mewah sama sekali tidak membuat pria itu mau berbicara banyak dengannya.
Saddam lebih banyak diam di depan laptopnya yang diantarkan Eko pada hari sabtu pagi ke kamar.
Sifat Eko juga hampir mirip seperti Bosnya tapi dengan versi yang lebih merakyat. Supir sekaligus asisten pribadi Saddam itu tak pernah banyak bicara padanya.
Agnes ingat betul dua hari bekerja sebagai Sekretaris Saddam, Eko berkata padanya bahwa 'semakin sedikit hal yang diketahuinya tentang Saddam itu akan semakin baik untuk dirinya'.
Awalnya Agnes mengira, Eko membuat ungkapan itu karena kreatifitasnya sendiri. Tapi ternyata ungkapan itu berasal dari Saddam. Karena suatu kali Saddam juga pernah memberinya wejangan serupa.
Dalam hal apa pun, jika dirinya terlalu mencari tahu akan suatu hal, maka dirinya harus bersiap dengan sakitnya kenyataan. Jika tak ingin sakit atau mendengar hal buruk, maka jangan mencari tahu.
Lama-kelamaan ungkapan itu berhasil dipraktekkan oleh Agnes. Dia tak mau ambil pusing pada suatu hal yang memang tidak diberitahukannya kepadanya.
Agnes tidak mau ambil pusing dengan perasaan yang timbul saat Saddam mengutarakan suatu hal. Baik hal yang baik, atau yang dinilai Agnes terlalu kasar.
Dia tak mau membawanya ke dalam hati. Karena bagi Agnes, Saddam itu seperti zombie tampan yang tak memiliki perasaan.
"Anji**! Tolol!" Saddam mengumpat dari balik laptopnya.
Agnes hanya melirik Bosnya dari atas ranjang dengan tubuh tel*njang yang tertutup selimut. Dia sama sekali tak tertarik untuk mengetahui siapa yang dimaki oleh pria itu.
"Dasar b*rengsek! Tolol kok diborong semua!" Saddam menutup laptopnya dengan kasar.
"Nes! Sini kamu." Pinta Saddam.
Agnes berdiri dan berjalan telanj*ng ke arah Bosnya yang masih duduk di belakang meja kerja kamar hotel. Dia mengerti apa yang diinginkan Saddam saat itu.
Saat Agnes mendekat, Saddam menurunkan boxer dan memegang properti miliknya. Agnes langsung berjongkok di depan pria itu.
Tak berapa lama kemudian, dirinya sudah duduk di pangkuan Bosnya dengan posisi membelakangi dan bergerak naik turun. Tangan Saddam memegang pinggulnya untuk memandu.
...--oOo--...
Hampir satu minggu Saddam tak bertemu dengan Ibunya. Saat dirinya kembali ke rumah, Ibunya sudah tertidur.
Dan saat dirinya berangkat ke kantor Ibunya sedang berada di sisi lain rumah berusaha untuk menghindarinya.
Saddam tahu Ibunya kecewa padanya. Bukannya tak ingin meminta maaf dan berbaikan kepada sang Ibu, tapi saat ini dirinya benar-benar merasa lelah.
Semakin hari dia merasa hidupnya semakin hancur. Dia sendiri tak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya untuk mengisi hari-harinya agar terasa lebih berarti.
Dia memiliki semua hal yang diimpikan para laki-laki. Wajah yang tampan, tubuh yang bagus dan karir yang cemerlang. Meski begitu, hatinya terasa kosong.
Setelah menghabiskan dua hari mengurung diri bertelanj*ng ria di sebuah hotel bintang lima bersama sekretarisnya tak membuat mereka memiliki hubungan canggung selama di kantor.
Seperti keinginannya, Agnes bersikap seperti tidak terjadi suatu hal apa pun di antara mereka. Begitu pula Eko yang bisa bersikap peduli namun dibungkus dengan sikap datarnya seperti biasa.
Bagi Saddam, Agnes seperti wanita-wanita yang ditemuinya selama ini. Mereka hanya menginginkan hiburan dan privellege saat pergi berkencan dengannya.
Semua wanita itu dikasarinya, tapi entah mengapa mereka semua tidak kapok dan selalu mencarinya kembali.
Seperti Agnes yang melayaninya dengan penuh semangat meski nyaris tak pernah berpakaian saat menghabiskan dua hari bersamanya di kamar.
Saddam hampir mengira kalau Agnes sangat terobsesi pada tubuhnya, karena wanita itu seperti tak mengenal lelah untuk mengajaknya bercinta.
Tapi dirinya tak akan membiarkan keahlian Agnes tersalur dengan cuma-cuma dan tak dihargai.
Mata wanita itu berbinar saat dirinya mengatakan bisa menggunakan kartu kredit perusahaan untuk kebutuhan pribadi wanita itu.
...--oOo--...
"Pak, ada telfon dari Ibu." Eko berbicara pada Saddam di antara dentuman suara musik club.
"Ya??!"
"Ibu Bapak telfon." Eko menunjukkan ponsel di tangannya.
Saddam mengangguk dan berbisik kepada seorang wanita muda berambut pendek yang sedari tadi berdisko sambil menempelkan tubuh padanya.
Eko berjalan ke arah pintu keluar club dan berdiri di dekat charger station menunggu Bosnya.
"Ya Bu?" Saddam menempelkan telinganya ke ponsel.
"Maaf kalau Ibu mengganggu kamu. Ibu cuma mau bilang, kalau Ibu baru landing di Singapura. Penerbangan Ibu akan lanjut sebentar lagi"
"Ibu mau ke mana?" Suara Saddam jelas-jelas menggambarkan orang yang sedang teler.
"Ibu mau ke tempat Mba Citra. Kayaknya Ibu akan tinggal beberapa lama di sana. Ibu kangen Oliv. Ibu kesepian, kayaknya kamu ga butuh Ibu lagi."
"Hah??! Ibu ke Afrika Selatan? Sendirian?" Saddam nyaris tak percaya seminggu lebih mendiamkan Ibunya membuat wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya itu pergi kabur meninggalkannya.
"Iya. Sendirian. Ibu capek tinggal sama kamu. Ibu kayak ga punya anak. Ibu pergi dulu. Sehat-sehat kamu. Tolong kasi telfon ini ke Eko"
Ponsel berpindah tangan,
"Ko, saya pergi dulu ke tempat Citra. Jaga Saddam ya, cuma kamu yang tau dia gimana. Kalo dia kelewatan, tolong diingetin ya Ko. Kamu pasti ngerti apa maksud saya."
"Ndalem Bu.. nggih... Hati-hati di jalan. Sehat-sehat ya Bu. Saya pasti dampingi Pak Saddam ke mana aja."
Hampir sadar saat Saddam melihat Eko mengakhiri pembicaraan dengan Ibunya dan menyimpan ponsel ke kantong.
"Gimana Pak? Kita pulang? Kasian Ibu Bapak yang biasanya pergi ke mana-mana ditemani. Sekarang malah berani sendirian ke Singapura." Eko menilik wajah Saddam menunggu reaksi.
"Ibu bisa kok. Santai aja. Kamu tau sendiri Ibu gua beraninya kayak apa. Gua mau lanjut sebentar, kamu tunggu di mobil aja. Kalo udah selesai gua telfon kayak biasa." Saddam mengibas-ibaskan tangannya sebagai isyarat agar Eko pergi dari tempat itu.
Saat itu Saddam sama sekali tak mengira kalau percakapan di telepon barusan adalah percakapan terakhirnya bersama sang Ibu.
...***...
...Mohon dukung karyaku dengan like, comment atau vote...
Ponsel di atas meja nakas terus-terusan bergetar tanpa nada. Saddam sama sekali tak terganggu dengan suara itu, kakinya hanya bergerak sedikit dan kemudian nafasnya teratur kembali tidur.
Hingga akhirnya pada deringan yang ke sekian puluh kali, tangan pria itu bergerak dan meraba-raba meja.
"Halo?" Saddam menjawab teleponnya tanpa melihat siapa peneleponnya.
"Dam! Saddam! Kamu masih tidur??!" Suara Mba Citra terdengar meninggi di seberang telepon.
"Mba??"
"Iya, ini mba-mu. Pasti chat aku juga ga dibaca! Dari mana sih kamu tadi malem, jam segini belom bangun? Disana pasti udah hampir sore!"
"Chat apa? Belom kayaknya." Saddam melirik bagian atas ponselnya yang dipenuhi notifikasi.
"Denger baik-baik. Pesawat yang ditumpangi Ibu ke Johannesburg hilang kontak. Hilang kontak Dam! Nasib ibu kita ga tau gimana." Suara Citra terdengar menangis.
"Gimana? Hilang kontak kenapa? Pesawat Ibu?" Saddam terperanjat dan langsung duduk.
"Iya. Pesawat ibu hilang kontak. Harusnya ibu dah nyampe di Cape Town. Aku udah jemput ama Oliv dan Mas Pram. Tapi di Bandara katanya pesawat hilang kontak saat mendekati tujuan. Kasian ibu kita Dam... Ibu sendirian di pesawat. Siapa yang nolongin kalo ada apa-apa." Citra menangis meraung-raung yang membuat suaranya hilang timbul dan tidak jelas.
Saddam mengumpulkan seluruh kesadarannya dan seperti baru benar-benar tersadar dengan apa yang dikatakan kakak perempuannya, pria itu meremas rambutnya.
"Mba cari info terus di sana, aku hubungi maskapai di sini." Saddam menutup ponselnya.
Hubungi maskapai di sini? Dia bahkan tidak tahu ibunya naik maskapai apa.
Dengan wajah linglung dan rambut berantakan, Saddam kembali membuka ponselnya dan menghubungi Eko.
"Ko, tolong cari info tentang pesawat yang ditumpangi ibu gua ke Johannesburg"
"Kenapa Pak?"
"Mba Citra barusan telfon katanya pesawat yang ditumpangi ibu hilang kontak" Saddam menjelaskan tak sabar.
"Ya Tuhan, baik Pak, segera saya cari." Eko menutup telepon.
Saddam duduk di tepi ranjang berusaha mengingat-ingat apa yang dilakukannya beberapa hari belakangan ini. Kepalanya masih terasa berdenyut karena alkohol dan kurang tidur.
Pandangannya menyapu ke semua sudut kamarnya. Nasib ibu, satu-satunya orang tua yang membesarkan dan mendidiknya kini entah bagaimana.
Tiba-tiba Saddam muak sekali dengan hidupnya. Haruskah Tuhan juga mengambil satu-satunya wanita yang tersisa untuk dicintainya?.
Saddam melangkahkan kaki turun ke lantai satu, sepanjang dinding tangga terpajang foto-foto masa kecil mereka.
Langkahnya terhenti pada satu foto saat dirinya duduk di bangku SMP dan memenangkan olimpiade matematika.
Terlihat ibunya dan Mba Citra yang tersenyum bahagia sambil memeluknya dari kiri dan kanan. Air matanya menggenang sekarang.
Kenangannya melayang ke masa-masa SMP, suatu kali dia pulang sekolah dengan wajah kusut.
"Saddam kenapa?." Ibu yang tadinya sibuk di depan monitor komputer ruang makan bertanya padanya.
"Saddam kangen ayah Bu," Air matanya bercucuran karena hari itu di sekolahnya dia ribut dengan salah seorang siswa laki-laki dan siswa tersebut memanggil ayahnya ke sekolah. Saddam dimarahi habis-habisan oleh ayah orang tua siswa tersebut.
Karena kasihan dengan sang Ibu yang harus ke sekolah untuk 'menyelamatkannya', Saddam urung memberitahu hal tersebut.
Hari itu, Saddam menghadapi guru BK dan orang tua siswa sendirian. Wajahnya kaku dan penuh amarah yang tertahan karena merasa mendapat perlakuan tidak adil.
"Saddam kenapa kangen ayah tiba-tiba?" Ibu berjongkok di dekat Saddam yang pura-pura sibuk dengan tali sepatunya.
"Saddam ga tiba-tiba kangen ayah. Setiap hari Saddam selalu kangen ayah. Saddam masih butuh sama ayah, kenapa ayah tega ninggalin Saddam. Saddam masih kecil. Saddam belum banyak ngelewatin waktu sama ayah." Tangisnya pecah sambil memeluk ibunya.
Air mata ibunya telah mengalir lebih dulu saat Saddam terbata-bata menyelesaikan kalimatnya.
"Saddam cuma lagi capek. Saddam jangan kayak gitu ngomongnya, kasian ayah di sana. Ayah udah percayain kalian ke ibu. Ibu juga sering kangen ayah, kadang kalo ibu capek dan banyak masalah, ibu sering nanya kayak gitu. Kenapa ninggalin ibu sendirian? Itu artinya Tuhan tau ibu bisa. Kalo Saddam ada masalah di sekolah, ngomong ke ibu. Saddam itu anak ibu, ibu pasti akan belain Saddam. Ga ada seorang pun ibu di dunia ini yang mau anaknya sakit atau terluka. Saddam ngerti? Saddam boleh nangis dan marah sekarang. Ibu minta maaf kalo ibu belum bisa jadi orang tua yang sempurna. Tapi untuk Mba Citra dan Saddam, ibu akan selalu berusaha."
Kata-kata ibunya semakin jelas terngiang saat Saddam melangkahkan kakinya pada anak tangga paling bawah dan melihat satu foto ketika dia wisuda. Foto itu diambil oleh Mba Citra, di kanan-kirinya berdiri Ibu dan Rossa yang tersenyum lebar sambil memeluk lengannya.
"Ibu... Maafin Saddam. Saddam janji akan berubah. Ibu yang kuat ya.. Jangan tinggalin Saddam. Saddam ga mau sendirian." Tangisnya pecah tak terbendung.
Saddam meringkuk di kaki tangga sambil memeluk foto sang Ibu. Di kepalanya terngiang-ngiang percakapan terakhir bersama ibunya.
Beberapa saat menumpahkan air matanya membuat dadanya sedikit terasa ringan. Saddam kembali bangkit menuju kamarnya.
Langkahnya tertuju pada meja kerjanya yang berantakan. Seperti ayam yang sedang menceker tanah, Saddam menyingkirkan kertas-kertas dengan tidak sabar untuk menemukan benda yang dicarinya.
Matanya terpaku pada selembar foto yang diberikan ibunya seminggu yang lalu. Saat itu dia hanya melirik sekilas foto wanita terakhir yang direkomendasikan ibunya.
Saddam menatap sosok wanita berwajah kaku dengan tatapan dingin dan senyum tipis yang terkesan ogah-ogahan saat difoto.
Wanita di foto itu cantik dan terkesan angkuh. Tapi jika dibanding Saddam, wajah mereka sangat kontradiktif.
Seperti timur dan barat.
Saddam membalik foto dan membaca rentetan tulisan yang membubuhkan nama, alamat dan nomor ponsel.
Teringat kata-kata ibunya terakhir kali, "Kamu harus bisa deketin gadis itu. Ibu tunggu kamu bawa dia ke rumah ini untuk dikenalin ke Ibu."
Saddam menggenggam erat foto itu dan memasukkannya ke dalam lipatan laptopnya.
...--oOo--...
Eko sudah berada di dalam mobil menunggu bosnya untuk bersama-sama pergi ke perwakilan maskapai asing yang berkantor di Jakarta Pusat.
Informasi soal penerbangan yang ditumpangi oleh wanita tua malang itu telah didapatnya dengan mudah.
Eko menunggu gelisah karena sepanjang perjalanan dirinya terus-terusan mengkhawatirkan soal Saddam.
Meski Saddam kini dikenal sebagai salah satu laki-laki bajingan sukses di ibukota, tapi Eko mengasihani bosnya yang baik hati itu.
Sesaat setelah kekasihnya meninggal, Saddam yang setengah depresi kala itu mengetahui kalau istrinya akan melahirkan anak pertama dengan jalan operasi sekaligus pengangkatan sebuah tumor.
Eko memiliki asuransi dari pemerintah, namun Saddam yang mengetahuinya menanggung seluruh pengobatan istri Eko di sebuah rumah sakit swasta terbaik.
Saddam bahkan beberapa kali mengantarkan makanan ke rumah sakit tanpa melalui perantara orang lain termasuk sekretarisnya.
Bosnya itu bilang, bahwa dia tak ingin Eko kehilangan orang-orang yang disayanginya.
Saddam pada dasarnya memiliki hati yang lembut. Tapi sejak kehilangan kekasihnya tiga tahun yang lalu, Eko tak pernah melihat Saddam tersenyum atau pun menangis lagi.
Eko tak akan meninggalkan orang yang telah berbaik hati padanya melalui masa-masa sulitnya sendirian.
Karena di dunia ini, tak ada satu pun orang yang wajib bersikap baik pada orang lain. Tapi ketika kita mendapatkannya, itu adalah sebuah rejeki yang harus disyukuri. Begitulah pemikiran Eko.
Lagi pula sebelum berangkat, ibu bosnya telah menitipkan pria itu pada Eko.
...--oOo--...
Hampir tengah hari mereka keluar dari kantor perwakilan maskapai dan mendapat informasi bahwa perwakilan keluarga yang ingin berangkat ke Johannesburg seluruh biaya transportasi dan akomodasinya akan ditanggung oleh pihak maskapai.
Saat ini pihak pemerintah setempat tengah mengupayakan pencarian ke lokasi titik di mana pesawat terdeteksi terakhir kali.
Saddam tidak siap untuk berangkat ke Afrika Selatan saat ini. Lagi pula Mba Citra mengatakan padanya untuk tetap tenang menunggu kabar darinya.
Mas Pram, suami Mba Citra telah bolak-balik ke kantor Maskapai setempat yang telah dibanjiri oleh keluarga penumpang.
Wajah Saddam dan Eko sama kusutnya. Dia tahu asisten sekaligus supirnya itu tak bisa mengatakan hal apa-apa selain memintanya untuk bersabar. Tak ada yang bisa dikerjakannya selain menunggu saat ini.
...***...
...Mohon dukung karyaku dengan like, comment atau vote ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!