Setahuku, aku tidak memiliki riwayat sakit jantung. Tapi kenapa gumpalan pemompa darah itu, tiba-tiba saja bertabuh dengan ritme yang sangat cepat? Manakala kata yang sangat pendek itu, diucapkan serempak oleh orang-orang disekitarku.
"Saaahhh!!!"
Aku bahkan tak mengerti alasannya!
Bukankah itu seharusnya melegakan, karena aku berhasil melafalkan Ijab Qabul itu hanya dengan satu tarikan nafas?
Hhufftt....
Oke, oke!
Aku harus tenang. Seraya mengusap wajah, sebagai bentuk syukurku, ku tarik nafas beratku yang kemudian ku hembuskan kembali perlahan.
Alhamdulillah...
Alhamdulillah...
"Neng Agisnanya, mangga, silahkan dibawa kesini."
DEG
Lagi-lagi!
Ucapan perintah pria bersorban itu membuatku melengak.
Agisna...
Agisna...
Agisna....
Nama itu...?
Agisna... ya, gadis itu! Bukankah baru saja ku ambil alih hak kepemilikan juga tanggung jawab dari bapaknya?
Tapi... aarrgghh!!
Kenapa aku malah jadi insecure seperti ini?
Bodoh!
"CUIT CUIW!!!"
"Jiaaaa ....!!!!"
"Yiiiihaaaaa....!!!"
Di tengah perdebatan dunia batinku, kenapa anak-anak setan itu bersorak-sorai? Sampai-sampai suara mereka memantul menjadi gaung dan menggema di seantero ruangan. Apa yang sebenarnya mereka teriakki?
Aku mendongak menatap Jibril didepan. Ku lihat kekehan lucu menghias wajahnya. Arah bidikan kameranya kini berubah haluan. Sedikit naik seperti tertuju pada arah pintu utama mesjid.
Tak bisa lagi menerka, aku lalu mengikuti kemana mata lensa itu tertuju.
Dan ....
"Masya Allah ...."
Kedua netraku bergerak melebar, seiring siluet hidup hasil tangkapan pandangku. Hatiku tak henti bergumam kagum. Sosok itu tengah berjalan manis semakin mendekat ke arahku, didampingi seorang ibu yang mungkin adalah kerabatnya. "Agisna!"
Gamis pengantin putih berenda yang tentu saja longgar, berpadu hijab berwarna senada, membalut tubuh mungilnya. Dan riasan make up tipis diwajahnya, benar menjadi jawaban, bahwa wajah itu tak pernah sedikitpun terpoles dempul lenong atau apapun sejenisnya. Sangat berbeda dari biasanya. Begitu cantik dimataku!
(Singa.co ... shut up!)🤘
Tanpa sadar, aku mengulurkan telapak tanganku mengharap penyambutannya. Tapi....
"Mata lu kondisikan, Bro!"
"Si Kampret udah gak sabar!!"
"Hooyy, Bin! Blom tanda tangan lu!"
"Blom sah!"
Begundal-begundal peak itu, lagi-lagi nyablak! Eeerrggghh...!! Erangku kesal.
Dengan cepat ku rotasi setengah leherku ke arah dimana para sialan itu berjejer, hanya untuk mengatakan, "Berisik, Kampret!"
Ku gerakkan tanganku kembali untuk meraih telapak tangan Gisna, tanpa mengalihkan pandang dari para Jahannam itu. Namun...
"Hahaha...!!!!!"
"Si Anyeng mulai ngelindur siang-siang!"
"Bini lu udah nangkring disamping lu, hoyy!"
Sontak ku balik wajahku, menatap ke arah tanganku yang melayang.
Eh?
Hehehe...
Gisna sudah duduk disebelahku, Gan!
Ku gulung bentangan telapak tanganku, lalu ku turunkan berpulas senyuman kaku. Ku tolehkan kembali kepalaku ke belakang.
Huh! Benar saja! Para kampret itu masih memasang senyuman jadahnya.
"Nak Bintang, silahkan tanda tangan disini." Refleks menoleh ke asal suara. Ku lihat beberapa helai kertas di sodorkan Bapak bersorban ke arahku. Namun sejurus tatapanku tertuju pada dua buah buku mungil berwarna merah dan juga hijau. Tergolek diantara tumpukan kertas itu.
Dalam sekejap rantai pertanyaan menyeruak memenuhi kepalaku.
Bukankah itu ...?
Kedua benda itu adalah ...
Sepasang buku nikah!
Aku menoleh ke arah Gisna. "Buku nikah?" Dengan kernyitan diwajahku.
Ia yang sudah menghadapku, tersenyum, lalu mengangguk sesaat kemudian. "Iya."
"Bukannya kita cuma nikah siri?!" tanyaku lagi masih dengan tatapan heran, lalu mengalih wajah menatap Pak Yusuf, meminta jawaban. "Pak?"
Ku lihat pria tua disebelah Pak Yusuf, cukup bingung menanggapi sikapku yang sejujurnya lebih bingung daripadanya.
Pak Yusuf tersenyum. "Iya, Nak. Awalnya niatan Bapak memang hanya menikahkan kalian secara siri, sehubungan dengan biaya yang dasarnya memang belum ada. Tapi ternyata Allah memberikan jalan lain. Status kalian, mungkin ... memang sudah seharusnya ditangguhkan juga secara hukum."
Aku masih mengernyit dengan sejuta pertanyaan dikepalaku. Pernikahanku ini, mengapa terasa banyak menyimpan misteri?
Pertama, kedatangan para begundal kampret itu yang entah siapa yang mengundang. Lalu sekarang ... surat nikah! Seingatku sedikitpun aku tidak pernah menyerahkan berkas syarat atau apapun sejenisnya pada Pak Yusuf ataupun Gisna. Ku pikir pernikahan ini, hanya pernikahan Kiyai saja. Dibawah tangan!
"Semua ini adikmu yang mengatur, Nak Bintang!"
Apa?!
Apa katanya?!
Aku cukup tersentak menanggapi. "Adikku? Siapa yang Bapak maksud?!"
Lalu mengkat sedikit tubuhnya untuk mendapatkan jarak pandang. "Dia."
Telapak tangan Pak Yusuf mengarah ke sebuah sudut di samping kananku, yang kemudian aku ikuti.
Sesosok lelaki muda terduduk manis bersila kaki memisahkan diri beberapa meter dari jejeran anak-anak setan. Senyum yang disertai lambaian tangan ke arahku itu, sontak membuat mataku membelalak dengan rasa panas yang entah akan menjadi apa. "Gelatik," gumamku menyebut namanya.
Bocah itu... lagi-lagi dia ....
"Kalo lu mau peluk-peluk gua nanti, Bang! Abis lu tanda tanganin semua tu berkas-berkas!" serunya dari kejauhan.
"Bener kata tu bocah, Bin! Cepetan tanda tangan!" Buyung menimpali.
"Atau kalo lu ogah, gua siap kok, gantiin...." Dengan mata berkedip nakal. "Gisnanya buat gua."
Shit!
Kalimat godaan Jonas itu malah tak terlihat seperti sebuah godaan dalam pandang juga pendengaranku. Alhasil bibirku yang seksi ini, menjadi bersungut dalam kesal. "Kunyuk! Langkahin dulu ****** gua!"
Aku langsung menegakkan tubuhku kembali ke depan. Meraih bolpen yang tergeletak di meja kecil dihadapanku itu. Lantas ku goreskan tintanya pada kolom yang di tunjuk Pak Tua itu, membentuk sebuah tanda tangan. Di susul Gisna yang juga melakukan hal yang sama.
Bunyi cekrak-cekrik-cekrek dari kamera milik Jibril, juga yang berasal dari ponsel milik beberapa orang itu, ku dengar saling bersahutan.
Demi apapun, bahkan untuk sekedar mengabadikan moment dalam sebentuk gambar atau videopun, aku sama sekali tak memikirkannya sebelum ini. Pusatku hanya tertuju pada kelangsungan proses sakral ini. Juga kehidupan bersama Gisna ... after married!
"Silahkan kalian sungkem sama Bapak."
Selayaknya pasangan pengantin pada umumnya, usai dengan aksi coret-coretan, kami melanjutkan prosesi sungkem.
Pak Yusuf!
Ya, hanya dia! Satu pasang mata yang akan kami sungkemi saat ini. Cukup menyedihkan!
Saat telapak tangan Gisna menyentuh telapak tangan ayahnya yang kemudian di ciumnya cukup lama, tiba-tiba....
JRENG!🎸
Allah Allah ... Agitsna ya Rosulullah....🎶
Ya adhimal jah, alaika solawatullah....🎶
Abdun bil bab yartaji latsmal a'taab...🎶
Jul bil jawab marhaban qod qobalnaah....🎶
Lantunan suara merdu itu menggema di seantero mesjid, mengiringi prosesi ini. Semua perhatian teralih pada sosok yang berjalan mendekat ke arah kami, dengan gitar string yang sorenkan dipundaknya.
"Agas!"
Berpenampilan khas kental santri, peci putih dan koko yang diselubungi almamater abu berpadu sarung hitam tanpa corak, cukup memperlihatkan jati dirinya. Wajah gantengnya semakin terlihat memukau dengan gitar yang didukung suara merdunya. Aku yakin tak ada yang tak tersihir oleh karismanya saat ini.
Termasuk para setan dibelakangku!
Lihatlah! Lalat-lalat berjaket hijau itu bahkan leluasa menembus moncong mereka yang menganga.
Plis jan ngarang! Suara hati mereka menghalau.
Ah! Aku bahkan masih tak mengerti, mengapa setan-setan itu tak kepanasan saat menjejak kaki ditempat suci ini.
Lantunan sholawat merdu Agas, berakhir seiring aku yang mulai bangkit dari sungkemku terhadap bapak mertuaku. Di lanjutkan bersalaman ria pada para orang tua kerabat Gisna.
Usai itu, aku yang memang sudah kehilangan kesabaran, melangkah cepat melewati jejeran sahabat-sahabatku yang menunggu untuk ku tandangi.
"Lu ngapain aja tanpa sepengetahuan gua?!" tanyaku tanpa ada raut bercanda, setelah berdiri persis dihadapannya. Dan tentu saja merebut perhatian semua orang yang berada
di lingkup tempat ini.
Bocah itu mengangkat tubuhnya, lalu berdiri berhadapan denganku. "Maafin gua, Bang!" Ia menatapku sekilas, lalu menurunkan kepalanya menunduk. "Gua beneran gak da maksud buat rendahin lu. Please, lu jangan marah sama gua!"
Aku terus menatapnya, "Dan temen-temen gua, elu juga yang udah kasih tau mereka?" lanjutku.
Mendapat tatapan intimidasiku, membuat nyalinya seketika menciut. Ia bungkam dalam tunduknya.
Dan aku faham!
Bahwa memang dialah peran utama dari keadaan yang bahkan tidak ada dalam rencanaku ini.
"Maafin gua, Bang! Gua cuma--"
Aku menarik cepat tubuh remaja itu ke dalam rengkuhanku, memotong ucapannya. "Makasih, Ge, makasih. Elu emang selalu bisa gua andelin."
Sialnya, air mata bodoh ini malah terjun tanpa bisa ku tahan.
"Gua peduli sama elu, Bang! Lu udah kayak abang gua sendiri! Gua gk mungkin biarin lu sendirian di sini," cerocosnya dibelakang punggungku.
"Lu kudu bersyukur punya dia, Bin." Jibril menepuk pundakku, yang membuat pelukan cengengku dan Gelatik refleks terlepas.
"Iya, ni kutil kemaren ampe rela ujan-ujanan dateng ke basecamp pake motor butut lu, cuma buat nyampein kelakuan lu ini!" sambung Kenma. "Awalnya gua kecewa dan langsung marah-marah. Tapi pas denger penjelasan bocah ini, alesan lu ngelakuin ini semua secara diem-diem, gua malah jadi ngerasa bersalah."
"Kalo gue, pertamanya gua gak percaya sama ni bocah. Gua kira dia ni santet kiriman Yongki, buat ngejebak kita." Jonas menimpali. "Tapi muka polos sama urat meweknya itu, berhasil bikin gue iba, dan akhirnya percaya."
"Dan di sinilah kita sekarang. Di hadapan lo! Dukung lo yang bodoh ini!" Jibril menembak kata seraya menoyor kepalaku dari belakang. "Lu pikir dengan lu ngambil jalan solo kayak gini, lu bisa kuat, hh?! Taik lu!"
"Iya. Dan akhirnya mewek saking terhura liat gue yang tamvan ini, tiba-tiba nengger dibelakang lo!" Kenma mencebik.
Aku tak tau harus menimpali dengan jenis rangkaian kalimat semacam apa. Terlalu naif! Disini, jati diri jagoanku benar-benar melebur tanpa sisa. Mereka benar, aku hanyalah seonggok manusia kesepian yang butuh dukungan.
"Gua gak tau harus ngomong apa," ucapku gamang. "Makasih... buat lo semua, udah mau jadi keluarga gua."
"Santai, Bro!" Buyung dan Ardhan menepuk punggungku bersamaan.
Dan bukan teletubbies, kami yang berjumlah lebih dari sepuluh orang ini, bergandeng saling mengait dan menaut lengan, hingga membentuk sebuah lingkaran.
"Sini lu!" Aku menarik ujung kemeja Gelatik, mengajak anak itu untuk bergabung. "Mulai sekarang lu bagian dari kita," ucapku. "Kalian semua setuju, kan?" Ku edar pandangku mengabsen wajah mantemanku.
"Gua oke!" Buyung.
"Tapi kalu lu mau gabung dimari, lu kudu kuat nemenin gua nge'game." Kenma.
"Lu harus bisa gelud." Jibril.
"Harus pinter nggaet cewek." Jonas.
"Cari duit juga." Ardhan.
Dan menyusul yang lainnya.
Mendengar kicau-kicau itu, Gelatik memasang ekspresi melongo, mengedar pandang menghitari wajah-wajah kampreto itu.
"Mabok mabok dah gua!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
🔵🍁⃟𐍹 𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆 ⬪ᷢ♛⃝꙰ ❤
Lah si Bintang bisa nangis juga teh kirain bisa gelud doang.
Kayanya enak y punya sohib kaya gitu
2021-03-23
0
KOwKen
noo, gua geli merangkul sesama laki..
2021-03-13
0
Affandi
Ehem ehem bintang dah siap?! 🤭
tempur...?🤣
2021-03-06
0