Usai menemui Dosen Pembimbingku di ruangannya, aku mengayun langkah menuju kantin. Mencari seseorang yang sepertinya bisa menolongku menghadapi Gisna yang saat ini mungkin sedang salah paham.
"Bin, kamu mau kemana?"
Dengan ransel yang hanya kukaitkan di sebelah pundakku, aku berbalik badan melihat si penanya. "Dia lagi," gumamku jengah. "Mau ke kantin."
"Aku ikut ya?"
"Terserah." Dengan malas aku menanggapi, seraya kembali memapah langkahku menuju tempat semula tujuanku. Dengan senyum-senyum percaya diri dia berjalan di sampingku.
Hmmm ... aku mual!
"Rame banget. Mana tu bocah, ya? Kata temennya dia ke sini," gumamku. Aku mengedar pandangku menyapu sekeliling tempat itu. "Kayaknya gak ada di sini."
"Kamu nyari siapa, sih, Bin?" Nova terus mencecarku dengan kekepoannya.
Aku mulai risih dengan jelmaan Nyi Pelet di sampingku ini. Tanpa memperdulikannya, aku mulai menyusur langkah mencari orang yang kucari.
"Bin! Kamu kok cuekin aku terus, sih?"
Dih, bibir lu gak usah dimanyunin juga kali, gue gak bakalan kegoda. Menatap wanita itu sekilas dengan tatapan malas. "Lu bisa gak, gak ngikutin gue?"
"Kenapa?" tanyanya polos. "Hampir semua cowok di kampus ini tuh ngejar aku!" Cukup tinggi Nova mengambil nada. Sepertinya dia tak terima dengan cara bicaraku yang cukup sinis menanggapinya.
"HAMPIR! Lo bilang hampir, kan? Itu artinya, gue termasuk di kubu yang 'GAK PRO' sama lo. Ngerti?!"
Kulihat matanya mulai berkaca. "Kamu, kok, jahat banget sama aku, sih, Bin? Padahal aku tuh tulus suka sama kamu."
OMEGOT! Ucapan blak-blakannya itu membuat semua makhluk yang ada di tempat ini, sontak mengalihkan pandangannya ke arah kami.
Ok fix, sepertinya mulai saat ini mereka akan menganggap aku kejam, sok kegantengan, atau apalah sejenisnya.
"Eh, lo jadi laki jangan kasar dong!" seru salah seorang mahasiswa yang wajahnya tujuh puluh derajat di bawahku, menghampiri ke arahku dan juga Nova. "Nov, kamu gak papa, kan?" tanyanya pada Nova sembari memegang pundak gadis itu, menatapnya penuh perhatian. Uwuuuu ....
Nova hanya menggeleng menanggapi lelaki itu dengan tampang risihnya. Makan tu tuyul empang! Aku terkekeh geli melihat adegan romantis mereka.
"Iya, lo sombong banget sih jadi cowok!" Yang lain menimpali
Tuh, kan ... bener!
Ahh ....
Aku memutar bola mataku malas. "Bung! Kalo lo semua mau sama ni cewek, lu ambil aja. Gue gak selera!" seruku seraya hengkang meninggalkan suasana yang semakin ricuh. "Buang-buang waktu gue aja!" umpatku dengan dengusan kesal. Kulirik sesaat ke belakang, Nova masih menangis menatapku dengan raut kecewa. Aku tahu, ucapanku terlalu jahat, dan mungkin membuatnya merasa terhina.
YaLord ... ada perasaan bersalah dalam hatiku melihat tetesan kecil di pipi Nova tersebut.
Bodo amatlah! Kugedikkan bahuku, dan mulai melanjutkan langkahku kembali, entah menuju mana. Namun ketika itu tiba-tiba ....
BUG!
BYAAARRR!
"Aduh!!"
"Maaf, maaf," ujarku seraya berjongkok memunguti barang-barangnya yang tercecer di lantai.
Saat sibuk dengan kegiatan itu, tiba-tiba pikiranku mencerna sesuatu. Dengan slow motion aku memperhatikan satu persatu barang-barang di tanganku itu. Ini kenapa yang jatuh camilan semua? Untuk menjawab pertanyaan di otakku, aku mengangkat wajahku untuk melihat siapa orang yang telah aku tabrak itu.
Dan ....
"Kamu!"
Dia cukup terperanjat melihat wajahku. "Kamu! Kamu ... pacarnya Gisna, kan?!"
"Hehe..." Kupasang cengiran kudaku menanggapi kicau kejut orang di hadapanku ini.
Seorang gadis bertubuh gempal dengan setelan jeans dan cardigan hitam dengan panjang sedikit di bawah lututnya, berpadu pashmina yang dipasang meliliti leher. Pantas saja, isi ranselnya makanan semua, wong yang ku tabrak gentong Madura. Wkwk ....
"Ini punya lo!" Kusodorkan semua makanan itu ke arahnya. "Fafa, nama lo Fafa, kan?"
"Hmm." Dia mulai memasukkan semua camilan berkemasan plastik gemuk itu ke dalam ranselnya.
"Kebetulan banget, ni!" ujarku sumringah.
"Ha?" Dia mendongak menatapku yang jauh lebih tinggi dari tubuhnya. "Kebetulan apanya?"
Haduh, ingin sekali kucubit keras chubby cheeks-nya itu hingga melar dan melebar. Sumpah demi apapun, dia lucu sekali. Kulit putihnya, lesung pipinya, wajah bulatnya, benar-benar cocok untuk kujadikan pajangan di dalam bufet mewah di rumah besar ayahku.
"Hey!"
DUAR!
Aku terperanjat level maksimal. Suara cempreng itu benar-benar membuat gendang telingaku bergetar cukup hebat, sampai daunnya kuusap berulang. "Apa sih, Bombom?! Gue gak congean kali!"
"Aduh!!" pekiknya keras saat aku benar-benar menguyel pipinya itu dengan gemas. "Bukan muhrim!" tegasnya.
Sontak aku menarik lenganku dan memundurkan sedikit tubuhku. "Maaf, maaf. Hehe, pisss!" Kuangkat jari tengah dan telunjukku ke arahnya membentuk huruf 'v'. "Abisnya lo gemesin banget, sih!" Dengan kekehan lucu di bibirku.
"Dasar!" gerutunya memberengut.
Dan ketika kulihat ia mulai mengambil ancang-ancang untuk melenggang meninggalkanku, dengan cepat kutarik ransel yang bertengger di punggungnya. "Tunggu dulu."
"Eh, apaan, sih?!"
Hampir saja dia terjatuh saat terbawa lenganku yang menarik ranselnya ke belakang, namun keburu kutahan bobot ajaibnya itu agar tak limbung.
"Tunggu, gue mau nanya."
Dia mulai menghadapku. "Mau tanya apa?"
"Gisna di mana?" tanyaku langsung pada intinya.
"Jam segini dia di TPQ. Ngajar," jawabnya ketus.
"TPQ? TPQ yang di belakang kampus sini?" tanyaku lagi seraya menyondongkan telunjukku pada suatu arah.
"Ho'oh."
"Anterin gue yok?"
"Anterin kemana?"
"Ke tempat Gisna ngajar."
"Yee ... kan kamu tau tempatnya. Ngapain minta anterin aku?!" selorohnya. "Lagian aku bingung, Gisna kenapa mau sih, pacaran sama cowok playboy konyol kayak kamu?!" Dengan berengutan lucu di wajahnya.
"Kata siapa gue playboy, Fafa Bombom?"
"Di kampus ini tuh ke-playboy-an kamu udah terkenal!" ujarnya ngegas.
Aku terkekeh. "Masa, sih, gue sepemes itu?" tanyaku receh. "Berarti gue keren, dong?"
"Dih, pede banget!" Beliak sebalnya.
"Haha!" Aku tergelak. "Ya udah, anterin yuk!" ulangku.
"Gak bisa, aku ada kelas bentar lagi. Sendiri aja sono."
Dan akhirnya, kuhembuskan nafas kasarku melihat Fafa yang benar-benar tak bisa mengantarku. Dia pergi tergesa setelah salah seorang temannya memanggil dari kejauhan.
Huh!
Untuk pertama kali sepanjang sejarah percintaanku, aku merasa takut menghadapi pasanganku yang sedang pundung. Hhhffftt ....
Akhirnya dengan gontai, aku melangkah meninggalkan kampus menuju TPQ di mana Gisna mengajar.
Namun saat mulai kujejaki langkahku di persimpangan yang cukup sepi, samar-samar kudengar teriakan seseorang dari dalam rumah kosong, yang menurut desas-desus penduduk setempat, rumah besar itu sangat angker dengan segala misterinya.
Oke cukup, kembali pada suara teriakan yang tadi kudengar.
"Loh, kok ilang suaranya." Aku diam sejenak, memasang ketat pendengaranku untuk memastikan. "Beneran gak ada lagi. Apa jangan-jangan beneran hantu?" gumamku bergidik.
"Aduh, masa iya sih, gue mulai terpengaruh sama hal-hal sinting kayak gitu?" lanjutku tak habis pikir. "Ah, udah ah. Cabut aja, deh!"
Namun baru beberapa jarak kakiku menapak langkah ....
"Tolooooonggg ...."
Shit ! Suara itu kembali terdengar. Suara tak lepas seolah tertahan oleh sesuatu yang menutupi mulutnya. Tapi siapa?
"Gue harus check ini!" Bermodal penasaran yang membumbung, aku melangkah mendekati bagian depan rumah kosong itu. Kutempelkan kedua telapak tangan juga keningku ke dasar kaca untuk melihat ke dalam rumah. Dan ....
"Gisna!" Aku terkejut dengan mata membelalak.
Tanpa babibeh, ku tendang keras pintu usang itu hingga terpental keras membentur dinding dengan satu engsel terlepas di bagian atas.
Kutarik dan kuhajar menggila lelaki yang hampir saja melecehkan gadis yang baru sepuluh hari menjadi kekasihku itu. "Bangsadd!" teriakku dipenuhi amarah yang meletup.
BUG!
Kuterjang perutnya dengan satu tinjuan keras.
"Ampunn, Bang! Ampuun ...," rintih lelaki setan itu.
"Bintang, udah, Bin! Dia bisa meninggal!" Gisna terus menarik tubuhku, mencoba menghentikan gerak barbarku. "Udah, Bin. Aku mohon ...."
Fix, untuk suara jenis itu aku tak bisa mengabaikannya. Kuhempas tubuh yang sudah dipenuhi lebam itu ke lantai dengan kasar. "Badjingan! Kalo gak karena cewek gue nahan, uda gue bikin mampos lo!"
"Hiks ... hiks ... hiks ...."
Dengan getar hebat disekujur tubuhnya, Gisna terus menangis sembari memeluk tubuhnya sendiri.
Sumpah demi apapun, pemandangan wajah itu menciptakan nyeri di dasar hatiku. Dengan gerakan hati-hati kusentuh dan kurapikan hijabnya yang berantakan, tanpa berani menyentuh kulit wajahnya. "Gak papa, ada aku."
Dia mendongakkan wajah menatapku, masih dengan derai air matanya. Lalu tanpa kuduga, dia menerjangkan tubuhnya menghambur ke pelukanku. "Aku takut, Bin."
Aku masih tak percaya, Gisna memelukku seerat ini. Pasalnya, selama sepuluh hari menjalani hubungan dengannya, tak pernah sekalipun aku berhasil menyentuhnya. Walaupun hanya sekedar berpegangan tangan seperti pasangan kebanyakan.
Ahh, ini terasa aneh. Tapi aku ....
Menikmatinya!
Lalu mulai kulemaskan lenganku untuk membalas pelukannya. "Jangan takut." Dan kukecup pucuk kepalanya, sebelum dia berubah pikiran.
Kapan lagi, hoy?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Seul Ye
Sudah tercium bau2 jelmaan nyi pelet bakal disiksaaaaahhhh..
2021-02-08
0
MyNameIs
Nov,,,, lu ditinggal pas lagi sayang2 nya😝😝😝
2021-02-03
0
Duchess RahmaDika
ya ampun kena gisna begitu Soleha, ini tidak adil kisanak, di bgus"in diri sendri wkwkwk
2021-02-02
1