Chapter 11

Hari ini, terik matahari seolah membakar kulitku hingga melepuh. Menyengat, tapi aku kuat!

Didampingi angin yang dengan anggun menerbangkan dedaunan tua yang terlepas dari tangkainya. Berantakan!

Di sebuah bangku taman di belakang kampusku. Kami duduk bersisian menghadap kolam kecil yang menampung beberapa ekor ikan di dalamnya. Entah apa jenis ikan itu. Tapi aku yakin, itu bukan ikan paus.

Tunggu, tadi aku bilang kami?

Kami ...

Ya, kami!

Aku dan dia!

Dia?

Ya, dia!

Gadis yang kini sudah melewati angka 60 hari, menyandang gelar sebagai pacarku.

Agisna!

Tadi pagi dia mengirimiku sebuah pesan chat, yang menyuratkan keinginannya untuk memintaku bertemu di tempat ini. Sebenarnya aku cukup terkejut, karena jelas ini bukan kebiasaannya.

Bentuk pertemuan kami selama ini hanyalah sebatas itu saja. Duduk santai berhadapan di sebuah gerai bakso, ataupun berjalan beriringan menuju rumah kontrakannya. Dan itupun selalu aku yang memulai.

Dan kemunculan pesan itu jelas membuat pikiranku digeluti berbagai argumen yang bertumpuk mendesak menjejali otak besarku. Aku mengambil kesimpulan ... pasti ada sesuatu!

Dan itu benar!

Dengan punggung tersandar ke sandaran bangku panjang itu, aku menunduk semabari menatap ponsel yang terus kuputar-putar, depan belakang juga kiri dan kanannya.

Maafkan aku hape! Semoga setelah ini kamu tidak kena vertigo.

Setelah berbasa-basi singkat, tanpa menunggu waktu lama, Gisna mulai mengutarakan apa yang memang ingin disampaikannya padaku saat ini.

Entah mengapa, semakin panjang rangkaian katanya, semakin sesak pula dadaku merasakannya.

" .... Makin berjalan jauh, makin banyak selentingan buruk tentang kita yang aku dengar." Sepenggal kalimat itu adalah susunan dari kelanjutan kalimat Gisna sebelumnya. Ia masih menunduk tak berani menatapku. Jari-jemarinya diremas hingga melembab dan mengeluarkan keringat.

"Selentingan semacam apa?" tanyaku memiringkan wajahku menghadapnya.

"Kamu tahu, dimana saat aku memutuskan untuk menutup seluruh auratku, di situ pulalah ketetapan untuk mengikuti syari'at juga kuteguhkan," tuturnya. "Tapi aku sendiri malah melanggar apa yang aku teguhkan itu." Dalam sendu ia tertunduk semakin dalam. "Dengan memutuskan untuk berpacaran sama kamu."

"Lalu?" tanyaku memotong.

"Mereka mulai menghujatku, dari apa yang mereka lihat. Seorang hijaber syar'i, tapi pacaran!" lanjutnya.

Kali aku memposisikan diriku menghadapnya. "Tapi 'kan, kamu ngerasain sendiri, kita ni pacaran gak pernah ngapa-ngapain?! Jangankan aneh-aneh, pegangan tangan aja nggak!" tukasku ngegas.

Clik!

Oh, my....

Dia menitikkan air matanya.

"Maaf," ucapku. "Aku nggak bermaksud ...."

"Nggak! Gak papa," pungkasnya dengan gelengan cepat. "Aku yang salah."

Aku mulai meradang. "Aku mohon, kamu jangan dengerin omongan aneh-aneh dari orang lain. Mereka itu gak tahu apa-apa soal kita," kataku mencoba memberi pengertian.

"Lalu gimana sama pandangan bapakku?"

DEG

Mataku refleks membola. Pertanyaan itu ....

Iya, benar, bapaknya!

Kenapa aku malah lupa pada inti perkataannya sedari tadi.

Sial!

"Trus kamu pengennya kita gimana?"

Omegooottt, sumpah demi apapun, melontarkan pertanyaan itu malah membuat jantungku seakan terpelanting dari tempatnya.

Untuk beberapa saat aku hanya melihat kediaman dalam tunduknya. Aku masih menunggu dengan pikiran yang berkecamuk.

Aku ingat, aku pernah bertanya padanya. Kenapa dia mau menerimaku sebagai pacarnya. Dan jawaban yang dilontarkannya membuatku mengernyit keheranan. Sangat aneh!

Aku juga gak ngerti kenapa aku mau nerima kamu jadi pacarku. Kayak ada sebuah bisikan yang maksa aku buat bilang 'iya aku mau'.

Ha?

Begitulah kira-kira penggalan jawaban Gisna saat itu. Padalah dia mengatakan, dari mulai ia menjejak akil baligh, ia tak pernah menerima lelaki manapun untuk menjadi pacarnya. Bahkan ia juga bercerita, untuk urusan pendamping, ia sudah menunduk seutuhnya atas pilihan orang tuanya, dengan jalan ta'aruf tentunya.

Kembali pada percakapan.

"Di sini kita cuma punya dua pilihan. Nikah, atau ...."

"Putus!" sergahku.

Dalam satu kedipan, bulir-bulir di matanya kembali menjatuhkan diri menimpa telapak tangan yang ia taruh di atas kedua pahanya, yang tentu saja terselubung gamis yang menjuntai hingga ke telapak kakinya.

Aku terhenyak dengan ucapanku sendiri. Memejamkan mataku mencerna keadaan ini. Aku memang sudah tahu kedua pilihan itu. Meskipun dikemas dalam bentuk ceramah kecil, tapi aku faham arah ucapan bapaknya dalam pertemuan perdanaku dengannya kala itu.

Kesimpulannya, pria 50 tahunan itu, memintaku memberi kejelasan dalam hubungan antara aku dan puterinya, tanpa melibatkan kata 'pacaran'. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini.

Hhuft ....

"Bukan putus!" sanggahnya.

Aku mengangkat wajahku menatapnya refleks. "Trus?"

"Kita pisah aja dulu. Insya Allah, kalau kita memang berjodoh, kita pasti bersatu lagi," ucapnya berat. "Jujur aja, aku juga gak mau kita pisah. Tapi aku gak punya pilihan lain. Selain akan banyak fitnah dan gunjingan ke depannya, aku juga gak mau mendurhakai bapakku, dengan tetap mempertahankan hubungan yang salah ini."

DEG

Hubungan yang salah.

Hubungan yang salah.

Hubungan yang salah.

Kalimat itu terus mengudara di pikiranku. Terus dan terus.

Jujur, kedua pilihan itu sangat berat untukku. Untuk menikah secepatnya, aku rasa, aku jelas tidak bisa. Di tengah keadaan ekonomiku yang rendah, juga statusku yang masih mahasiswa. Selain itu, aku juga belum siap membawa Gisna ke hadapan ayahku yang entah ia akan peduli atau tidak.

Bukan karena takut tidak direstui, untuk itu aku tidak perduli. Namun aku takut Gisna akan tersakiti. Terlebih oleh kalimat-kalimat wanita itu.

Tetapi untuk putus, aku rasa ... aku juga tidak akan mampu.

Karena jujur saja, selama lebih dari dua bulan ini menjalin hubungan dengannya, perasaanku menjadi lain, seiring berbagai kelebihan yang secara alami ia tunjukkan di hadapanku.

Kelebihan yang tak dimiliki wanita mana pun yang pernah aku temui dalam pandang dan penilaianku. Sebagai seorang lelaki baik, tentu saja aku mengharapkan wanita yang juga baik. Dengan kata lain, perasaanku padanya telah berubah, berubah menjadi cinta.

Ya! Aku telah jatuh cinta padanya.

Karena itulah, sekarang aku benar-benar merasa dilema dan juga frustasi.

"Aku gak mau pisah sama kamu,'' cetusku akhirnya.

Dan ucapanku itu berhasil membuatnya menoleh menatapku. Sebuah tatapan penuh binar yang kemudian aku balas.

Kami saling bertatap sendu.

"Kalo kamu gak mau kita pisah ...." Gisna terdiam beberapa jenak. "Nikahin aku, secepatnya!"

DUAARR

Bagai cambukkan cemeti dewa, jantungku menggelegar keras yang lantas saling bertabuh. Aku memalingkan wajahku ke depan. "Gis ... apa nggak ada pilihan lain lagi?" Lalu kembali menatapnya. "Kita tunda sampai aku wisuda dan dapet pekerjaan yang layak dulu misalnya." Aku mencoba bernego.

Ia menggeleng lemah. "Aku gak bisa. Aku takut membuat bapak semakin kecewa sama aku." Membuang pandangnya ke arah berlawanan. "Tapi aku juga gak mau maksa kamu."

"Tapi, Gis... kamu tahu, aku aja belum lulus, belum punya pekerjaan yang bener juga. Gimana aku bisa nafkahin kamu. Terlebih, biaya nikah itu gak dikit, 'kan?"

WUSH!

Mendengar penuturanku, sepasang mata itu kini menatapku dengan sorotan tajam. "Nafkah kamu bilang? Sombong sekali kamu!"

DEG!

"Ma-maksud kamu?" Demi apapun, sedikit pun aku tak mampu menebak kemana arah bicaranya itu.

"Kamu berani mengelak dari permintaan pernikahan hanya dengan alasan belum mampu menafkahiku? Siapa kamu yang merasa bertanggung jawab atas rezekiku?!"

Aku menatapnya tak mampu berkata. Sekujur tubuhku beku. Dadaku seolah tertimpa sesuatu yang begitu berat.

Dia ....

"Memangnya seandanya saat ini kamu adalah seorang pengusaha kaya raya, apakah kamu bisa menjamin, kamu masih akan memilikinya sehari setelah kita menikah?" lanjut Gisna mencecar.

"Semua milikku, rezekiku, juga garis hidupku, semua kuperoleh dari Allah. Aku tidak peduli walaupun kamu hanya seorang tukang ojek, atau pemulung sekalipun! Asalkan kita berada di lingkar yang diridhai Allah." Suaranya semakin parau, seiring air matanya yang kian menderas. Namun tetap dengan kilat tegas yang tak bisa dipatahkan siapa pun.

Dan semua yang dikatakannya itu, benar-benar menohok perasaanku, menukik jiwaku sebagai seorang manusia yang jelas bukan siapa-siapa di hadapan Sang Pencipta.

Aku menundukkan kepalaku dalam. Semakin rendah rasa percaya diriku yang selama ini selalu kutinggikan. Yang selama ini selalu merasa semua yang kulakukan adalah benar. Namun juga memupuk rasa kagumku terhadap gadis di hadapanku ini. Sikap bijaksananya ... membuatku semakin tak ingin kehilangannya.

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

Astaghfirullah...part ini menamparku...betapa diriku pongah dg mengklaim capaian ini krn usahaku...

2023-08-05

1

Rikko Nur Bakti

Rikko Nur Bakti

alasan klasik...pembenaran ketidakmampuan...

2022-01-20

1

Nurcahyani Nurr

Nurcahyani Nurr

Ayoo cpetan dila ar.. Klamaaan mikir ntar dcomot orang lhooo

2021-06-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!