Chapter 17

Dengan jaket kulit hitam, juga buff yang kugaet di kapstok basecamp Gaijin yang entah milik siapa, aku melanting keluar menuju motorku. Tak tinggal half fast helmet unyu-unyu yang selalu menemani setiap perjalanan roda duaku, kututupkan ke kepalaku. Lalu dengan tergesa, kutancap gas jagurku ini dengan kecepatan maksimal.

Chat singkat juga sharelock yang kuterima dari Gelatik, seketika membuatku terlonjak. Aku bahkan tak menjawab seruan pertanyaan Jibril dan lainnya, saat aku tiba-tiba bangkit lalu pergi usai meng-atributi badanku.

Mungkin saat ini mereka tengah sibuk bergosip tentangku yang tiba-tiba cabut tanpa penjelasan.

Masa bodo, lah!

Yang penting sekarang aku bisa sampai secepatnya ke alamat itu!

Hingga selang beberapa waktu kemudian ....

Aku memperlambat laju motorku, karena titik laju di laman mapsku sudah sampai di titik tujuan.

"Bang!"

Refleks kuinjak pedal remku, lalu melongok mencari asal suara yang memang sudah sangat kukenali. "Ge'."

Pemuda itu menghampiriku tergopoh. "Akhirnya lu dateng juga, Bang!" Dengan wajah sumringah berpulas cemas.

"Ada apaan, Ge?!" Aku bertanya seraya turun dari motorku yang sudah kustandart

"Tolongin temen gue, Bang!" Ia mengalihkan sekilas wajahnya pada suatu arah.

"Temen lu kenapa?!" tanyaku tidak sabar.

"Tadi gue liat dia dibekep di parkiran Starbucks sama dua orang laki. Trus gue ikutin ampe sini."

"Trus mana mereka sekarang?"

"Dibawa kesana, Bang!" Telunjuk Gelatik mengarah pada sebuah gang kecil yang hanya muat untuk satu badan orang saja. "Gue takut, Bang! Pas gue intip ke sono, ternyata mereka banyak," bebernya.

"Ya udah, ayo!" Tanpa membuka helm dan buff di wajahku, aku berlari kecil menuju gang yang ditunjuk Gelatik.

Selayaknya maling yang akan membobol sebuah rumah, aku melangkah mengendap menahan suara langkahku agar tak menimbulkan suara. "Yang ini, Ge?" bisikku.

"Iya, Bang. ini pintunya."

Dan benar, samar mulai kudengar, suara-suara lelaki bercakap dengan tawa puas, dan juga suara-suara wanita yang sepertinya ... mereka menangis.

Aku lalu mengambil gerak untuk mengintip ke dalam bangunan pengap itu, melalui sebuah celah kecil di tembok yang langsung terhubung ke dalam ruangan. Dan ....

Astaghfirullah....

Tanpa babibu!

BRAKKK!!

Kutendang keras pintu pasangan itu hingga kedua belahnya terbanting membentur dinding. Sontak! Kelakuanku itu membuat semua makhluk yang ada di dalamnya, melengak terkejut. Tak terkecuali Gelatik. Bocah itu melanting mundur secara refleks karena tersentak.

Sebuah pemandangan menggeramkan. Sekelompok pria dewasa dengan jumlah sekitar lima orang, tengah mengerumi tiga orang gadis yang sepertinya usia mereka masih setara Gelatik, di satu set kursi rotan di ruangan itu.

Gadis-gadis itu dipaksa untuk menenggak minuman berwarna pekat, yang kutebak adalah jenis khamar murahan. Terlihat dari wujudnya yang hanya tertampung dalam plastik bening setengah kiloan. Miris!

Aku tersenyum remeh. "Anak gadis orang kalian cekokin minuman abal-abal kek gitu?! Mereka bisa mampus, hoy!" seruku mencela.

Gue mah tinggal minta Jonas !

Segala jenis minuman berkelas ada di Clubnya... Elaaahhh!

"Siapa lu!" Salah seoarang pria berbadan kekar maju menghampiriku dengan wajah sangarnya.

"Ge, lu ati-ati," ucap pelanku, saat anak itu sudah mengambil posisi di belakangku.

"Iya, Bang."

"Ge!" Salah satu gadis terperanjat memanggil Gelatik. Namun geraknya tertahan karena kedua pria bangkotan itu menahan tubuhnya.

"Chiara!" seru Gelatik membalas.

"Itu temen lu, Ge?"

"Iya, Bang. Dia." Gelatik dengan wajah cemasnya.

"Heyyy! Gue tanya lu siapa?" ulang lelaki kekar itu semakin dekat ke arahku dan Gelatik.

"Kalian gak perlu tau siapa gue." Dengan santai, aku masih berdiri di ambang pintu.

"Mau apa lu ke sini?" tanya lainnya menyusul maju.

"Gue mau tiga cewek itu." Aku mengarahkan wajahku pada tiga orang gadis yang terlihat ketakutan. Namun senyum dari salah satunya terlihat sedikit mengembang menatap ke arah adikku, seolah mendapat harapan.

Adik?

Ya, aku menganggap Gelatik, adikku. Karena tingkah laku konyolnya yang terus merecokiku. Hingga akhirnya memaksaku berperan sebagai kakak baginya. Mau tidak mau!

Padahal siapa anak itu? Entah dari mana pula datangnya.

Oke! Kembali pada scene saat ini.

Terlihat mereka mulai siap dengan gerak serangannya. Dan ....

Wussshhh!!!

Satu tendangan melesat melewati tubuh yang kumiringkan sebagai bentuk elakkan. Tanpa menunggu, kutendang keras bagian pinggang pria legam itu hingga tubuhnya tersungkur membentur tembok dan menimbulkan bunyi berdebam.

Kyaaaa ....

Maju pria lainnya. Kali ini yang bertubuh gempal, dengan tinggi sekitar 155 cm.

Mudah!

BUG!

Kuhantam keras perut buncitnya, lalu kumajukan tubuhku untuk meraih kerah bajunya. Kulayangkan kepalan keras ke wajah dengan pori-pori besar itu, hingga cairan segar menciprat dari mulut busuknya.

Aaarrrhgghh...!!

Erangan kesakitan itu terdengar membahana di ruangan yang nyaris tanpa ventilasi ini.

Berhasil menumbangkan si gempal itu, aku bersiap kembali dengan tinju dan kuda-kuda kokohku. Agak ribet memang! Karena aku tak sempat melepas helm di kepalaku.

Belum sempat argumenku selesai, ketiga sisa orang itu maju bersamaan ke arahku. Dan ....

Dalam sekejap! Suara berdebug, berdebag, bedebam dan sejenisnya, mulai mengudara mengiringi pergelutan sengit kami. Aku tak perduli dengan sekitar. Namun yang kurasakan, bangunan ini mulai dijejali banyak orang yang entah dari mana datangnya.

BRUK!

BRUK!

BRUK!

Ketiga brandal tua itu sudah kubuat ambruk tak berdaya. Dengan kaki masih setengah kuda-kuda, dan kepalan masih di depan dada, aku memoleskan singkat jempol tanganku ke hidung, berlagak sok hebat.

Wkwk!

Selintas kubetulkan benda pelindung di kepalaku yang sedikit miring. Berguna juga ni helm, cengengesku dalam hati. Mengingat berkali-kali mereka mengibas-ngibas lengan kesakitan karena pukulan keras mereka tak mampu menembus kepala dan wajahku dan malah berakhir membogem helm ajaip ini.

Helm!! Aylopyu.

"Rasakan kalian!"

"Kenapa tidak dibunuh saja mereka!"

"Iya, mereka ini sudah lama meresahkan!"

"Gara-gara mereka anakku jadi depresi!"

"Dasar biadab!"

"Matikan saja mereka!"

Ngok!!

Matikan? Dia kata tipi?

Suara-suara cercaan itu ramai kudengar di sekelilingku.

"Tuan, siapapun Anda, kami mengucapkan terima kasih." Salah seorang ibu berbicara menatapku. "Selama ini tidak ada yang berani melawan mereka."

Aku mengernyit keheranan. "Kenapa kalian tidak laporkan mereka ke polisi?"

"Sudah beberapa kali kami lakukan. Tapi setiap ada yang berusaha melapor, pasti orang itu akan celaka keesokan harinya. Atau sesaat setelah melapor ke kantor polisi, mereka akan merusak apa pun yang dimiliki si pelapor. Termasuk menculik anak gadisnya."

"Iya, kami juga diancam. Dan dengan terpaksa mencabut tuntutan yang telah masuk ke meja hijau." Lainnya menimpali.

Separah itu?

Mungkinkah orang-orang ini, hanya berpura-pura dewasa? Aku menggeleng tak habis pikir.

"Lalu dari mana kalian tahu aku ada di sini?" tanyaku ingin tau.

"Dariku, Tuan!" Seorang gadis, maju mendekat ke arahku. "Aku tadi berlari saat ketiga lelaki itu maju untuk menyerang Anda. Dan aku melaporkan ini semua pada warga yang sedang bertugas ronda untuk meminta bantuan," jelasnya.

"Awalnya kami tidak mau datang ke tempat ini, karena tak mau berurusan apa pun dengan mereka. Tapi setelah kami dengar dari gadis ini, bahwa Anda berhasil menumbangkan mereka, akhirnya kami memberanikan diri untuk menyambangi tempat ini."

Kenapa warga-warga yang kulihat cukup cerdas itu, malah terlihat konyol dengan ketakutan mereka?

Bodoh!

Aku menghela nafas berat. Bukan karena kelakuan cemen mereka, melainkan karena beban dari helm juga buff yang menutupi sebagian wajahku. Sesak!

Namun saat aku hendak melepasnya, Gelatik menahan lenganku.

"Jangan, Bang! Bisa bahaya kalo tu para penjahat sampe tau muka lu." Ia berbisik memperingatkan.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Gue rasa anggota bandit-bandit ini bukan cuma mereka. Kalo lu diincer gara-gara jeblosin kelima rekannya ini ke penjara, gimana, Bang?!"

Sejenak aku mencerna omongan Gelatik. Lalu manggut-manggut kemudian. "Lu bener juga, Ge."

"Ya udah tetep pake helm sama buff lu."

Aku mengangguk mengiyakan. "Ya udah, mumpung mereka masih lemah, cepetan kalian bawa mereka ke kantor polisi. Dan minta perlindungan hukum, jaga-jaga kalo sisa dari rekan-rekan penjahat ini ngincer dan celakain kalian," saranku pada para warga itu.

"Iya, Tuan! Terima kasih banyak atas keberanian Anda!"

"Sama-sama." Aku menyunggingkan senyuman yang sama sekali tak bisa mereka lihat. Gak papalah sekali-kali dipanggil Tuan.

"Makasih."

"Eh?"

Aku terperanjat. Seorang gadis tiba-tiba saja memelukku erat. Sampai-sampai aroma harum buah dari rambutnya menusuk penciumanku. "Makasih udah nolongin aku."

"I-iya, sa-sama-sama." Aku melirik Gelatik yang menatapku dengan sorot kesal. Hehe ....

Dan saat gadis itu melepas pelukannya, aku baru menyadari .... "Kamu, temannya Ge', kan?" tanyaku kaku seraya melirik Ge yang terdiam dengan bibir mengerucut.

"Iya," balas gadis itu tersenyum.

Kulayangkan huruf 'V' yang kubentuk dari kedua jariku ke arah Gelatik. Hehehe....

Namun yang kulihat, bocah yang tampannya sebelas dua belas denganku itu, malah membuang muka ke lain arah. Anjimmm!!

"Kakak namanya siapa? Bisa liatin muka Kakak, nggak?" tanya gadis itu lagi.

"Iya, Mas, buka, kami ingin liat wajah penolong kami." Seorang ibu menimpali.

Telak! Sekarang aku jadi mas-mas! Huhuuu ....

"Di buka helm sama buff-nya, Mas?!"

Waduh! Aku mulai kelabakan.

"Chiara, Ibu-Ibu, Bapak-bapak, semua yang ada di sini. Kakak ini masih ada misi kemanusiaan lain yang harus diselesaikannya. Jadi dia harus segera pergi dari sini."

Ha?

Aku melongo wajah menatap Gelatik. Apa katanya? Misi kemanusiaan lain?

"BINTANG PERAK!"

NGOK!

"Ya, dia adalah 'Bintang Perak'. Pahlawan kalian semua, Juga pahlawanku!" Gelatik tersenyum menatapku.

Aku sungguh dibuat terkejut oleh statement bocah tampan adik dadakanku itu. Kumajukan kepalaku mendekat ke arah telinganya. "Lu apa-apaan, Setan?!"

"Hehe .... Udah sono lu cabut, Bang. Gue mau anterin Chiara pulang dulu," balasnya juga dengan bisikan.

"Awas lu!"

"TERIMA KASIH, BINTANG PERAK!!"

Suara teriakkan serempak mereka mengiringi langkahku yang mulai menjauh meninggalkan tempat itu menuju di mana motorku terparkir.

..._...

"Bintang Perak. Lucu juga," gumamku terkekeh, sesaat setelah motorku melaju membelah jalanan di hampir tengah malam ini. Namun juga mengingatkanku pada sosok itu. Sosok yang selalu ku rindukan.

Ibu!

...⛤⛤⛤...

Terpopuler

Comments

Husna

Husna

Bintang memukau berkilau menyilaukan, kayak namanya,,,mantap bang,,

2021-03-03

1

Machan

Machan

helm... lupyuh full face😅😅😅

Ibu ibu, bapak bapak, semua yang ada disini.....

2021-02-28

0

Affandi

Affandi

Mas bintang.. Pahlawan Super

2021-02-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!