Chapter 14

Masih di kediaman Gisna.

Setelah beberapa waktu berada di sini, aku benar baru menyadari, bahwa di rumah ini tak ada sosok wanita lain selain Gisna seorang diri. Benar kata Nenek gombreng itu, Pak Yusuf adalah seorang single dad.

Ternyata Gisna sama seperti aku, sudah tak ber-ibu. Hanya bedanya, ia memiliki ayah yang berperan selayaknya ayah. Tak seperti ayahku.

....

....

Sudahlah, lupakan!

Kuhembuskan nafas beratku, untuk sekedar menepis perih yang selintas berdesir menyapa ulu hatiku.

Tak perlu lagi kujabarkan. Aku ingin pahitku di masa lalu, tetap menjadi legenda berhalang tabir, yang tak siapapun bisa menembusnya, termasuk diriku sendiri. Terlalu sesak!

Terseret waktu, hari kembali menutup tirai di panggung terangnya. Malam menyapa!

Selepas kewajiban isya, di meja makan.

Aku dan Pak Yusuf masih duduk berhadapan usai melakukan sesi wajib pengurukan lambung. Sedangkan Gisna melenggang pergi menuju dapur membawa serta bersamanya piring-piring kotor bekas kami bersantap beberapa menit lalu.

"Jadi bagaimana, Nak Bintang?"

Hh?

"Maksud Bapak?" Aku meletakkan gelas polos yang isiannya baru saja kutandaskan.

"Rencana Nak Bintang perihal hubungan kalian?"

WEW

Haduh ... Ni bapak-bapak gak bisa nyantai bentaran apa, yak? Nasi yang gua makan aja masih dalam perjalanan melintasi lorong si usus.

Sejenak kuhimpun nafas yang lalu kuhembuskan kasar. Sebenarnya aku bingung, bagaimana harus memulai. Sementara Pak Yusuf masih berdiam menunggu jawabanku. Tatapan mata itu ... meskipun tak begitu tajam, namun tetap saja aku merasa terintimidasi.

Bismillah.

"Begini, Pak..." Sejenak kugantung kalimatku. Kemudian mengangkat tundukku menguatkan diri menatapnya. "Jalan perpisahan yang Bapak usulkan sebelumnya ...."

Belum sempat kuteruskan kalimatku, Gisna muncul di hadapan kami dengan menenteng sepiring melon yang sudah irisnya kecil-kecil, lengkap dengan tiga garpu dua ruas jari yang juga berukuran kecil, diletakannya di atas meja di hadapan kami.

Slow motion, ia mendudukkan dirinya di samping Pak Yusuf, menatapku dengan sorot penuh tanya.

"Lanjutkan Nak Bintang!"

"Hh ... i-iya, Pak." Lagi-lagi kutarik nafas yang tiba-tiba saja terasa berat. Kulirik sekilas ke arah Gisna, yang kini menatapku seolah menyiratkan sebuah pengharapan. Hhffftt ... cintaku! "Untuk jalan perpisahan itu, jujur aja itu berat buat saya, Pak," cetusku.

"Saya udah terlanjur merasa nyaman sama Gisna. Saya ..." Ku ambil beberapa jenak untuk menghimpun keberanian. Lalu ... "Saya menyayangi anak Bapak. Saya benar-benar sudah jatuh cinta sama Gisna, Pak," lanjutku apa adanya.

Aku menundukkan kepalaku dalam. Merasa bahwa kalimat itu terlalu frontal untuk takar berhadapan dengan seorang alim seperti beliau. "Maaf."

"Lalu?"

Bujug!

Aku refleks mendongak kembali menatapnya. Abis ini dikubur dah gua! Blum ada yang bisa kulontarkan, selain umpatan-umpatan bodoh dalam hatiku.

Menyangga dagunya dengan kedua sikut menjadi penumpu di atas meja, Pak Yusuf benar-benar tak memberiku celah, bahkan untuk sekedar merangkai kata sekalipun. "Apa yang akan Nak Bintang lakukan untuk mempertahankan yang menurutmu cinta itu?"

*Gussstiii! Semoga jawabanku bisa di*terimanya. "Umm ... tapi ... untuk menikah ... saya rasa, saya juga blum mampu, kalau diharuskan dalam waktu dekat ini," akuku. "Bukan karena saya nggak mau, Pak. Hanya saja, saya belum siap secara lahiriyah. Saya belum ada biaya untuk kelangsungan pernikahan itu sendiri."

"Lalu bathinmu?" cecarnya.

Sedangkan Gisna terus merunduk tanpa mengangkat wajahnya sekilas pun.

"Beberapa waktu belakangan ini, saya melakukan sharing kecil bersama ustadz di mushola kampus, juga beberapa yang memang faham di bidang agama. Dan jawaban mereka nyaris serupa," tuturku panjang kali lebar gak pake tinggi.

"Apa pendapat mereka?"

Kembali kutarik nafasku yang serasa mencekik ini. Hhhuufftt .... "Mereka menyarankan saya, untuk mengambil jalan pernikahan."

Dalam sekejap, wajah penuh intimidasi itu, kini berganti senyuman, seolah ada kepuasan di dalamnya. "Lalu bagaimana dengan kesiapan bathinmu?"

JEDAARR

Untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi kulafalkan basmallah dalam hatiku sebelum menyahuti pertanyaannya. Dan ... "Insya Allah, saya siap, Pak," teguhku akhirnya.

"Alhamdulillah."

Di bening matanya yang kini menatapku, kulihat ada binar bahagia yang seketika membuat hatiku menghangat. Gisna! Wajah itu .... Aku memang harus mempertahankannya, tekadku. Lalu mengalihkan pandangku kembali pada Pak Yusuf. "Tapi tolong, Pak, beri saya waktu untuk berusaha mengumpulkan biaya pernikahan itu."

Pak Yusuf tersenyum ringan. "Tidak perlu! Cukup kamu siapkan dirimu. Bapak yang akan menanggung semuanya. Kita lakukan akad nikah secara sederhana tanpa pesta. Yang penting kalian sah di mata Allah."

DEG!!

"Ma-maksud Bapak?"

"Ya, kalian nikah secara agama saja dulu. Kalau nanti kamu sudah lulus kuliah dan punya pekerjaan, barulah kalian urus pernikahan itu secara hukum," terangnya.

Aku terdiam menanggapi. Dadaku ini ... seperti ada yang memukul-mukul hingga berdentam saling bertabuh. Di satu sisi, aku bahagia, karena mendapatkan angin segar dari bapaknya Gisna itu. Tetapi ... harga diriku sebagai seorang lelaki yang akan mempersunting kekasihnya, benar-benar terasa jatuh, sejatuh-jatuhnya.

Ya Allah ... setidak mampu inikah aku?

....

"Bintang ...."

Suara lembut Gisna tak sedikitpun menggoyah tubuhku yang menunduk dalam gemetar.

"Nak Bintang, maaf jika keputusan Bapak ini menyakitimu. Demi Allah Bapak tidak bermaksud merendahkanmu. Bapak hanya ingin kalian terlepas dari pandangan buruk banyak orang. Gisna ini anak perempuan Bapak satu-satunya, yang pada dasarnya Bapak pun ingin membahagiakannya, membuatkan pesta megah di pernikahannya sama seperti gadis kebanyakan."

Aku sempat mengangkat wajahku menatap Pak Yusuf.

"Tapi apa daya, hanya sebatas ini Allah memberi kemampuan pada Bapak. Jadi Bapak mohon, Bintang, jangan pernah sedikit pun menganggap keputusan Bapak ini adalah sebuah penghinaan buatmu."

Aku menggeleng.

"Tidak Pak, justru aku yang berterimakasih sama Bapak. Karena memudahkan jalanku untuk menghalalkan puteri Bapak di sisiku."

"Lalu apa yang membuatmu bersedih?"

"Uu ... umm ... saya hanya ingat Ibu saya, Pak," kilahku mengalihkan. Masa iya aku harus mengakui bahwa aku sejujurnya memang merasa kerdil karena keputusan itu. Tapi ... tak hanya kilah, aku memang benar-benar merindukan Ibu. Terlebih di masa-masa sulit seperti sekarang ini.

...☆☆☆...

Keesokan paginya.

Aku dan Gisna kini dalam perjalanan kembali ke Ibu kota. Sesuai keinginan Pak Yusuf, aku harus pergi mengunjungi suatu tempat, yang memang seharusnya aku kunjungi.

Selama perjalanan kami hanya saling diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Hingga tanpa terasa, perputaran jarum jam, sudah membawa kami ke tempat itu.

Taksi yang kami tumpangi sudah menghilang tertelan jarak. Untuk beberapa saat aku terdiam. Memaku diri menatap gerbang yang menjulang beberpa meter di hadapanku. Akhirnya, setelah sekian lama, aku kembali menapakan kakiku di bangunan mewah ini.

"Bin, kamu gak papa?" Gisna menepuk sekilas pundakku yang masih bergeming di tempatku. Mataku terjurus lurus menatap sebuah jendela kecil di pojok bawah rumah besar itu, jendela yang selalu menjadi saksi bisu keluh dan kesahku setiap hari pada masa itu. Gudang!

Stop! Kali ini aku tak boleh lemah! Aku sudah dewasa sekarang!

Kupejamkan mataku beberapa saat, lalu kubuka kembali. "Aku gak papa. Ayo masuk," ajakku pada Gisna.

Dengan mantap aku melangkahkan kakiku mendekat ke arah sebidang bangunan kecil tempat si satpam berjaga. "Permisi, Pak!"

Dan tersembullah seorang lelaki dengan kisar usia 35 tahunan. "Cari siapa, Mas?" tanyanya.

Sudah ganti rupanya, ucapku dalam hati. Karena setahuku, dulu saat aku masih tinggal di sini, satpam rumah ini adalah Pak Sadili, pria tua baik hati yang selalu membantuku meringankan segala beban kesulitan, juga menghiburku saat bersedih.

Terbayang wajah sedihnya, saat tubuh remajaku menggendong ransel gendut yang di dalamnya berisi beberapa helai pakaian juga buku-buku pelajaran yang kujejalkan besertanya.

Pak Sadili memelukku sangat erat, manakala kakiku menginjak ujung perbatasan rumah ini untuk terakhir kalinya saat itu. Saat dimana aku keluar meninggalkan hunian neraka ini, teriring segala luka. Sekaligus menyambut kebebasanku.

Dan selain Pak Sadili ....

"Den Bintang!"

Itu dia! Suara itu! Aku mengenal betul suara itu! Kuputar kepalaku ke asal suara. Dan nampaklah sosok tua itu. Sosok yang juga sangat kurindukan selain Ibu. "Mbok Rahma."

"Fandi!" Tolong bukakan cepat gerbangnya!" titah wanita itu pada si satpam.

"Iya, Mbok!"

GREEEGGG

Gerbangpun terbuka lebar.

Wanita gempal itu mendekat tergesa ke arahku. Kemudian menatapku intens. "Ini beneran kamu, Den?" tanyanya seolah tak percaya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

Aku langsung mengangguk cepat. "Iya, Mbok. Ini aku, Bintang!"

"Ya, Allah ...." Tanpa babibu, wanita itu menghambur ke arahku. Memelukku dengan sangat erat! Air matanya tumpah menyeruak seketika. "Aden kemana saja? Mbok kangen kamu, Den."

Sedikit membungkuk tubuh, aku membenamkan kepalaku di balik pundaknya. Kubalas pelukannya tak kalah erat. "Bintang juga kangen Mbok!"

Gisna dan Satpam yang baru kuketahui bernama Fandi itu, menatap kami penuh haru.

"Aden baik-baik saja, kan?" tanya Mbok Rahma seraya terus mengusap punggungku.

"Bintang baik-baik aja, kok, Mbok."

"Alhamdulillah, Gustiii ...."

Dalam rangka saling melepas rindu antara aku dan Mbok Rahma itu, tiba-tiba....

"Siapa itu, Mbok?!"

DEG!

Suara itu ....

Mataku refleks membola. Aku dan Mbok Rahma melepaskan sama-sama pelukan kami. Lalu menoleh pada sosok anggun, yang kini berjalan congkak ke arah kami.

"Nyonya." Begitulah Mbok Rahma menyebutnya.

Ia kian mendekat, terdengar jelas suara hentak yang berasal dari wedges yang dikenakannya. Dan di detik inilah, mata kami saling bertemu tatap.

"Kamu!" Ia dalam kejutnya.

"Nyonya Mustika!"

^^^Bersambung....^^^

Terpopuler

Comments

Husna

Husna

itu pembantu ayahnya si bintang kak potato ya?

2021-03-03

0

🔵🍁⃟𐍹 𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆 ⬪ᷢ♛⃝꙰ ❤

🔵🍁⃟𐍹 𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆 ⬪ᷢ♛⃝꙰ ❤

Enak ya si Bintang nikah yang biaya'in camerr

2021-02-23

0

Machan

Machan

semangat bintang.

2021-02-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!