Di alas sehelai kasur yang sudah meninggalkan glowing-nya, berbantal lengan yang terlipat, aku memandangi langit-langit kamar kost-ku dengan tatapan muram juga perasaan resah.
Sore tadi, ketika mengantarkannya pulang, Agisna, bapak gadis itu membuatku tak mampu mengolah kata. Aku seolah kehilangan jati diriku yang frontal dan juga selengean. Aku merasa kehilangan diriku sendiri.
Lari kemana sikap masa bodoku?!
Dulu, saat berhadapan dengan orang tua pacar-pacarku, aku selalu memasang wajah ceria dengan gaya santai. Cukup mempertahankan sikap sopan, coba ikuti apapun yang dia suka, menyembulkan kelebihan diri. Dan juga ...
Sedikit menjilat!
Maka di beberapa detik kemudian, sebuah lebel bercoretkan "calon mantu idaman" sudah dalam genggamanku. Meskipun aku akan mendapat tamparan super karena mempermainkan anak mereka pada akhirnya.
Tapi sekarang ....
Aaarrrggghhh! Sedikitpun aku tak mampu mengeluarkan jurus-jurus dan kiat jituku!
Aku bangkit mendudukkan tubuhku, kusapukan telapak tangan ke wajahku seraya menghembuskan nafas kasar.
Boleh kuhitung, hubunganku dengan cewek hijab itu baru menjejak angka 46 hari saja. Kedekatan kami memang semakin intens. Tapi kemarin sore, ucapan bapaknya yang kebetulan bertandang menjenguk anak gadisnya itu, membuat pikiranku semakin gamang dan gusar.
Kenapa jadi seruwet ini?
Saat sibuk dengan pikiranku tentang Agisna, suara dering singkat dari ponselku mengalihkan iramaku.
Sebuah pesan chat!
Melochiz, sekarang! Kita hepi2. -Ardhan.
Medengar Melochiz, biasanya aku akan langsung meluncur tanpa babibu. Tapi saat ini ... tempat itu, tak sedikitpun menggugah ekspresi girangku.
Tapi kalau dipikir-pikir ....
"Ah, mending gue mandi trus cabut!" ujarku seraya berdiri laju bergerak menuju kamar mandi. Namun....
BRUK ! TRING !
Sebuah kotak diatas lemari mini yang tak sengaja kusenggol, terjatuh berhambur ke lantai. Kuturunkan tubuhku untuk memunguti barang-barang kecil yang berserak. Seperti gunting kuku, cotton buds, kunci dan lain sebagainya. Namun mataku tersorot pada satu benda yang menggelinding ke pinggir matras tidurku.
Kuambil benda berwarna emas namun bukan emas itu. Kuputar-putar di antara jari tengah, telunjuk dan ibu jariku, karena ukurannya hanya sebesar biji gundu saja.
Sebuah gantelan kunci berbentuk bintang, berbahan dasar perak, hadiah ulang tahun terakhirku yang ke sebelas dari ibuku.
Bermenit-menit kutatap benda itu, sampai melayangkan anganku terbang pada masa-masa itu. Masa dimana aku tersiksa, terpuruk, juga kehilangan. Kehilangannya ... Ibu!
Tanpa terasa, bulir bening hasil kumenyusur kenangan pahit itu, sudah jatuh di masing-masing kedua bola mataku. Sampai akhirnya kepalaku turun membentuk tunduk yang cukup dalam, dengan pundak berguncang. Aku menangis.
Hingga sebuah suara ketukan di pintu membuat irama piluku terpatah. Buru-buru kuusap air mata sialan ini. Kumasukkan bintang perak itu ke dalam kotak penyimpanannya bersama benda lainnya dan menaruhnya kembali ke atas lemari.
Aku lalu menuju pintu yang hanya beberapa langkah saja di depanku.
KLEK!
"Jie."
Lelaki itu mengernyit menatapku. Sepertinya ia cukup menyadari kejanggalan dari wajahku. "Ngapa lu? Lu mewek?"
"Gue?" Aku menunjuk wajahku. "Mewek?" ujarku mencoba menutupi. "Yang bener aja lu!"
"Lu gak ahli jadi pembohong! Muka lu sembab," cetusnya seraya menerobos masuk melewati tubuhku yang masih berdiri di ambang pintu.
"Oh, ini ..." Kuusap sisa basahan bodoh ini dari bawah kantung mataku. "Gue kelilipan tadi. Trus gue bejek. Gini deh hasilnya," kilahku memutar tubuh mengikuti langkah Jibril di depanku.
"Yakin lu? Kok gue gak percaya, ya?" Ia kini sudah merebahkan tubuhnya di mini matrasku. Telapak tangannya membolak-balik sehelai koran yang sudah kucoret-coret tak beraturan.
"Terserah lu dah! Gue mandi dulu, bentar."
"Hmm." Irit ia menyahuti.
Dengan sehelai handuk di pundakku, aku melenggang keluar dari ruangan ini, karena ukurannya yang kecil, jadilah kamar mandinya di setting di luar dan digunakan berjamaah bersama penghuni kost lainnya. Miris!
Singkat cerita!
Tak lama, usai rapi dengan setelan santai yang kukenakan dengan pede di depan Jibril, kusisir rambutku yang mulai gondrong itu asal-asalan seraya menghadap sebilah cermin seukuran layar televisi 14 inch.
"Lu kok pake baju gitu?" Jibril menyapu tatap ke tubuhku yang hanya mengenakan celana pendek katun bersetel kaos oblong, dari atas hingga ke bawah.
Aku mengikuti gerak matanya, merunduk menyapukan pandang melihat penampilanku sendiri. "Emangnya kenapa?" tanyaku polos, lalu mengalihkan tatapku pada Jibril yang mulai bangkit dari posisinya.
"Dih! Emang lu gak mau ikut ke Melochiz?!"
Mendengar nama tempat itu, aku menatapnya sontak. "Ou, iya ya, tadi gue dijapri sama Ardhan." Aku garuk-garuk kepala meskipun tak ada yang menggelikan di sana.
"Trus?"
"Gak tau gue."
Jibril tersenyum kecut. "Gak biasanya lu kayak gini. Jujur sama gue, apa yang udah ganggu pikiran lu?"
Tuh kaan ... makhluk itu emang gak gampang dikibulin, gerutuku dalam hati.
Dia terus menatapku seolah menggali jawaban dari ekspresi wajahku yang kini diam sembari memijit-mijit pangkal hidungku.
Merasa tak punya pilihan, aku pun menurunkan tubuhku, mengambil posisi duduk di atas kasur di sampingnya bersilah kaki.
Kutarik sesaat nafas beratku yang lalu kuhembuskan kasar. "Pikiran gue sekarang emang lagi ruwet, Jie." Aku memulai sesi curhatku. Karena setelah kupikir, sekarang ataupun nanti, pada akhirnya aku pasti akan tetap menceritakan keluhku padanya.
Dia adalah orang yang sedap menjadi wadah curhat untuk setiap kesahku juga temanku yang lainnya.
Satu hal ku beri tahu, di sini dia termasuk jenis lelaki tangguh dan dewasa. Memiliki kepal kuat, pukulan akurat, juga jiwa keparat. Tapi satu hal kelemahannya;
Gak kuat kalo mulut emaknya udah nyiprat. Pasti sekarat, lari pontang-panting takut kena gamprat!
Berat!
Aku geleng-geleng.
Oke, kembali pada curhatku.
"Ruwet kenapa? Bokap lu blom bayarin kuliah? Blom bayar kost? Atau ...."
Aku menyela cepat, "Bukan! Bukan itu, Kampret!"
"Trus ini apa?" Jibril memperlihatkan lembar koran dimana banyak coretan yang kugoreskan pada laman lowongan pekerjaan.
"Itu ... ya, gue cari kerjaan 'lah. Bentar lagi, kan, gue wisuda. Dapet ijazah. Otomatis gue harus cari kerja, kan?" Aku menekankan. "Masa iya, gue terus-terusan naik ojol."
"Lu gak nyoba kerja di kantor bokap lu?"
Aku menggeleng tanpa berpikir. "Gak! Kelar urusan kuliah, gue gak mau ada sangkut paut apapun lagi sama dia. Kalo gue udah dapet kerjaan yang pantes juga gaji yang besar, gue bakal ganti semua yang udah dia keluarin buat biayain pendidikan gue sampai sekarang."
Ku lihat Jibril menarik nafas beratnya. "Moga lu bisa, Bin. Gue cuma bisa bantu do'a," tuturnya prihatin.
"Iyaaaa. Gosah melow juga kalee," ujarku mendelik. "Tapi masalah yang bikin gue gabut sekarang, bukan itu, Jie."
"La, trus apa?!" Ia melipat koran yang sedari tadi digenggamnya.
"Agisna, Jie."
"Haa?" Jibril melongo tersentak. "Cewek baru lu itu?"
Aku mengangguk. "Ho'oh."
"Kenapa sama dia?" tanyanya.
"Bapaknya. Kemarin gue dapet ceramahan gratis dari bapaknya," jawabku sedikit ngegas.
"Ceramah apaan?" Sudut bibirnya sedikit tertarik membentuk kekehan kecil yang mungkin akan meledak sebentar lagi.
"Dia bahas soal larangan pacaran, kebaikan ta'aruf, dan sejenisnya lah! Jadi secara gak langsung, dia mojokin gue! Asem gak tuh!"
"Pppfffttt ... buahahaha!!"
Tuh, kan ... ape gua kata!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
yulianisma
ya ampuuuunnn..knp br nemu skg yah ni crita...kerreeen abiz....dddiuuhh othor..aku padamu...lope..lope...mmmmuuuuaaaccch
2021-06-23
0
Duchess RahmaDika
aku diammmm akuuu ....
2021-02-11
0
Machan
curhatan lu di ketawain kan akhirnya
2021-02-08
0