"Hajaaarrr!!!!"
Demi apapun, teriakan itu malah terdengar seperti kicauan kenari milik tetanggaku. Atau sekumpulan anak lelaki yang sedang bermain menggulung-gulung dan memutar kresek hitam yang dibulat-bulat hingga menyerupai bola, siap dengan permainannya.
Dan ... gepp! Satu tendangan berhasil kugagalkan.
Shit !! Mereka memulai saat aku mencoba mengingat bagaimana cara membuat bola kresek itu. Kugunakan kedua lenganku untuk menahan laju kaki itu lalu berbalik mendorongnya keras, hingga tubuh pria ceking itu tersungkur ke sebuah tumpukkan bebatuan yang berada di belakangnya. Dan ....
DUG!
Benar saja, darah segar sudah tertawa ria di tengah keningnya, yang disentuh lalu ditatapnya dengan ringisan kental. Sepertinya benturan itu akan menjadi bentuk abadi untuknya, menandai hasil permainan sampah malam ini. Melengak sesaat lalu kemudian menelungkup kehilangan kesadarannya.
"Kyaaaa ...!!" Mataku teralih pada pria berikutnya yang berhambur ke arahku. Kupasang kuda-kuda dengan kedua lengan yang kukepalkan membentuk tinju di depan dadaku dan satu lainnya kumajukan lebih ke depan. Lalu ....
BAG BIG BUG !
Hanya dua tiga kali pukulan saja, lelaki bertubuh pendek itu sudah terkapar di atas tanah. Kutepuk-tepuk kedua telapak tanganku seolah baru saja menyentuh butiran pasir.
"Tumben lu lambat?"
Ha?
Kutoleh wajahku ke asal suara.
Jibril!
Si minyak Arab itu sudah bersantai dengan ponsel menyala di tangannya. Tubuhnya tersandar pada tembok dan satu kaki yang juga ditekuknya serupa menyentuh dinding, tersenyum mengejek menatapku. "Sial!" umpatku.
Lalu kualihkan pandang pada tiga begundal Rotal yang tersusun seperti tumpukkan ikan, di hadapannya. "Lu niat bener," kekehku.
"Kalo gak niat bisa kegores kulit mulus gue," jawabnya asal. "Ya udah, cabut yuk. Mami gue ngomel mulu ni," ajaknya yang mulai melangkah kembali menuju arah gang sempit yang semula kami jejaki, seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Oke!" sahutku.
Namun ketika itu tiba-tiba ....
"Mau kemana, kalian??!!!"
Mendengar itu, aku sudah faham. "Jie, mereka lebih banyak," ujarku usai menolehkan sekilas kepalaku ke belakang, yang menampakkan segerombol pria dengan jumlah tak main-main.
Sejenak beradu pandang, lalu kami saling mengangguk menyetujui apa yang harus kami lakukan selanjutnya.
"Satu ... dua ... tiga! Lari ...!!!"
Tanpa babibu, mengayunkan tungkai kaki kami dengan cepat, membentuk kegiatan berlari serampangan tanpa aturan. Jugs tanpa perduli apapun yang kami injak dan kami sentuh, asalkan cepat enyah dari tempat itu.
"Hoooyyy!! Jangan lari, Bangsaadd!!"
"Dih, emang gue maling apa, pake ditreak-treakin segala!" umpatku di sela langkah yang semakin cepat dan berdebug.
"Bin, cepetan!!" Jibril sudah bertengger di atas mogenya yang sudah menyala dan siap pacu.
"Cabut!" Kutepuk keras pundaknya usai berhasil menaiki motornya. Dan ....
BREEEETTTT!!
Melaju bak turbo, meninggalkan gerombolan-gerombolan yang berjejer di tengah jalanan menatap punggungku yang semakin jauh dan kian hilang ditelan jarak.
Dan mulai saat ini kupastikan, akan ada pertempuran-pertempuran selanjutnya yang lebih memanas.
Edisi menuntut balas!
Kali ini kuturunkan egoku. Meninggalkan pertempuran dengan cara pengecut, karena si Minyak Arab kulihat sudah tak tahan untuk segera menyedot susu buatan sang Mami.
Wlooo ....
...••••...
O o o o ...!!
Kalian tebak suara apa itu?
Hmmm....
Anggap saja onomatope suara ayam di pagi buta versi aku.
Dengan handuk yang masih mengalung di leherku, aku berjalan menuju tukang bubur yang biasa mangkal di depan gang.
"Biasa, Bang," ucapku seraya mendudukkan tubuhku di kursi kayu panjang dengan setelan meja yang juga dibuat memanjang saling mengimbangi bentuk dan ukurannya.
"Siap!" sahut si Abang bubur bernama Tarmin itu, dengan senyuman khasnya.
Kuotak-atik ponselku sembari menunggu pesananku. Ujung rambutku yang masih dengan titik-titik air, kuasak dengan handukku. Namun saat asyik memainkan benda pipih dengan type ketinggalan dua zaman itu, seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"Bintang."
Aku menoleh. "Nova."
Dia tersenyum menatapku. Kulihat rok span yang digunakannya sedikit meringsut seiring tubuhnya yang tertekuk duduk di sampingku. Nampaklah paha mulus nan menggoda itu. Sarapan pagi gue bonus satu porsi, kekehku dalam hati.
"Kamu sarapan di sini?" tanyanya basa-basi.
Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan itu. Udah tahu nanya!
"Sendiri?" sambungnya bertanya.
"Iya." Entah kenapa, meskipun dia terbilang cantik dan WOW, tetap saja aku tak bisa mengimbangi sikap sok akrabnya itu, seolah ada sesuatu yang menghalangi gerakku. Padahal dia adalah salah satu mahasiswi poluper yang digandrungi banyak lelaki di kampusku.
Tapi entahlah ... mungkin si Iman masih lebih tangguh dibanding si Imin.
Eh, betewe, ni cewek ngapain pagi-pagi ada di sini? Bajuan kayak gini pula? Hmmm ....
Ah, bodo amat, lah! Tepisku akhirnya.
"Dua porsi ya, Bang. Dibungkus. Satu pedes lengkap, satu gak pake kacang."
Sontak! Suara lembut bak sutera itu berhasil mengalihkan perhatianku saat mulai mengaduk bubur yang baru saja disodorkan Bang Tarmin, juga gelutan pertanyaanku tentang Nova yang tiba-tiba muncul di hadapanku sepagi ini. Dan saat itulah mata kami bertemu. "Gisna," desisku.
Kulihat dia tersenyum ke arahku, namun berdetik kemudian senyuman itu pudar nyaris tak bersisa. Eh, kenapa?
Kuikuti arah pandangnya yang ternyata jatuh pada sosok wanita seksi di sampingku. Sial!
Aku mulai bangkit menghampirinya, tak peduli lagi dengan bubur yang sudah kuobrak-abrik siap lahap. "Pagi," sapaku dengan senyuman terbaikku.
Seperti biasa, dia selalu menundukkan pandangnya setiap kali berhadapan denganku. "Pa- pagi," balasnya kaku.
"Tumben sendiri? Temen kamu yang ndut itu, mana?"
"Ada, di kontrakan."
Berbanding terbalik dengan sikap santaiku, Gisna malah memasang semburat wajah muram tak seperti biasanya.
Wajah itu ...? Kenapa?
Hingga sesaat aku mulai sadar.
Bodoh! Kurutuk diriku sendiri dalam hati. Bukankah jawaban itu sudah jelas. Pasti gara-gara ....
"Bin, bubur kamu mulai dingin ni!"
Damn! Di saat aku baru saja ingin meluncurkan kalimat penenang untuk gadis berhijab di depanku ini, si sekseh Nova malah berseru seperti kuda. Aduh ... bakal keruh ini urusannya, keluhku dalam hati.
Ampun!
"Ini, Neng." Dua porsi bubur yang dikemas dalam satu kantong plastik itu diterimanya dari tangan Bang Tarmin. Menyusul selembar uang dua puluh ribuan sebagai sarana ijab qobul diberikannya pada pria paruh baya itu.
"Assalamu'alaikum."
Haaa?
Dengan wajah tercengang, kutatap tubuh Gisna yang mulai menjauh. "Wa'alaikumsalam," balasku gamang.
"Bin, cewek itu pacar kamu?!"
Ngggg ...
Aku membalik wajahku yang akhirnya mempertemukan tatapku dengan Nova yang sudah berdiri di sampingku. "Iya!" jawabku simple.
Tanpa memperdulikan raut wajah Nova yang berubah masam, akupun kembali menghampiri buburku yang terbengkalai dengan suhu berganti dingin. Biarlah, urusan menjelaskan pada Gisna, nanti kupikirkan. Untuk saat ini perutku lebih membutuhkan tindakan.
...☆☆☆☆...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Cut Ria Maulidia Azhar
sorry baru mampir dan ini novel pertamamu yg sa baca, first impression nya terlalu banyak diksi, jujur cape bacanya, ga to the point. mgkn kedepannya bisa sedikit d perbanyak dialog nya, jgn menolak kritikan para pembaca, novelmu bisa serame ini krna pembaca so jgn mengikuti egomu ya untuk mau menerima kritikan
2024-12-03
1
Cahpati Pati
sebenarny ceritany bagus tp sayang kebayakan kata2 kiasan jadiy kayak baca surat bukan baca novel
2022-01-29
1
Nurcahyani Nurr
Kereeeeennnn..
2021-06-21
1