Chapter 13

Dengan ransel yang kukaitkan di sebelah pundakku, aku turun dari dalam sebuah angkutan perkotaan. Selembar uang sepuluh ribuan kusodorkan ke tangan sang supir tanpa menerima kembalian.

Kini angkot itu sudah melaju dan menjauh dari pandanganku, sejenak aku terdiam mengamati sekitar.

Di sinilah aku sekarang!

Telaga Ngampar, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi.

Sebuah desa yang mungkin suatu saat akan menjadi tempatku mudik saat lebaran.

Ckk! Aku berdecak receh, menanggapi kalimat itu, seulas senyum menggelitik tergaris di bibirku.

Mungkinkah?

Aku mulai memapah langkah memasuki sebuah gang yang mungkin hanya muat untuk satu badan mobil saja.

Menyeret mataku seraya terus berjalan. Memperhatikan satu persatu deretan rumah, sambil sesekali kulihat ponselku untuk mencocokkan alamat yang tertera di panel nomor rumah dan alamat dari sharelock yang kuterima.

Namun karena rumah-rumah di daerah ini lumayan padat, aku cukup kesulitan menemukan alamat rumah yang aku cari.

Kemudian sejurus pandangku menangkap salah seorang wanita tua dengan setelan kaos partai berpadu sarung batik yang dilingkarkannya jauh di atas pinggangnya, tengah sibuk dengan sapu lidi di tangannya, menyapu halaman.

Sekilas kutangkap, rambut yang ditutup oleh kupluk lusuh itu hampir seluruhnya berwarna putih, karena ia memasangnya secara asal dan serampangan. "Misi, Nek, apa Nenek tahu rumahnya Pak Yusuf?" tanyaku.

Kegiatannya sontak terhenti. Ia menegakkan tubuh yang tak tegak seutuhnya itu, seraya menepuk-nepuk bagian atas ujung sapunya. "Rumah siapa, Kasep?"

"Pak Yusuf, Nek."

"Yusuf yang mana, ya? Soalnya nama Yusuf di sini ada tiga, Cep."

"Tiga?" Aku mengacungkan tiga jariku berpulas wajah melongo.

"Iya. Yang satu ngelewatin sungai di pesawahan sana." Ia menunjuk suatu arah. "Yang satu di belakang pabrik di ujung belokan itu." Lalu menunjuk arah lainnya. "Kalo satunya lagi ada deket sini."

"Waduh!" Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Bingung! "Kalo Yusuf yang paling deket sini, orangnya kayak gimana, Nek?"

"Kalo dia orangnya pendiem, tapi baik. Suka bantuin Nenek ngasih pakan soang. Bantuin benerin kandang. Kadang suka anterin Nenek ke ladang nyari jukut."

"Hh." Aku tersenyum kikuk. Ini gue nanya orang, bener apa kagak, sih? Jawabannya sama sekali gak ngasih gue penerangan.

"Dia juga duda. Tapi Nenek ajak nikah gak mau!"

"Eh?!" Ini si Nenek ngapa jadi curhat?

Rasanya tak akan selesai, jika aku terus menanggapi kicaunya. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari narasumber yang lebih waras. "Ya udah, deh, Nek. Aku permisi. Makasih."

"Eh, Kasep! Memangnya ciri-ciri Yusuf yang Kasep cari, seperti apa kira-kira orangnya?"

Sontak kubalik tubuhku yang mulai sedikit menjauh darinya. "Kira-kira bakal nyambung lagi gak ya, ni Nenek, kalo gue jawab?" gumamku, berpikir sejenak. Lalu ... "Ah, gak ada salahnya gua jawab. Sapa tau eling!"

Aku lantas menerawang membayangkan sosok pria yang baru kujumpai satu kali itu. "Orangnya putih, tingginya sekitar segini." Aku menempatkan telapak tangan di leherku. "Dan umurnya kira-kira 50 tahunan, Nek," terangku mendekat kembali ke arahnya.

"Oh, kalo Yusuf itu kayaknya Yusuf tukang angon kebo deh, Cep!" ungkapnya. "Yang tinggalnya di seberang kali, di deket sawah."

"Ha?" Aku terperangah. "Masa iya, sih, Nek? Kayaknya bukan 'deh." Masa iya gembala kebo kulitnya mulus.

"Memang nama isterinya siapa?" tanyanya kembali meminta clue.

Shit! Gue gak tahu lagi nama isterinya siapa! Tapi ... "Ah, iya! Gisna, nama anaknya Gisna, Nek!"

Sejenak ia mencerna. Lalu .... "Oh, Pak Yusuf bapaknya Neng Gisna?"

"Iya, itu, Nek!" Seraya menganggukkan kepalaku cepat. "Jadi rumahnya yang sebelah mana?" tanyaku bersemangat.

"Umm ... tuh."

Wajahku mengikuti arah telunjuknya.

"Itu?!" tanyaku terkejut.

"Iya itu."

"Itu beneran rumahnya Gisna?"

"Iyaaaa ... kalo Pak Yusuf bapaknya Neng Gisna, ya itu. Gak ada lagi. Soalnya dua Yusuf yang lainnya, anaknya laki-laki. Yang tukang angon kebo itu, gila malah!"

Astaghfirullahaladziiimm ...

Ya Allah, Ya Tuhanku ....

Jika saja manusia di depanku ini bukan seoarang nenek tua, sudah kupastikan, akan ku tendang bokongnya hingga menghilang menembus langit. Atau kujewer keras telinganya hingga melebar melebihi Hobbit.

Bagaimana tidak, rumah orang yang kutanyakan ternyata hanya terhalang sebuah pos ronda kecil di belakangku. Aku terdiam memaku diri. Menikmati kenyataan yang seolah mempermainkanku melalui mulut sowak nenek gombreng di hadapanku ini.

Rawrrr .... Ingin sekali kucabik wajah keriputnya sampai nyengled!

Sakitnya tu dimari, Gaeesss....

"Bintang!"

NAH!

Suara itu ... aku sangat mengenalinya!

Di tengah huru-hara perasaanku karena dipermainkan si nenek sapu, ada gelenyaran hangat menggantikannya. Aku membalik tubuhku menyambut asal suara. Dan ... "Gisna."

Seketika! Meskipun tanpa taburan baking powder, senyumku mengembang dengan sempurna manakala pemilik wajah teduh itu, kini berjalan mendekat ke arahku. "Kamu udah sampe?"

Aku mengangguk lemah. "Ho'oh."

Lalu menoleh malas ke arah si nenek yang masih berdiri menatapku. "Kasep," ucapnya cengar-cengir tanpa dosa.

FUCKKK!

"Kenapa?" tanya Gisna.

Aku sontak menoleh. "Apanya yang kenapa?" Aku balik bertanya.

"Sama Uak?" Gisna melirik sekilas ke arah si Nenek sapu dengan senyum tertahan. "Kok kamu kayak jengkel gitu sih, sama dia?"

"Kamu mau ajak aku masuk, gak?" sahutku tanpa menggubris keingin tahuannya. "Aku cape banget, nih!"

"Oh, iya. Ya ampun! Astaghfirullah!" Gisna kelabakan mengingat keadaanku yang baru saja tiba. "Ayo!"

Aku mengangguk. Namun sejenak menyempatkan diri mendekati si Nenek. "Nek, makasih ya, udah nunjukin rumah pak Yusuf sama aku. Tapi bukan Yusuf tukang angon kebo, yang gelo itu, Nek! Nenek tereliminasi. Telak!" seruku masih dalam keadaan dongkol. Lalu mulai melangkah mengikuti Gisna yang sudah berjalan lebih dulu ke arah rumahnya.

Beberapa menit berselang.

"Di minum dulu." Gisna meletakkan secangkir teh manis anyep ke hadapanku ditemani setoples biskuit yang mengapit krim putih di tengahnya, di atas meja kerang dihadapanku. "Ada apa tadi kamu sama Uak?" tanyanya memulai.

"Uak?"

"Iya, Nenek yang tadi di depan."

"Oh, Nenek sengklek itu?!"

Gisna mengernyit. Dan aku cukup mengerti. Lalu mulai kujelaskan pengalaman percakapanku dengan si Nenek sableng itu tadi pada Gisna. Alhasil ....

"Hahaha ...!!"

Sumpah demi apapun, baru kali ini, aku melihat pujaan hatiku ini tergelak keras. Sangat cantik!

Dalam irama kagum, saat asyik menatapnya ....

"Eh, maaf." Gisna menutup mulut dengan ekspresi kikuk menyadari aku yang tak lepas memperhatikannya. "Sok di minum tehnya," ucapnya mengalihkan kecanggungan.

"Makasih." Aku tersenyum. Kenapa udahan, sih, ketawanya? sesalku dalam hati. "Bapak mana?" tanyaku, seraya mengedar wajah seolah mencari.

"Masih di kumbung."

"Kumbung?" Kirain di Jonggol. Aku mengernyit wajah menahan kekehan di bibirku. "Apa itu?"

Ia mendudukkan tubuhnya dengan malu di sofa bersebrangan denganku. "Rumah budidaya jamur tiram," ungkapnya.

"Ouh. Bapak kerja di sana?" tanyaku lagi.

"Iya. Usaha keluarga," jawabnya.

Aku manggut-manggut menanggapi.

Hoaaammm .... Aku menutup mulutku yang melebar seperti moncong kudanil itu. Mengusap singkat mataku yang berair karena efek menguap yang berulang.

"Kamu ngantuk?" tanya Gisna menatap kelakuanku.

"Iya," jawabku jujur.

"Ya, udah, kamu istirahat dulu aja, di kamar adekku."

"Adek? Kamu punya adek?" tanyaku karena baru mengetahui kenyataan itu.

Dan Gisna pun mengangguk. "Iya, dia laki-laki. Namanya Agas, masih 17 tahunan. Tapi dia gak di sini. Mondok di Sukabumi," bebernya tersenyum.

"Oh, aku baru tahu."

"Ya, udah. Ayo aku anterin ke kamarnya, biar kamu bisa istirahat di sana."

"Gak papa emang? Nanti kalo Bapak datang gimana?"

"Gak papa. Bapak gak bakal nelen kamu, kok."

Aku terkekeh kecil. "Kamu bisa becanda juga ternyata." Seraya mengikutinya menuju sebuah ruangan.

"Ini kamarnya. Masuk aja."

"Beneran gak papa, nih?" ulangku tak enak.

"Loh, emang kenapa, sih?!"

"Gak papa. Gak enak aja."

"Gak usah gitu. Sono istirahat. Aku mau masak."

Aku tersenyum menatapnya. "Masak yang enak, ya!"

Dengan rona merah dan malu-malu, Gisna mengangguk, kemudian melenggang meninggalkanku.

Sangat sempurna!

Aku tersenyum sebelumnya akhirnya menutup pintu dan menghempaskan tubuh lelahku ke ranjang empuk milik adiknya Gisna itu.

Terpopuler

Comments

Alexza Sri

Alexza Sri

makasih bintang udah mengembalikan senyum ku😁😁😁

2021-07-09

0

Rafa Sebastian

Rafa Sebastian

harus siapin baju batik tangan panjang...gw mau nganter peresmian si Bintang

2021-05-04

0

🔵🍁⃟𐍹 𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆 ⬪ᷢ♛⃝꙰ ❤

🔵🍁⃟𐍹 𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆 ⬪ᷢ♛⃝꙰ ❤

tau Cikarang juga tehh???

2021-02-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!