Manakala segores luka terukir,
di detik itu pula desiran sakit menyapa.
Aku mengerti!
Sepanjang perjalanan, dari mula menaiki angkutan umum, berjalan memasuki gang, hingga bangunan panjang bersekat-sekat itu mulai terlihat, kami hanya diam. Aku belum bisa mengajaknya bicara.
Oh, Gisna!
Secuil kata yang mungkin dianggap tabu, tapi aku harus tetap mengatakannya. Muramnya tak bisa kubiarkan berlanjut. "Maaf."
Dia menghentikan gerak langkahnya, lalu dengan perlahan membalik badan menghadapku. "Kenapa minta maaf?"
Jenis pertanyaan macam apa itu?
Kuhela nafas beratku, lalu berkata, "Hari ini kamu tersakiti gara-gara aku."
Mengusap buliran bening di sudut matanya, ia lantas tersenyum. Sepulas senyuman miris yang jelas hanyalah bentuk kepura-puraan. "Aku gak papa, kok." Getar dari nada bicaranya itu, lagi dan lagi membuat hatiku mencelos perih. Maafin aku, Sayang, sesalku.
Aku sudah membayangkan kemungkinan semacam ini sebelumnya. Tapi ini memang harus kami hadapi. Setidaknya satu gumpalan benang sudah kami urai, meskipun hasilnya tak semulus yang diharapkan.
Biarlah!
"Kamu jangan pikirin apa pun soal perkataan wanita itu, ya," pintaku, seraya merapikan bagian depan hijabnya yang meringsut disentuh angin. "Yang penting gimana aku sama kamu. Ini tentang kita, bukan tentang siapa pun. Aku bakal terus berjuang buat kamu," tuturku lembut meyakinkannya.
Sejenak ia memandang wajahku, memainkan bola matanya meliuk kesana dan kemari, mengabsen setiap detail paras tampanku. Hingga berdetik kemudian, sepulas senyum tersungging menyabit manis di bibirnya. "Aku akan bantu berjuang."
Blussssshhh ....
Hatiku seketika menyejuk. Ucapan itu seperti sebatang coklat yang meleleh lumer di lidahku. Halus ... lembut ... menenangkan!
"Makasih," ucapku kemudian. "Kita perjuangin ini sama-sama."
Iapun mengangguk seraya mengusap jatuhan bening kesekian bulir, di kedua pipinya.
"Ya udah, kamu masuk, gih," pintaku mengarahkan wajah ke arah pintu yang tertutup.
"Iya," sahutnya. "Kamu ju--"
"Gisna!!!"
Aku yang masih belum beranjak sontak menoleh ke belakang, tak terkecuali Gisna.
"Fafa."
"Kamu balik lagi ke sini?!" tanya si Gembul itu sumringah. "Aku kira kamu bakal netep di Cikarang!" Seraya bergelayut manja di lengan Gisna.
"Nggak, Fa. Aku 'kan, masih ada kewajiban ngajar di sini. Aku pulang ada keperluan aja," terang Gisna menanggapi.
"Oh, gitu. Bagus, deh! Aku jadi gak kesepian lagi." Dengan senyuman senangnya.
"Aku 'kan, dikampung baru dua hari, Fa."
"Tetep aja sepi." Fafa menyanggakan kepalanya di pundak Gisna. Terlihat pipi tembamnya terlipat karena tekanan. Sangat lucu sekali. Lagi-lagi aku ingin menjembelnya hingga memerah dan kesakitan. Berujung bibir yuppy itu berkomat-kamit termonyong-monyong menyemburkan marah yang malah terlihat konyol.
Satu telapak tanganku menggenggam tali ransel di depan dadaku, dan satu lainnya kuselipkan ke saku celana. Menatap kedua wanita hijab itu dengan senyuman geli. "Fa, gue titip Gisna, ya."
Sontak ia mengangkat kepalanya lalu melotot ke arahku. "Aku baru nyadar kamu di sini, Bin."
Aku menajamkan mataku menatapnya. "Suek lu! Gue tamvan besinar begini, Kampret! Mata lu siwer!"
"Yeee ... orang emang gak kliatan!" kilahnya mendelik.
"Lu beneran mau gue uyel-uyel ya, muka lu?" Aku sedikit memajukan tubuhku seolah mengancam si Gembil itu.
"No!" Fafa menjembreng kedua telapak tangannya ke depan dada sebagai tameng.
Aku mulai tersenyum jahil. "Atau mau gue comblangin sama Kenma, hmm? Mau gak? Gue bisa looohh ...," godaku.
Ia sontak membelalak terkejut. Mungkin dalam hatinya; Kok Bintang tau, sih, kalo aku suka Kenma? Hehe, aku sudah seperti cenayang saja! Kekehku. Wajah tomat matengnya itu terlihat jelas, ia sangat tak nyaman dengan topik bicaraku. "Gimana, mau gak?" ulangku bertanya. "Kenma itu Jomblo bekarat. Lu bisa jadi cewek pertamanya kalu lu mau?"
Wajah tomat Fafa semakin memerah. Ia melirik kaku ke arah Gisna yang menatapnya tersenyum-senyum. "Gak mau!" serunya kemudian, lalu membalik tubuh melanting masuk ke dalam rumah kontrakannya. Tubuh gempalnya bergoyang-goyang seperti agar-agar yang baru setengah padat.
Gisna hanya geleng-geleng dengan kekehan kecil menanggapi tingkah sahabatnya itu.
"Ya udah, kamu istirahat, gih," pintanya padaku.
Aku menatapnya, lalu mengangguk masih dengan sisa kekehan di bibirku. "Ya udah. Aku balik, ya. Kamu jangan sedih lagi. Sampein salam pamitku sama Fafa."
Masih dengan senyumnya. "Pasti."
...☆☆☆☆...
19.30 - Base Camp Gaijin
Usai memarkirkan motor kerenku, aku masuk ke tempat itu tanpa mengetuk pintu.
Untuk apa? Pintu sudah tersibak dengan sangat lebar, mempersilahkanku melewatinya.
"Jagoan dateng, nih!" Ardhan, seraya menerima tos dariku dengan tepukan semangat. "Kemana aja, lu?" tanyanya.
"Gue abis berenang di Curug Bidadari."
"Bjimm! Lagak lu! Gol kagak 'tuh?!" Kali ini suara Buyung. Ia masih asyik dengan kuas, cat dan kanvasnya. Entah apa yang akan dilukisnya kali ini.
Aku sudah menghempaskan tubuhku menelungkup di atas matras di satu sisi ruangan. Dari baunya, sepertinya matras dan bantal ini masih baru. Selain itu ukurannyapun jauh lebih besar dari matras yang telah dirusak anak-anak Rotal sialan itu.
"Siapa yang beli, nih?" tanyaku seraya menepuk-nepuk bantal kembung di bawah kepalaku.
"Jonas," sahut Ardhan tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel digenggamannya.
"Oh, pantesan. Beda!"
GRUUUNNG! JEP!
Aku mengenali suara mesin motor itu.
"Keparat dateng, tuh!" kicauku.
Dan ....
"Pagi, Bro!"
Tuh, kan, bener.... Selalu gila kapan pun!
"Siang," sahut Buyung tak kalah pe'ak.
Jibril, mengedar telapak tangannya, menyalami kami satu persatu dengan tos keren ala-ala kami seperti biasa.
"Ngapa lu telungkup bae?" tanyanya ikut mendudukkan tubuhnya dengan punggung tersandar ke dinding di sampingku.
"Cape banget gue hari ini."
"Abis ngapain?" tanyanya.
"Abis ngembala kebo," sahut asalku.
Jibril terkekeh. "Suruh bapak camer lu, yak?"
"Hooh," balasku malas. "Kenma mana?"
"Depan sama Mang Adul."
"Ngapain?"
"Maen bepe-bepean." Ardhan mengambil jawaban.
"Maen masak-masakan!" Buyung menimpali.
"Banyak banget yak, kegiatannya tu anak," ujarku membalik tubuh lalu bersender di samping Jibril.
"Dia 'kan--"
"Hola-hola, eperibadeh!"
"Muncul tu Setan Alas." Ardhan dengan ekor mata mengikuti gerak Kenma yang langsung mendaratkan bokongnya di kursi kayu di sebelahnya.
Terlihat telapak tangan Kenma sibuk membuka kantong plastik yang dibawanya.
"Paan tuh, Ken?" tanyaku.
"Sini lu, kalo mau," sahut cowok rambut jagung itu tanpa menoleh.
Dan aku pun bangkit menghampirinya. "Bujug! Abis rampok gorengan dari mana, lu?!" tanya kagetku sembari mendudukkan tubuh di kursi kosong di sebelahnya, melihat puluhan gorengan berbagai jenis berserak beralas koran di atas meja di depan kami.
"Dari Mang Adul." Segenggam cabai ditabur Kenma di atas makanan berminyak itu. "Makan dah, tu! Mumpung masih panas."
"Enak, nih." Aku menyabit secepol bakwan wortel yang di bentuk membulat, menyisipkan satu buah cabai rawit tua ke dalamnya, sebelum akhirnya kulahap hanya dengan satu kunyahan. Karena ukurannya yang hanya seperempat kepalan tanganku.
"Dih! Laper lu?!" cebik Kenma.
"Iya, gue bokek. Duit gue abis buat ongkos pulang pergi Jakarta-Bekasi. Blum lagi rokok," beberku jujur.
"Miris banget idup lu!" cibir Ardhan. "Emang abis ngapain lu ke Bekasi?" tanyanya menyempatkan diri menatapku.
"Nemuin camer 'lah, Dhan!" Jibril bangkit dari tempat pavoritnya, lalu melangkah menghampiri kami. Membungkuk sesaat untuk menyambar satu buah pisang goreng mini yang langsung dijejalkannya ke mulut.
Ia mendekati Buyung yang khusyuk dalam kegiatannya. "Gambar ape, sih, lu?!" tanyanya dengan satu tepukan di pundak pria kurus berkacamata itu, lalu menarik satu bangku untuk didudukinya di samping si pelukis.
"Gambar cewek pujaan gue," sahut Buyung datar.
"Sape?"
"Itu tuh, Jie, cewek ampeg, temennya pacarnya Bintang." Kekehan Ardhan mengiringi jawaban rampokannya.
Aku terperanjat. "Serius lu?!" Dan Ardhan pun mengangguk berpoles senyuman geli.
"Hooh, kayaknya, Bin. Soalnya pipi mbulnya ude kebentuk ni. Kayak bakpau!" Jibril menunjuk bagian dari lukisan Buyung.
Karena penasaran, aku melangkah untuk melihat sendiri lukisan itu. Menelisik sketsa wajah di kanvas hasil coretan Buyung tersebut. Dan ...u "Iya, bener, Jie," seruku. "Yung, lu beneran suka Fafa?"
Buyung tersenyum melirik sekilas ke arahku. "Emang napa kalo gue suka dia? Dia lucu, cantik. Apalagi pipi gembulnya," tuturnya memandang lukisannya, lalu mendongak ke arahku dengan tatapan berubah heran. "Napa? Lu kayak gak pro gitu, sih, Bin?"
Aku mengerjap, menyadari tatapan intimidasi Buyung terhadapku. "Eh, gak gitu, Yung," kilahku. "Gue cuma kaget aja. Secara lu 'kan, baru ketemu dia sekilas doang. Udah nyantol aja, lu!"
"Namanya juga cinta, Bin. Modelan elu juga tuh! Biasa nggaet cewek sekseh, tiba-tiba macarin cewek gamisan!" Kenma mencibirku.
Aku lantas menatapnya yang mulai asyik dengan game MOBA di tangannya, beberapa jenak. Cinta celana dalem ni, urusannya, kicauku dalam hati. Seketika senyuman lucu menggelitik hatiku. Buyung suka Fafa, Fafa suka Kenma, dan Kenma ....
Mungkin dia suka aku! Makanya masih Mbloh ampe hari gini.
Ngueheheheh ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Azhar Desky
kgiv kc
2022-05-17
1
Husna
Kak pampir kesemsem banget kyknya sama kk kenma,,
2021-03-03
0
KOwKen
fafa menderita yah..
2021-02-26
0