Hampir tengah malam. Udara cukup menusuk. Mencubit pori-pori kulit tubuhku yang hanya berkaos oblong. Kuselipkan kedua telapak tanganku kedalam saku celana jeans yang belum sempat kuganti sepulang dari Club satu jam yang lalu.
Aku menyusur pinggiran jalan raya menuju sebuah gerai pecel lele yang terletak sekitar 200 meter dari gang kost-anku, dengan berjalan kaki. Karena motorku sudah kumasukkan ke garasi yang sudah dikunci oleh pemilik Kost.
"Tumben banget dingin," gumamku sembari terus memapah langkah. Semakin dekat ....
Dari kejauhan, kulihat beberapa motor terparkir disamping gerai. "Wah, rame tu kayaknya. Alamat ngantri ini mah," gerutuku.
Dan sesampainya ....
Benar saja! Saat kujejakkan kakiku memasuki gerai yang hanya tertutup spanduk-spanduk lusuh bergambar ikan berkumis juga beberapa jenis unggas sekelilingnya itu, semua bangku sudah terisi penuh oleh para laparistic.
Tumben, asal darimana orang-orang ini? Hatiku bertanya konyol.
"Nasi ayam bakar, dibungkus dua, Mang. Yang pedes," pesanku pada si Kang Jaga.
"Siap! Di tunggu saja, Mas," sahut Mamang penjual dengan logat medoknya.
Dalam tema menunggu, aku mendudukkan tubuhku di salah satu bangku kosong di sudut paling sisi dari depan. Aku mulai iseng menghitar pandang, yang kemudian ....
Owwuaw!
Hampir semua pasang mata yang mengisi setiap bangku itu tertuju ke arahku. Terlebih para wanita.
Dan aku mulai menghitung. Satu ... dua ... ti--
"Alamaaak ... ganteng banget, sih!"
"Bentang pelem mungkin, yak?"
"Mirip Bright!"
"Aku mau! Aku mau!" Dengan menempelkan kedua telapak tangannya ke pipi, seorang gadis yang duduk di kursi paling belakang memandangku gemas.
Tuh kaaannn ....
Aku menyembunyikan senyum geliku ke lain arah. Suara desisan-desisan kagum para wanita itu membuatku ingin tertawa keras. Sebenarnya lakon seperti ini sudah sangat biasa. Tapi malam ini kegelianku menanjak ke level puncak.
Bagaimana tidak, mereka menatapku penuh damba seraya melontarkan pujian kagum atas ketampananku, sementara di samping mereka para lelaki yang mungkin adalah pasangannya, memberengut cemberut. Bahkan ada dari mereka yang langsung bertengkar dengan suara-suara pelan.
Ahaha ... nasip jadi orang ganteng, kekehan pedeku dalam hati. Apalagi jika ditambah Jibril, Kenma, Jonas dan lainnya, aku jamin, mereka akan langsung ayan dengan mulut berbusa saat itu juga. Wkwkwk!
"Ini, Mas."
"Ya." Sontak aku melengak, keluar dari bayangan boiben dalam otakku. Aku menyerahkan selembar uang pecahan lima puluh ribuan pada si Penjual, usai menerima kantong plastik berisi dua bungkus nasi ayam yang tadi kupesan.
"Ini kembaliannya, Mas."
"Makasih, Mang!" Seraya memasukkan uang yang sudah terpecah menjadi dua lembar sepuluh ribuan itu kedalam saku celanaku.
Aku kembali tertawa geli, saat aku menyadari sesuatu. Ya, panggilan antara aku dan lelaki penjual nasi itu. Hmm, sangat tidak sinkron! Hehe ....
"Gue manggil dia Mamang, dia manggil gue Mas. Di sini sebenernya siapa yang Sunda siapa yang Jawa, sih?" kekehku seorang diri saat mulai menjauh dari gerai itu.
Ya, aku adalah pemuda keturunan Sunda, karena ibuku asli Sukabumi.
Aku melanjutkan langkah menuju pulang. Suasana kulihat semakin sepi di beberapa menit menjejak tengah malam ini.
Namun ketika kakiku bertapak di beberapa ratus meter mendekati gang, mataku tertuju pada sebuah pemandangan menggemaskan di seberang jalan yang kulalui.
Di sana nampak dua orang lelaki tengah sibuk dengan kegiatannya bersama seorang wanita. Aku memandanginya beberapa jenak. Memastikan bahwa itu adalah kegiatan sewajarnya.
Namun semakin kuperhatikan, suara wanita itu semakin mengganggu telingaku. Aku menyebrang jalan mendekat ke arah mereka. Kulihat salah satu lelaki itu masuk ke dalam mobil di hadapannya dan bertengger di balik kemudi. "Ayo!" ajaknya berteriak.
Dan lelaki satunya lagi ....
BAM!
"Arrgghh!!" pekiknya.
Aku menendang pinggul pria ceking itu dari samping dengan cukup keras, yang sontak membuat cekalannya pada wanita itu terlepas. Ia limbung lalu tersungkur menimpa body mobil di depanya.
Sedangkan wanita muda berbusana dayak itu beringsut menjauh memeluk tubuhnya sendiri, ketakutan.
"Siapa lo? Berani-beraninya ikut campur urusan kami?!" Pria berambut plontos tersembul dari dalam mobil. Dan kini mereka berdua sudah berdiri berdampingan selayaknya Upil dan Ipul, tokoh game orok yang selalu aku mainkan bersama Jibril.
"Gue?"Aku dengan senyum remehku. "Nih, abis beli nasi ayam," jawabku sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaannya. Kuangkat kantong berisi dua bungkus nasi itu ke hadapan mereka yang lantas kuturunkan kembali. "Tapi sayang, gue cuma beli dua bungkus aja. Kalo gue kasih kalian, adek gue di rumah gak makan dong!" kelakarku berlagak menyayangkan.
"Diem lu, Bocah ingusan!"
Aku mendelik. "Gue bocah yang udah pinter bikin anak."
Lalu ....
GEP!
Dengan sebelah telapak tangan, kutahan laju tendangan pria ceking itu, ku
tarik ulur tungkai kakinya hingga ia berlonjak-lonjak limbung bertopang hanya pada satu kaki lainnya. "Lepasin kaki gue!" teriaknya.
Wuzzz ....
Satu tonjokkan pria plontos meleset jauh melewati wajahku, karena elakanku lebih cepat dari pukulannya. Dengan masih menenteng kantong nasi bungkusku, aku mengaitkan lengan si Dagul pada kaki si Ceking. Kuputar-putar keduanya lalu ku dorong kuat ke tengah aspal yang terbentang membalut jalanan.
Belum puas, mereka bangkit dari posisi koyolnya. Berdiri menatap tajam ke arahku yang bersandar santai ke badan mobil, sambil asyik memainkan jari kelingking, mengoprek lubang hidungku.
Namun sepertinya ada yang berbeda dari kedua brandal tua itu. Dua bilah senjata tajam terlihat digenggam masing-masing satu di telapak tangan mereka. Dan....
KYAAA !!!
Nguing ... nguing ... nguing!
"Polisi! Polisi!" Keduanya mulai kelabakan, manakala mendengar suara sirine mobil aparat keamanan yang semakin mendekat. "Ayo kabur!"
"Kabur! Kabur yang jauh lu sono!" Aku dengan tawaku.
Kemudian kulihat sebuah mobil dengan kerlap-kerlip merah dan biru yang berasal dari bagian atasnya itu, terhenti di depanku. Dan turunlah tiga orang lelaki tegap berseragam polisi bergerak menghampiriku.
"Angkat tangan! Jangan bergerak! Anda kami tangkap!"
Lololo!!! Ngapa jadi gua?
Aku tersentak warbyasah, lalu dengan refleks mengangkat kedua tanganku yang salah satunya masih mengait kantong berisi obat penangkal lambungku yang semakin berteriak frustasi. Hohooo .... Apa-apaan ini?
Tiga buah senjata api sudah tertodong lurus ke arahku. Namun wajah terperangahku mulai melurus ketika aku sadar, bahwa polisi-polisi ini pasti sedang salah faham.
Ah, kadang-kadang memang!
Mataku mendelik seraya menurunkan perlahan kedua lenganku yang melayang di udara lalu maju dengan santai ke arah ketiga aparat itu.
"Tetap di tempat! Atau kami tembak!"
Ou, syereeeuummm....
"Stop, Pak! Bukan dia penjahatnya. Justru lelaki ini yang sudah menolong saya."
Aku sontak menoleh ke asal suara. "Ya elaahh, dari tadi, kek." Aku menatapnya malas. "Dari mana aja lu, Nyonya Dayak?"
"Nyonya Dayak?" Ia melotot tak terima.
"Iya! Kalo bukan dayak, yang pake baju separo-separo gitu, apalagi?!"
"Kamu--"
"Jadi Nona yang tadi menghubungi kami?" Salah satu aparat polisi bertanya dan memungkas kalimat wanita itu. Jadilah lengan yang akan dilayangkannya kepadaku hanya mengambang. "Gagal nampol," ejekku.
"I-iya, Pak, saya." Sambil menyilangkan kedua lengannya di depan perutnya yang melongo. Sesekali matanya terpicing menatapku kesal.
"Benar laki-laki ini yang sudah menolong Anda?" lanjut Pak Polisi.
"Benar, Pak."
"Lalu begalnya mana?"
"Noh, pada ngibrit ke kebon, loncatin pager pembatas." Aku menunjuk santai ke arah belakang.
"Mereka melarikan diri."
"Terima kasih atas bantuan Anda."
Aku mengangguk tipis. "Sama-sama, Pak."
"Nona kami akan menghubungi Anda nanti untuk dimintai keterangan perihal pembegalan mobil ini."
"Bukan cuma begal mobil, Pak, mereka juga mau ngelahap Nyonya Dayak ini kayaknya," tambahku menyela.
"Kamu!! Dasar gila!" hardik wanita itu semakin kesal menanggapiku.
"Baiklah. Segera akan kami tindak. Nona pulanglah. Kami akan mengejar mereka sampai dapat."
"Silahkan, Pak. Terima kasih."
"Kami permisi."
Aku menatap mobil bersirine yang semakin mengecil itu hingga menghilang. Lalu mulai melangkah meninggalkan wanita itu tanpa menoleh.
"Hey! Kamu mau kemana?!" teriaknya seraya menarik lenganku.
"Balik, lah! Nasi gue mulai dingin nih, gara-gara lu! Perut gue juga udah teriak-teriak dari tadi. Lu juga balik sono!"
"Kamu gak kenal aku?"
Aku membalik tubuhku menatapnya. "Emang siapa lu?"
"Aku Seul Ye."
"Ha?" Aku melongo aneh. "Makhluk apaan, tuh?"
"Iihhh!!" Dia memukul lenganku. "Itu nama panggungku. Aku 'tu terkenal di tivi, di sosmed, di mana-mana, deh!"
"Nama panggung? Terkenal?" Aku seolah berpikir. "Tapi kok gua gak peduli, ya?"
"Ihh! Aku ini artis, penyanyi, pemain film, bintang iklan semua jagad hiburan aku kuasai!" serunya ngegas berpulas congkak yang malah terlihat konyol.
"Termasuk jadi badut keliling?" ledekku.
"Nggak kayak gitu, hoy! Ini tu aku abis syuting film!"
"Nah tu baju lu kayak Sarimin!"
Ia memberengut. "Siapa lagi sarimin?"
"Itu ... tokoh hiburan, yang suka keliling kampung. Naik motor ninja atau pake sepeda roda satu, pake helm, trus pake payung. Ada musik tabuh pengiringnya lagi. Keren, kan, dia?!"
Ia mencerna beberapa jenak. Lalu ....
"Kamuuuuu ...!!"
"Lariiiiiii ...!!"
...☆☆☆☆...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
dyz_be
😂😂😂😂😂
2022-09-03
2
Rafa Sebastian
sial...gw jadi keterusan baca....si thor bilang asli Sukabumi mothernya...sama dong wxwx
2021-05-04
1
Affandi
Anjay Shintaaa🤭🤭🤭
2021-02-13
1