Chapter 8

MELOCHIZ

Suara musik hingar bingar berdentam memekakkan telinga, di seantero ruangan yang temaram. Piringan hitam yang dimainkan seorang gadis DJ mengiringi muda-mudi yang berjingkrak di bawah stage-nya.

Tubuh dengan balutan yukensi berpadu celana jeans yang panjangnya hanya sejengkal orang dewasa itu, terus meliuk sambil sesekali mengotak-atik turntable di hadapannya. Mengganti lagu, memperlambat tempo, ataupun mengubah pitch.

Kerlap-kerlip lampu diskotek yang berputar menambah suasana syarat dosa itu semakin panas menghujani makhluk-makhluk yang berjoged di bawahnya.

Aku berjalan di belakang Jibril menaiki tangga menuju salah satu ruangan yang sudah biasa kami singgahi saat berada di sini.

Melewati ular-ular yang berkeliaran dengan pakaian yang hanya menginterupsi bagian-bagian intimnya. Sisanya, mereka biarkan ter-ekspos begitu saja. Sudah sangat biasa!

Aku menoleh terkejut ke samping kiriku, ketika seorang wanita tiba-tiba menggelayut manja di pundakku.

Tentu saja langsung kutepis. "Maaf, gue udah pesen yang lebih hot!" kelakarku yang kemudian menghasilkan delikan sebal di wajah wanita itu.

"Sombong!" ujarnya seraya membalik tubuh meninggalkanku.

Sumpah! Gua gak butuh servisan lu ! Hatiku berseru.

Kuhembuskan nafas kasarku, saat kutatap sekilas gerak punggung si Lebah Malam yang kini mulai menjauh menembus keramaian.

Berdetik kemudian ....

"Dateng juga lu berdua!" Kenma, si tuyul gasrak itu sudah duduk bersantai di tempat duduk paling sudut dengan segelas cairan berwarna merah digenggamnya.

"Minuman apaan tu?!" Jibril bertanya seraya mendudukkan tubuhnya di samping lelaki berambut jagung itu.

"Ini ...." Kenma menimang-nimang water goblet di tangannya. "Anggurlah!" jawabnya dengan senyuman super najisnya.

Kami pun terkekeh. Secara kami sudah tahu, Kenma akan langsung ayan jika ia benar-benar mengkonsumsi alkohol.

"Anggur rasa tomat." Ardhan, temanku pemilik bangunan Base Camp Gaijin itu sudah santai dengan posisinya di tengah. Tak tinggal Melly, kekasihnya yang tak pernah absen dalam setiap moment santai semacam ini.

"Ya, kali tomat. Ini tu brendeh, Gaesss." Seperti biasa, setan alas itu akan memainkan sejuta kilahnya.

Hmm ... sesuka jidatnya saja lah!

Ya, di sinilah aku sekarang. Di ruangan VIP sebuah Club malam yang khusus diperuntukkan untuk anggota Gaijin biang. Gratis tanpa booking! Karena pemilik Club ini tak lain adalah teman kami sendiri, si tajir Jonas.

Aku sudah menghempaskan tubuhku di samping kiri pria setengah bule itu. Karena samping kanannya diisi oleh seorang gadis asing berbusana setengah telanjang, yang dirangkulnya sangat rapat. Sesekali dikecupnya bibir merah itu tanpa malu.

Aduh, hatiku!

Aku memalingkan wajahku melihat pemandangan syur di hadapanku itu. Entah mengapa, dadaku terasa seperti ada benda tumpul yang memukul. Sebuah pukulan yang menciptakan nyeri. Nyeri yang bahkan aku sendiri tak mampu menjelaskan apa penyebabnya.

"Mana cewek lu, Bin? Gak lu ajak?" Jonas bertanya sebelum menyesap anggur yang tertampung di dalam rock glass di telapak tangannya.

"Ya kali cewek gue mau dibawa ke tempat ginian," sahutku malas.

"Lagian lu aneh banget, tumben-tumbenan milih cewek jilbaban kayak gitu." Dengan sekali tegukan, Jonas menghabiskan khamar di tangannya. "Nih, minum." Lalu menyodorkan botol yang masih berisi setengah dari volume utuhnya itu, padaku.

Kuangkat telapak tanganku ke depan dada, untuk mendorong kembali botol berisi cairan pekat itu ke arahnya. "Gue lagi gak mood," tolak halusku.

"Serius lu? Tumben?"

"Dia lagi galau, Joe." Jibril menimpali tanpa mengalihkan pandang dari ponselnya.

Jonas lantas menanggapi, "Galau kenapa lu?"

Aku mendengus. "Gue dapet member cewek jadi-jadian," kilahku asal.

"Haha!" Jonas tergelak. "Ngapa gak lu sikat aja. Mayan, kan?"

"Dia terlalu kinclong buat gue sikat ulang," kelakarku.

"Dih, lu pikir kramik wese!" Dia menoyor sekilas keningku.

"Bin, sekali-sekali, Gisna lu ajak nongkrong bareng kita napa?" Kenma memungkas. "Biar dia terbiasa sama dunia lu yang setan ini."

Aku mendongak ke arahnya yang masih anteng dengan jus tomatnya. Dan lagi, penyebutan nama Agisna membuat pikiranku kembali diresapi resah. Kuhempaskan tubuhku ke sandaran sofa seraya menghembuskan nafas kasarku. "Ya, kali, goplok! Dia tu alimnya gak kaleng-kaleng."

"Hmm, campakan saja kalo gak cocok."

"Itu juga yang bikin dia galon, Kampret!" Jibril menoyor jidat si kunyuk petakilan itu.

"Lah, ngapa?" Kenma dengan wajah melongo onengnya.

"Dia diminta kawinin Gisna secepatnya sama bapaknya tu cewek. Kalo gak, berarti mereka harus pegat ."

"Lu minta gue jitak, Jie? Udah kayak si Kohar aja lu, jelasin ampe detail kayak gitu!" Aku mengambil kotak rokok, lalu kulempar ke arah Jibril.

"Buahaha!!" Dan setan alaspun terbahak. "Jadi beneran kayak gitu? Hahaha ...." Disusul kekehan Jonas dan lainnya.

"Bisa diem gak lu, Bancet!"

"Ups!"

"Lagian elu ngapa tiba-tiba macarin cewek jilbaban kayak gitu? Ribet 'kan jadinya." Kali ini Ardhan yang sedari tadi sibuk berkicau gadisnya, mengambil suara.

"Awalnya gue iseng aja, Dhan," sahutku. "Pengen tau aja rasanya pacaran sama syar'i-an kayak gitu."

"Dan akhirnya lu beneran polinginlop sama tu cewek, 'kan?" terka Jonas.

Aku menegakkan tubuhku, mengambil sebatang rokok mild yang berserak di atas meja di depanku. Kunyalakan lalu kuhisap dengan penuh penghayatan. Sedangkan mereka masih menunggu jawabanku. "Kalo soal itu gue juga belum tau. Secara, 'kan hubungan gue sama dia blom nyampe dua bulan."

"Ya udah lu tinggalin aja, sih! Trus balik ke diri lu semula yang demen sama cewek modelan kayak gini." Jonas mengecup sekilas pelipis wanita di sampingnya.

Kulihat bibir wanita itu menyabit senyuman senang. Sedangkan kami semua hanya datar menanggapi.

Aku melengos jengah. Lalu berdiri usai menjejalkan batang rokok yang baru kuhisap sesaat itu ke asbak yang sudah bertadah di tempatnya.

"Mau kemana lu?" Jibril mendongak, di ikuti lainnya.

"Gue mau nemuin Gisna."

"Dih, ini malem, Peak! Emang dia mau nerima lu di jam-jam kayak gini?" Kenma dengan moncong supernya. "Kita 'kan belum jingkrak-jingkrak di bawah, Bin!"

"Lu sendiri aja!" ujarku.

"Ya kali gue sendiri!"

"Di bawah 'kan banyak ulet. Lu pan demen ama begituan."

Semua menanggapi dengan kekehan.

"Tar gue temenin, Ken." Jibril memberi angin segar. "Gue nabuh gendangan, elu yang begaya."

"Anjimm! Lu pikir gue monyet bertopeng!"

Masih dengan sisa kekehan di bibirku, "Ya udah, gue cabut ya."

"Gak takut bapaknya lu, Bin?" Entah itu pertanyaan memperingatkan, atau termasuk sebuah ledekan, Jibril cengengesan.

"Gak ada. Udah balik lagi ke kampungnya," jawabku seadanya.

"Lu mau mutusin dia?" Jonas dengan senyum ejeknya.

"Lagi gue pikirin," balasku tanpa menoleh.

Mereka mungkin kini tengah menatapku yang mulai hilang di telan pintu yang tertutup.

Aku menuruni tangga, suasana kulihat semakin sesak dipenuhi para penikmat musik, anggur, wanita malam dan semacamnya.

Terus melangkah membelah tubuh-tubuh yang berjingkrak di lantainya. Hingga sampailah aku di tempat dimana aku memarkirkan motorku. Tapi ....

BAGH

BIGH

BUGH

PLAK!

"Ampun, Bang! Ampun!"

Aku langsung melesat manakala mataku menangkap adegan tiga orang pecundang yang tengah asyik menyiksa seorang pria muda.

Tak serta merta, kutarik salah satunya dari belakang, lalu kusungkurkan ke antara motor-motor yang yang berjejer.

"Aaarrgghh!" pekiknya.

"Siapa lo?!" Satu lainnya bertanya menghadapku.

"Maju sini lu!" tantangku tanpa memperdulikan pertanyaannya.

Kyaaaaa ....

BUUGGHH!!

Kutendang bagian perutnya sebelum ia berhasil mencapaiku hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.

"Bangsadddhh!!" Kini mereka bertiga mengililingiku. Memasang kepalan-kepalan tinjunya. Dan aku jelas ... sangat siap!

Aku mulai menekuk beberapa derajat lututku memasang kuda-kuda. Kedua lenganku sudah kuposisikan di depan, dengan tubuh berkeliling menatap mereka bertiga penuh antisipasi.

Dan suara bedebug dan bedebam mulai mengudara diantara kami.

BRUK.

BRUK.

BRUK.

Ketiga pria itu sudah kubuat terkapar.

Dengan sedikit nafas terengah, aku menghampiri lelaki muda yang kini berdiri sedikit membungkuk seraya memegangi perutnya. Wajah memar membiru dengan setetes darah kental di ujung pelipis juga sudut bibirnya, membuat wajah putihnya terlihat naas.

"Lu gak papa?" tanyaku memegang kedua pundaknya.

Dia tersenyum. "Gue gak papa, Bang."

"Lu kenapa bisa digebukin mereka? Lu maling atau korban pemalakan?" cecarku.

"Gue bukan maling, Bang. Tadi gue liat mereka lagi oprek motor lu, kayaknya mereka mau putusin remnya atau apa gitu," jelasnya seraya menjuruskan tatapan ke arah di mana motorku terparkir.

Dan jawabannya itu malah menciptakan kernyitan di wajahku. Aku menatapnya terheran. "Kok lu tahu itu motor gue?"

Kulihat ia sedikit tersentak dengan pertanyaanku.

"Gi-gini, Bang. Ta-tadi, 'kan gue lagi nongkrong di depan situ." Ia mengarahkan telunjuknya pada arah gerbang keluar. "Gue liat lu tadi pas dateng. Lu bareng Ninja merah, 'kan?"

"Iya."

"Nah, dari situ gue tahu kalo itu motor lu. Tadi gue liat tiga orang itu mencurigakan. Mereka clingak-clinguk di sini udah kayak maling. Trus gue deketin. Pas gue liat motor lu yang mereka oprek , gue tereakin jangan. Tapi mereka malah hajar gue," tuturnya di akhiri ringisan sakit di wajahnya.

"Tapi 'kan lu bisa biarin mereka. Ngapa lu mau ribet-ribet rela dihajar?" tanyaku tak habis pikir.

"U.. um ... gue ... gue cuma kasian ama lu aja, Bang."

Pernyataan kaku itu malah membuatku semakin terheran. "Kasian? Sama gue?"

"Umm ... mendingan lu tanya mereka, kayaknya mereka ada yang nyuruh deh, Bang!" Gercep dia mengalihkan pertanyaanku. Tapi ....

Benar juga katanya!

"Bentar." Aku mendekat kembali ke arah ketiga begundal yang masih mengaduh itu. Kuturunkan tubuhku berjongkok, lalu kutarik kerah baju salah satu di antaranya.

"Siapa yang nyuruh lu pada?"

"Ki-kita ga-gak, gak ada yang nyuruh, Bang!" kelitnya gelagapan.

"Jawab jujur atau gue abisin lu!" ancamku dengan kepalan mengambang di depan wajahnya, seraya kutarik kencang kerah bajunya.

"A-ampun, Bang. Ki-kita di suruh sama ... sama ...."

"Sama siapa, Bangsadd!"

"Yongki Rotal!" jawab refleksnya dalam ketakutan.

Aku mendorong kembali tubuhnya.

Sesuai dugaan!

Aku kemudian melangkah kembali ke arah laki-laki muda tadi. "Siapa nama lu?" tanyaku padanya.

"Ge-Gelatik, Bang!"

"Nama lu kayak nama unggas," ucapku receh. "Ya udah, ikut gua. Muka bonyok lu harus cepet diobatin."

"Ikut kemana, Bang?" Ia mengikuti gerakku yang mulai menarik motorku dari posisinya.

"Ke kost-an gua," jawabku. "Lu utang penjelasan sama gua. Jadi lu kudu ikut gua."

Dia tersentak. "Hu-hutang ... penjelasan?"

"Hmm...."

Terpopuler

Comments

Affandi

Affandi

gelatik itu parang kalo ditempat gua🤔🤔

2021-02-13

0

Duchess RahmaDika

Duchess RahmaDika

A-ampun bang sy msh gadis bng

2021-02-11

0

NA_SaRi

NA_SaRi

gw kaga yakin kalo Bintang bakal mutusin si Kunti

2021-02-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!